Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 9 Epilog
Epilog
Tujuh tahun setelah masuk universitas dan mulai tinggal bersama—
Kini, sebagai orang dewasa yang sudah bekerja, aku dan Aoi-san masih hidup bersama, sama seperti dulu.
“Aku berangkat ya.”
“Baik. Semangat di kantor.”
“Kamu juga, Aoi-san. Oh, sepertinya aku pulang agak malam hari ini.”
“Baik. Kamu makan di luar?”
“Tidak, aku makan di rumah saja.”
“Hati-hati di jalan.”
“Sampai nanti.”
Setelah lulus universitas, kami berdua mendapatkan pekerjaan di kota tempat kami pernah tinggal bersama dulu.
Kami sempat mempertimbangkan bekerja di Tokyo, tapi setelah hidup di sana selama empat tahun, kami sadar bahwa kota regional yang berkembang dengan tenang seperti ini jauh lebih cocok untuk kami.
Dan yang paling penting......kami memang menyukai kota ini.
Aku bekerja sebagai staf penjualan, sibuk berpindah-pindah menemui klien.
Sementara itu, Aoi-san bekerja di sebuah fasilitas kesejahteraan anak.
Kami berdua sama-sama sibuk, tapi hari-hari kami selalu terasa berarti.
Oh, dan sekarang kami tinggal di rumah yang sama di mana kami pernah hidup bersama selama setahun saat SMA dulu.
Setelah mendapat pekerjaan, kami sedang melihat daftar rumah sewa, dan tanpa sengaja menemukan kembali rumah itu.
Begitu melihatnya, kami langsung sepakat—tanpa ragu sedikit pun.
Lingkungan sekitarnya memang berubah sedikit, tapi rumah itu… sama sekali tidak berubah.
“Sudah sepuluh tahun ya......”
Akhir Mei, saat bunga hydrangea mulai mencapai puncaknya.
Setiap tahun di waktu seperti ini, aku selalu teringat pada hari aku pertama kali bertemu Aoi-san.
Tapi tahun ini, aku tidak berniat hanya duduk dan tenggelam dalam nostalgia.
*
“Hiyori—”
Sore itu, sepulang kerja, aku menunggu Hiyori di dekat stasiun untuk bertemu di sebuah pusat perbelanjaan.
“Maaf, aku agak telat. Ada lembur mendadak.”
“Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai.”
“Terima kasih sudah meluangkan waktu hari ini.”
“Aku memang tidak ada jadwal jam segini, jadi santai saja.”
Bahkan setelah dewasa, Hiyori tetap seperti dulu—ekspresinya datar, tak banyak berubah.
Tapi dibanding waktu kecil, sekarang dia setidaknya punya sedikit lebih banyak nuansa dalam ekspresinya.
“Aku sudah cari tahu sendiri, tapi......aku tetap ingin pendapat perempuan.”
“Tenang. Serahkan saja padaku—aku mendukungmu.”
Dia mengucapkannya sambil memberi senyum tipis—tipis saja, tapi entah kenapa sangat menenangkan.
“Baiklah, ayo.”
“Ya. Aku mengandalkanmu.”
Kami pun berjalan masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
“Aku harus bilang......aku cukup terkejut.”
Dalam perjalanan menuju tujuan, Hiyori tiba-tiba membuka suara.
“Terkejut bahwa kamu benar-benar melakukan hal seperti ini dengan serius.”
“Terkejut, ya......Yah, aku paham maksudmu.”
Biar jelas—dia sama sekali tidak bermaksud menghina.
Bagi pasangan seperti aku dan Aoi-san, yang sudah hidup bersama selama bertahun-tahun, hal yang akan kulakukan ini mungkin terlihat seperti formalitas belaka.
Satu-satunya yang belum kami miliki hanyalah kertas pernikahan—di luar itu, hidup kami sama saja seperti pasangan suami istri.
Bahkan aku sendiri tahu kalau aku sudah melangkah keluar dari zona nyamanku.
“Tapi......justru karena kita sudah seperti ini begitu lama, aku ingin akhirnya membuatnya resmi.”
“Aku setuju. Kupikir itu pilihan yang tepat.”
“Tetap saja, aku tidak terlalu jago urusan beginian, makanya aku benar-benar berterima kasih kamu mau ikut.”
“Kamu selalu meminta bantuan seseorang setiap kali memilih hadiah untuk Aoi-san, jadi kupikir kali ini kamu pasti akan datang padaku.”
Sekarang dia menyebutkannya......memang benar begitu.
Saat Natal di tahun pertama SMA, aku minta bantuan Izumi.
Untuk ulang tahun Aoi-san di tahun ketiga, aku tanya pendapat Natsumiya-san.
Setiap kali aku ingin memberi Aoi-san sesuatu yang berarti, aku selalu berakhir berkonsultasi pada orang lain.
Bahkan setelah dewasa, ternyata aku tak banyak berubah dari masa sekolah.
Atau mungkin memang begitu cara kerja kedewasaan—kita bertambah pengalaman, tapi pada dasarnya tetap orang yang sama seperti saat masih remaja.
Kalau ada yang bertanya bagaimana aku berubah sejak saat itu, aku pun tak akan tahu bagaimana menjawabnya.
Dan sejujurnya, kurasa perasaan itu tak akan hilang, bahkan setelah aku jauh lebih tua nanti.
“Kita sudah sampai.”
Kami tiba di lantai atas, di bagian perhiasan.
Setibanya di sana, kami mulai melihat-lihat etalase satu per satu.
Aku meminta bantuan pegawai toko, lalu melihat berbagai merek, mengambil beberapa cincin, dan mendiskusikannya dengan Hiyori.
Semuanya indah—tapi tidak ada yang terasa tepat.
Sampai akhirnya—
“Yang ini......”
Mataku tertumbuk pada sebuah cincin di dalam etalase.
Sebuah cincin platinum dengan berlian pusat yang berkilau tajam, diapit oleh beberapa berlian kecil di kedua sisi.
Menyilaukan, tapi tidak berlebihan—anggun, lembut, elegan.
Jika dihiasi terlalu banyak batu, kesannya akan terlalu mencolok.
Tapi untuk Aoi-san, yang sejak pertama kali kami bertemu selalu memiliki keanggunan yang tenang, keseimbangan seperti ini terasa sempurna.
“Ada yang kamu suka?”
“Menurutmu bagaimana yang ini?”
“......Ya. Kupikir itu pilihan yang bagus.”
Aku meminta pegawai toko mengeluarkan cincin itu dari etalase.
Kusematkan di tanganku, melihatnya dari berbagai sudut.
“Kalau dilihat dari dekat begini......ya, ini memang bagus.”
“Dari semua yang kita lihat hari ini, menurutku yang ini paling cocok untuk Aoi-san.”
Kalau Hiyori saja bilang begitu, aku tak punya alasan untuk ragu lagi.
“Tapi......harganya lumayan membuat keringetan.”
“Ya......tapi ini cuma sekali seumur hidup. Aku akan cari cara.”
Lagipula, dulu katanya standar harga cincin pertunangan itu tiga bulan gaji.
“......Akira, jangan-jangan kamu diam-diam kaya ya?”
“Aku cuma rajin nabung—biar Aoi-san tidak perlu khawatir apa-apa. Kita kan tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi nantinya. Aku cuma ingin memastikan kalau ada apa-apa, dia tidak akan stres soal uang.”
Untuk orang lain mungkin terdengar aneh menghabiskan banyak uang padahal sedang menabung.
Tapi kalau melihat sejarah cincin pertunangan, cincin itu dulu dibuat agar bisa dijual kalau sesuatu terjadi pada suami—dan si istri bisa menjaga keluarga.
Kalau dipikir begitu, tidak ada salahnya cincin itu mahal.
Dalam satu sisi, itu adalah cara lama laki-laki menunjukkan tanggung jawab—dan jujur saja, menurutku itu keren.
Aku ingin melakukan hal yang sama—berdiri tegak dan mengambil tanggung jawab sebagai pasangan.
“Kamu mungkin sebenarnya orang yang cukup baik juga ya, Akira.”
“‘Mungkin’? Apa-apaan itu tanda tanya di belakangnya?”
Meski begitu, leluconnya tetap menenangkan.
“Jadi......kita ambil yang ini?”
“Iya. Permisi—”
Aku memanggil pegawai toko, menyelesaikan pembelian, lalu kami meninggalkan bagian perhiasan.
Berkat Hiyori, semuanya selesai jauh lebih cepat daripada yang kubayangkan.
“Syukurlah kita bisa menemukan cincin seindah itu.”
“Terimakasih sudah menemani hari ini.”
“Jadi......kamu sudah menentukan kapan dan di mana kamu akan melakukannya?”
“Ya, tanggal dan tempatnya sudah kupikirkan sejak lama.”
Benar—kalau hari seperti ini suatu saat benar-benar datang, aku ingin melakukannya pada hari yang penuh makna bagi kami.
Di tempat yang nggak akan pernah bisa kami lupakan.
“Semoga semuanya berjalan lancar. Sampai ketemu lagi.”
“Kamu langsung pulang? Biar kutraktir minum atau sesuatu.”
“Malam ini aku makan bersama pasangan Sazarashi.”
Sazarashi—sebutan untuk Eiji dan Izumi.
Mereka menikah tahun lalu, dan sekarang tinggal bersama di kota ini.
“Oh, begitu. Kalau begitu, ayo keluar bareng lagi kapan-kapan—bertiga, kamu, aku, dan Aoi-san.”
“Ya, aku tunggu. Sampaikan salamku buat Aoi-san.”
Aku menatap punggung Hiyori yang pergi sambil membawa senyum kecil di wajahnya.
Melihatnya begitu, aku membisikkan terima kasih pelan—lalu buru-buru pulang.
*
“Aku pulang.”
“Selamat datang.”
Begitu sampai di rumah, Aoi-san menyambutku sambil memakai apron.
“Kamu lagi masak?”
“Aku baru selesai menyiapkan makan malam. Ayo makan bareng.”
“Boleh. Makasih.”
Aku menaruh barang-barangku di kamar lalu menuju ruang tamu.
Di meja, makan malam yang terlihat sangat lezat sudah tertata rapi.
“Selamat makan.”
“Selamat makan.”
Kami duduk saling berhadapan dan menangkupkan tangan sebelum mulai menyantap hidangan.
Setelah beberapa suap, sebuah senyum muncul begitu saja di wajahku.
“Akira-kun, ada apa?”
“Aku hanya teringat masa SMA......waktu kita tinggal di rumah ini bersama.”
“Masa itu?”
Aoi-san berhenti makan sejenak, menoleh dengan rasa ingin tahu.
“Dulu aku yang masak setiap hari untuk kita berdua. Tapi sekarang, lebih sering kamu yang masak. Rasanya… hubungan kita benar-benar sudah banyak berubah.”
“Ya, sudah sepuluh tahun berlalu. Banyak hal memang berubah.”
Nada suaranya mengandung sedikit nostalgia.
“Tapi menurutku......ada banyak hal yang nggak berubah juga.”
Dia benar.
Justru karena ada perasaan yang tidak pernah berubah itulah aku akhirnya mengambil keputusan itu.
“Aoi-san, Selasa malam nanti kamu kosong?”
“Selasa malam?”
Dia mengulanginya pelan, seolah memastikan—lalu tersenyum lembut dan mengangguk kecil.
“Ya. Aku sudah sengaja tidak mengisi jadwal apa pun.”
“Mau makan di luar? Sudah lama kita tidak kencan makan malam.”
“Terdengar menyenangkan. Ayo.”
“Aku yang urus reservasinya.”
“Terima kasih. Aku tunggu, ya.”
Tak perlu lagi mengucapkan hari apa itu.
Sejak dulu, hari itu selalu berarti bagi kami.
*
Dan kemudian, tibalah Selasa malam—
Sepulang kerja, aku dan Aoi-san melangkah menuju sebuah restoran tertentu.
Setelah memberi tahu staf bahwa kami sudah reservasi, kami langsung dipersilakan masuk.
Mungkin karena tidak terbiasa dengan tempat seperti ini, Aoi-san tampak sedikit tegang, matanya bergerak pelan mengamati suasana restoran.
“Tempat ini......benar-benar bagus, ya…”
“Mungkin sedikit mengejutkanmu.”
“Aku senang bisa ke sini bersamamu, tapi......aku malah jadi khawatir harganya......”
Kekhawatirannya tidak salah.
Tempat ini punya dress code—restoran elegan berkelas yang tak pernah kami datangi sebelumnya.
“Ini hari yang penting untuk kita.”
Hari istimewa—dan aku ingin membuatnya lebih istimewa lagi.
Memilih restoran ini adalah caraku menunjukkan hal itu.
“Hari ini......tepat sepuluh tahun sejak kita bertemu. Hari hujan itu di taman, saat kita masih kelas satu SMA. Saat segalanya dimulai, saat kita mulai tinggal bersama......kamu masih ingat?”
“Tentu. Mana mungkin aku lupa?”
“Kita sudah melalui begitu banyak hal......terima kasih karena tetap bersamaku sampai sekarang.”
“Dan terima kasih karena selalu ada bersamaku juga.”
Kami sama-sama mengambil gelas sampanye—aperitif—dan saling menyentuhkannya dengan lembut.
Setelah itu, kami menikmati malam ulang tahun hubungan kami, perlahan, hangat, dan penuh kenangan.
Kami saling bertukar cerita masa lalu sambil menikmati hidangan yang terasa begitu pas untuk malam itu.
Di tahun pertama SMA, kami pernah mengikuti “kamp belajar” demi mencegah Aoi-san gagal ujian. Setelah ujian selesai, kami pergi ke pemandian air panas sewaan harian, lalu dalam perjalanan pulang, singgah di kuil favorit Izumi.
Musim panasnya, kami menggunakan vila keluarga Eiji sebagai tempat tinggal sementara saat mencari rumah nenek Aoi-san.
Saat persiapan festival sekolah, aku bertemu lagi dengan ibuku. Kemudian, setelah sembilan tahun, aku kembali berjumpa dengan ayah. Aku melepas kepergian Ibu, memperbaiki hubunganku dengan Ayah—dan hingga kini, hubungan kami tetap baik.
Musim dingin itu, kami pergi ke pemandian air panas untuk perjalanan kelulusan. Musim panas tahun kedua, kami mulai berpacaran. Kami menghabiskan waktu bersama saat karyawisata musim gugur, dan untuk ulang tahun Aoi-san, kami merencanakan perjalanan menginap—
Terlalu banyak kenangan untuk diceritakan hanya dalam satu malam.
Pada akhirnya, kami menghabiskan hidangan kami dan keluar tepat saat restoran mulai tutup.
Namun bagiku, momen yang sebenarnya.......baru akan dimulai.
Dalam perjalanan pulang—
“Aoi-san, bagaimana kalau kita sedikit memutar jalan?”
Kami hampir sampai di rumah ketika aku berkata begitu.
“Tentu. Mau ke mana?”
“Tidak jauh dari sini.”
Benar seperti kataku, hanya butuh beberapa menit untuk sampai.
“Tempat ini......”
“Ya......tempat semuanya dimulai untuk kita.”
Itu adalah taman tempat kami pertama kali bertemu.
“Sudah lama kita tidak ke sini.”
“Padahal sekarang rumah kita sangat dekat.”
Seperti hari itu, bunga-bunga hydrangea yang indah tengah bermekaran mengelilingi kami saat kami duduk berdampingan di bangku taman.
Bangku tua yang mulai usang, cahaya redup dari lampu jalan yang agak temaram, pemandangan dari tempat kami duduk, lautan bunga hortensia yang bermekaran—semuanya terlihat persis seperti sepuluh tahun lalu.
Satu-satunya yang berbeda hanyalah cuacanya yang tak lagi hujan—dan perasaanku malam ini.
Satu-satunya waktu hujan turun di tempat ini hanyalah malam itu.
“Meski sudah sepuluh tahun, tempat ini tetap sama,” ucapku pelan.
“Jadi ini alasan kamu membawaku ke sini hari ini? Karena tepat sepuluh tahun?” tanya Aoi-san dengan suara lembut.
“Itu salah satunya......tapi ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Baik......”
Perlahan aku menyelipkan tanganku ke dalam saku.
“Aku ingin terus bersamamu, Aoi-san.”
Meski ini mungkin salah satu momen terbesar dalam hidupku, anehnya aku sama sekali tidak merasa gugup.
“Tidak peduli seberapa tua kita......bahkan saat nanti kita sudah jadi kakek-nenek—yah, memang bukan bayangan yang paling ceria—tapi sampai hari salah satu dari kita pergi dari dunia ini......aku ingin tetap bersamamu.”
“Ya......aku juga ingin begitu,” balasnya, suaranya dipenuhi rasa hangat.
“Tapi......aku sadar hanya menginginkannya saja tidak cukup.”
“Akira-kun......”
“Kalau itu yang benar-benar kuinginkan, maka ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Hubungan kita mulai di tempat ini......dan kalau kita ingin memulai bab baru, aku merasa.......tempatnya harus di sini juga.”
Aku mengeluarkan kotak cincin kecil dari sakuku.
Membukanya perlahan, aku menawarkannya kepada Aoi-san yang duduk tepat di sampingku.
“Aoi......aku mencintaimu. Maukah kamu menikah denganku?”
“......Ya!”
Aku menggenggam tangan kirinya dan menyelipkan cincin itu dengan hati-hati ke jari manisnya.
Dengan senyuman terbesar yang pernah kulihat darinya, Aoi-san menerima lamaranku.
*
Setahun setelah pertunangan kami—pada hari yang sama—
Akhirnya, hari pernikahan kami pun tiba.
Setelah selesai bersiap, mengenakan tuksedo yang terasa sedikit lebih berat dari biasanya, aku menuju ruang tunggu tempat Aoi-san berada.
“Aoi-san, sudah siap—?”
Begitu pintu terbuka dan aku melangkah masuk, aku melihatnya berdiri di sana dengan gaun pengantin.
Cahaya matahari mengalir lembut lewat jendela besar, membelai gaun putih murninya. Saat Aoi-san menoleh ke arahku, cahaya itu memantul dan tersebar—membuatnya tampak seolah bersinar.
Pemandangan itu begitu indah hingga membuat napasku tercekat.
Tanpa sadar, aku hanya bisa memandanginya, terpesona sampai tak bisa berpaling.
“Bagaimana menurutmu?”
“Kamu cantik sekali. Benar-benar cocok untukmu.”
“Terima kasih. Kamu juga terlihat sangat tampan, Akira-kun.”
Padahal kami sudah melihat satu sama lain saat sesi fitting.
Tapi melihatnya hari ini—di hari yang sungguh berarti—rasanya berbeda.
Ada sesuatu yang mengalir dari dalam dada.
Tidak......mungkin masih terlalu cepat untuk menyebutnya ‘haru’.
“Akhirnya sampai juga, ya.”
“Rasanya agak gugup.”
“Aku juga......”
Kami sama-sama mengulurkan tangan, lalu menggenggam erat.
Hanya dengan merasakan kehangatan itu, rasa gugupku seakan sedikit mencair.
“Kita masuk sekarang?”
“Ya.”
Masih bergandengan tangan, aku dan Aoi-san melangkah keluar dari ruang tunggu.
“Akira-kun.”
“Hm?”
“Mulai sekarang......ayo terus saling menjaga, ya?”
“Ya. Dari sekarang, dan selamanya.”
Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari hujan itu—
hari ketika aku menemukan seorang gyaru yang tampak kesepian, duduk sendirian di taman.
Dan kini, akhirnya, kami benar-benar menjadi sebuah keluarga.

Uhuhuhu.. Dah tamat cuyðŸ˜
ReplyDeleteTerima kasih udah baca sampai akhir🥹
Delete