Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 8.4

Bab 8 - Akhir Dari Hari-hari Pertemuan Dan Perpisahan




Lalu tibalah hari penentuan.


Pagi itu, di hari pengumuman hasil, aku pergi ke universitas untuk mengecek daftar kelulusan secara langsung.


Memang sekarang hasil bisa dicek dengan mudah lewat internet—tapi ini adalah sesuatu yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi aku merasa pantas untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri.


Aoi-san juga sedang mengecek hasilnya di universitasnya pada waktu yang sama.


“Hampir waktunya......”


Di depan papan pengumuman, kerumunan besar para peserta ujian sudah berkumpul.


Meskipun suara orang-orang terdengar di mana-mana, suasananya dipenuhi ketegangan.


Aku menggenggam kartu ujian erat-erat dan berdiri di barisan, menunggu.


Beberapa menit kemudian, staf mulai menempelkan hasilnya sekaligus.


Begitu selesai, semua orang langsung bergerak menuju papan itu.


Aku juga mulai melangkah—namun kakiku mendadak membeku.


—Bagaimana kalau nomor ujianku tidak ada?


Tanganku bergetar, dan sensasi seperti perutku diremas naik ke dada.


Seolah darah dalam tubuhku berubah menjadi es.


Sejak hari ujian, aku berusaha untuk tidak memikirkannya—tapi jauh di lubuk hati, rasa takut itu selalu ada.


Kalau nomorku tidak ada di sana, semua kerja kerasku akan sia-sia.


Aku tidak akan bisa menepati janji yang kubuat dengan Aoi-san.


Sebagian diriku ingin langsung melihatnya—tapi rasa takut membuatku ragu.


Tetap saja, aku tidak bisa berbalik dan pergi begitu saja.


Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri dan menegakkan kepala.


“......Baiklah.”


Menggigit bibir, aku mendorong tubuhku melewati kerumunan hingga ke depan.


Sesampainya di papan pengumuman, aku mencari nomorku—lalu perlahan mengangkat pandangan.


“......Ada.”


Kata itu keluar sebelum aku sadar.


Aku melihat sekali lagi. Lalu sekali lagi.


Dan begitu benar-benar yakin tidak ada kesalahan, kesadaran itu menghantamku.


“Ada! Ada!!”


Aku tidak bisa menahan diri—aku mengepalkan tangan dan berseru.


Kegembiraan itu datang dari jauh di dalam dada, meledak begitu saja tanpa kendali.


Itu bukan diriku yang biasa, tapi aku tidak peduli dengan orang-orang di sekitarku—aku tidak bisa diam.


“Oh, benar—”


Saat gelombang kegembiraanku mulai mereda, aku kembali sadar.


Aku tidak boleh merayakan ini sendirian.


Aku mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan ke Aoi-san dan mulai bergerak melewati kerumunan—


“Ah—!”


Aku menabrak seseorang dan ponselku terlepas dari tanganku.


Saat aku hendak memungutnya—


“Ini. Kamu menjatuhkan ini.”


“Ah, terima kasih—eh, huh?”


Aku mendongak sambil mengucapkan terima kasih kepada orang yang mengembalikan ponselku—


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar mengerti apa artinya meragukan penglihatan sendiri.


“......Aoi-san?”


Tidak mungkin aku salah mengenali wajah itu.


Yang berdiri tepat di depanku adalah Aoi-san—tanpa keraguan sedikit pun.


“Ponselmu sepertinya tidak rusak.”


“Ah......terima kasih......”


Kenapa—?


Kenapa Aoi-san ada di sini?


“Bagaimana hasilmu?”


“Aku lulus.”


“Selamat.”


Dia tersenyum hangat sambil mengucapkan selamat.


Tapi aku masih benar-benar bingung.


“Makasih......tapi kenapa kamu ada di sini?”


“Hari ini hasil ujianku juga diumumkan.”


Itu aku tahu—dan justru karena itu aku tidak mengerti.


Lalu Aoi-san mengangkat selembar kertas ke arahku.


Itu adalah kartu ujian—untuk universitas yang sama denganku.


“Itu......”


Begitu melihatnya, sebuah kemungkinan terlintas di kepalaku.


Semua kejanggalan kecil yang sebelumnya kuabaikan tiba-tiba menyatu dan masuk akal.


—Alasan Aoi-san tidak pernah memberitahuku universitas pilihannya.


—Alasan ayahnya sudah tahu di mana aku akan mengikuti ujian.


—Sosok yang kukira mirip Aoi-san pada hari ujian.


“Tidak mungkin......”


Aku menggenggam tangan Aoi-san dan menerobos kerumunan, kembali ke papan pengumuman hasil ujian.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Di antara deretan angka yang dipasang di sana, kutemukan nomor yang sama persis dengan nomor ujian yang dia pegang.


“Ini......bukan mimpi, kan?”


“Mulai musim semi nanti, kita akan bersekolah di tempat yang sama lagi.”


“Alasan kamu tidak pernah bilang universitas mana yang kamu pilih......”


“Iya. Aku ingin membuatmu terkejut. Berhasil tidak?”


“Kata ‘terkejut’ bahkan tidak cukup untuk menggambarkannya......”


Kelelahan, kelegaan, dan rasa bahagia meledak bersamaan di dalam dadaku hingga seluruh kekuatanku menguap.


Lututku hampir menyerah, tapi Aoi-san segera menopangku.


Sebelum kusadari, aku sudah memeluknya erat—dan air mata mengalir begitu saja di sudut mataku.


“Aku senang sekali......Selamat ya, Aoi-san!”


“Terima kasih. Selamat juga untukmu, Akira-kun!”


Tak mampu menahan kebahagiaan yang membanjiri kami, kami saling berpelukan erat, tanpa peduli siapa pun yang melihat.


Jantungku hampir berhenti karena saking kagetnya—tapi kalau kejutan macam ini, aku rela menerimanya kapan saja.


Dan begitu saja, mulai musim semi nanti, Aoi-san dan aku akan memulai kehidupan kami di universitas yang sama.



Sejak saat itu, hari-hari kami berubah menjadi kekacauan yang manis.


Prosedur pendaftaran universitas, kelulusan SMA, mencari tempat tinggal baru untuk mulai hidup bersama Aoi-san di musim semi, survei tempat, hingga menandatangani kontrak sewa.


Baru saja kami berhasil memesan jasa pindahan, kami langsung terjebak dalam badai mengepak barang.


Di tengah semua itu, kami masih sempat mengatur pertemuan resmi antara kedua keluarga, dan pergi ke toko elektronik besar untuk memilih perlengkapan rumah baru.


Hari-hari sibuk itu berlalu begitu cepat, dan tibalah akhirnya hari pindahan—


“Akira-kun, para pekerja bilang semua barang sudah diturunkan. Mereka minta kamu cek dulu.”


“Baik. Aku ke sana sekarang.”


Di rumah baru kami, gunungan kardus menyambut di segala penjuru.


Aku memeriksa truk pindahan untuk memastikan semuanya sudah kosong, menandatangani dokumennya, lalu melepas para pekerja pergi.


Setelah itu, Aoi-san dan aku kembali masuk dan menatap ruang tamu yang kini penuh dengan barang-barang kami.


Sebuah apartemen satu kamar yang agak luas dengan ruang keluarga sekaligus ruang makan—di sinilah Aoi-san dan aku akan mulai hidup bersama mulai hari ini.


Jika dibandingkan dengan rumah yang dulu pernah kami tinggali bersama, tempat ini memang lebih kecil, tapi rasanya sudah lebih dari cukup.


“Dua tahun, ya......”


Ini adalah libur musim semi, tepat sebelum kami naik ke kelas dua SMA.


Aku memikirkan semua waktu yang telah berlalu sejak kami berpisah.


“Banyak yang terjadi,” ucapku.


“Iya......banyak sekali,” balasnya.


Begitu banyak kenangan bermunculan—terlalu banyak untuk dirangkai hanya dengan kata-kata.


“Tapi mulai hari ini, kita bersama lagi.”


“Iya. Mulai sekarang, kita akan selalu bersama.”


“Kalau begitu, resmikan saja. Mulai hari ini, senang bisa tinggal bersamamu, Akira-kun.”


“Senang juga. Kuharap kita bisa menjalani semuanya dengan baik.”


Kami saling tersenyum, pandangan bertemu dengan hangat.


Tapi......sepertinya masih terlalu cepat untuk tenggelam dalam suasana manis itu.


“Uhm......menurutmu kita bisa menyelesaikan semua ini hari ini?”


Ya—tepat di depan kami ada gunungan kardus berisi seluruh barang milik kami berdua.


“Kita tidak harus selesai hari ini. Kulkas dan mesin cuci juga baru datang besok, dan mustahil kita membereskan semuanya dalam sehari. Kita kerjain pelan-pelan saja selama beberapa hari ke depan.”


Selama ada tempat untuk tidur malam ini, itu sudah cukup.


Oh, dan kami memang sengaja membeli tempat tidur double—supaya bisa tidur bersama.


“Malam ini kita makan bareng Eiji dan Izumi, jadi sampai sore saja ya.”


“Benar juga. Tidak enak kalau bikin mereka menunggu.”


Sebagai catatan, Eiji dan Izumi sudah pindah dua hari lebih awal.


Tidak seperti kami, mereka tidak tinggal bersama—mereka menyewa tempat terpisah.


Sangat khas mereka. Dekat, tapi tetap menghargai ruang masing-masing.


“Baiklah. Ayo mulai bongkar barang.”


“Iya. Semangat.”


Begitulah, kami mulai membuka satu per satu kardus.


Seperti janji yang kami buat hari itu di peron kereta cepat, akhirnya kami benar-benar mulai hidup bersama—dan bersamaan dengan itu, siklus tak berujung dari pertemuan dan perpisahan yang telah mewarnai hidup kami sejak kecil......akhirnya berakhir.


Akhir Bab 8

2 comments for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 8.4"