Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.3
Bab 7 - Kunjungan Kuil Pertama
“Aku pulang.”
“Selamat datang.”
Yang menyambut kami di depan pintu ketika kami tiba adalah Hiyori.
“Selamat datang juga, Aoi-san.”
“Aku pulang. Hiyori-chan, kamu baik-baik saja?”
“Iya. Aku juga senang kamu baik-baik saja, Aoi-san.”
Dengan wajah cerah, Hiyori langsung memeluk lengan Aoi-san.
Sudah lama mereka tidak bertemu, jadi aku ingin membiarkan mereka ngobrol......tapi sebelum itu, ada sesuatu yang jauh lebih penting.
“Hiyori, Ayah dan Ibu ada di rumah?”
“Ya, mereka ada. Memang kenapa?”
“Ada sesuatu yang ingin aku dan Aoi-san bicarakan dengan mereka.”
Dari nada suaraku, sepertinya ia langsung menangkap kalau ini bukan hal sepele.
Hiyori melepas lengan Aoi-san dan menyingkir sedikit sambil berkata, “Mereka berdua ada di ruang tamu.”
Aku mengucapkan terima kasih, bertukar pandang dengan Aoi-san, lalu melangkah melewati genkan.
“Aku pulang.”
“Terima kasih sudah menerima kedatanganku.”
Kami membuka pintu ruang tamu dan masuk bersama.
Di sana, di meja makan, Ayah dan Ibu sedang duduk santai.
“Selamat datang. Senang melihatmu juga, Aoi-san,” kata mereka menyambut dengan hangat.
Setelah Aoi-san selesai mengucapkan salam Tahun Baru, aku langsung masuk ke pokok pembicaraan.
“Ayah, Ibu—ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. Apa kalian ada waktu?”
“Tentu.”
Ayah memberi isyarat agar kami duduk, dan aku serta Aoi-san duduk berdampingan.
Begitu kami resmi duduk berhadapan dengan mereka, semua tekad yang sudah kukumpulkan sepanjang perjalanan serasa menguap—dan lidahku seakan tak mau bergerak.
“Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?”
Tentu saja, orang tuaku langsung melihat ketegangan itu.
Ibu bertanya dengan lembut, seolah mengulurkan tangan untuk membantu.
“Itu......”
Bahkan saat itu pun, aku masih belum bisa mengucapkannya.
Saat itulah—di bawah meja, di tempat yang tak bisa dilihat oleh orang tuaku—Aoi-san menggenggam tanganku pelan.
Keberanian yang mengalir dari genggaman itu memuntuk detakku stabil kembali. Aku kaget betapa cepatnya hatiku tenang.
Aku menarik napas dalam, lalu menatap orang tuaku dengan mantap.
“Kalau aku lulus ujian masuk......aku ingin tinggal bersama Aoi-san.”
“Tinggal bersama......?”
Begitu kata-kata itu keluar, Ayah mengulanginya pelan.
Suasana berubah, dan aku melanjutkan—
“Aoi-san juga berencana mendaftar ke universitas di Tokyo. Kami sudah berjanji......kalau kami berdua berhasil masuk, kami akan tinggal bersama lagi seperti dulu. Janji itu yang terus mendorong kami selama belajar keras sampai sekarang. Aku tahu ada orang yang mungkin tidak setuju dengan mahasiswa yang tinggal bersama, tapi......kumohon, aku ingin mendapat izin kalian.”
Semua itu keluar dari mulutku dalam satu tarikan napas.
Ayah menyilangkan tangan, menundukkan kepala sedikit.
Ibu di sebelahnya tetap diam, seolah menunggu apa yang akan Ayah katakan lebih dulu.
Entah sudah berapa lama keheningan itu berlangsung.
“Wajar kalau dua orang yang menjalin hubungan ingin bersama.”
“Kalau begitu—”
Baru saja secercah harapan muncul dari kata-kata itu—
“Tapi apa tidak bisa......setelah kalian lulus?”
“......Itu......”
Dalam sekejap, sikap Ayah bergeser menjadi penolakan.
“Tanggung jawab seorang mahasiswa adalah belajar. Selama ada di universitas, fokuslah pada akademik. Jalani hubungan kalian dengan baik dan sewajarnya. Setelah kalian menjadi orang dewasa yang bekerja, barulah tinggal bersama. Tidak terlambat. Kalau kalian benar-benar serius soal masa depan bersama, urutan itu juga penting.”
Aku jujur saja merasa apa yang Ayah katakan masuk akal.
Bukan terdengar seperti penolakan mutlak—lebih seperti ia mengerti, tetapi punya pandangannya sendiri.
Siapa pun yang menjadi orang tua mungkin akan berkata begitu, memikirkan masa depan anaknya.
“Kalian mungkin berpikir, ‘Kami pernah tinggal bersama, jadi kenapa tidak sekarang?’ Tapi kalian pasti juga bisa memahami bahwa situasinya berbeda dengan waktu itu.”
Kalimat itu tepat sasaran.
Memang benar.
Dulu......kami tidak punya pilihan lain. Sekarang......kami punya.
Dan saat ini, kami belum punya alasan kuat yang bisa membantahnya.
Tapi......semua ini bukan lagi soal logika atau masuk akal.
“Itu......terlalu lama......”
Perkataan itu keluar begitu saja—didahului oleh sebuah kenangan yang kembali tiba-tiba.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Saat setelah perjalanan sekolah......ketika Aoi-san datang ke rumahku.
Aku teringat akan air mata yang dia tumpahkan di peron shinkansen hari itu.
“Aku sudah membuatnya menunggu dua tahun......”
“Akira-kun......”
“Selama itu pula aku membuatnya merasa kesepian. Aku tidak ingin pernah lagi melihat wajahnya seperti hari itu.”
Kata-kata itu bukan ditujukan untuk meyakinkan orang tuaku—melainkan sebuah tekad yang kuucapkan pada diriku sendiri.
Aku mengangkat wajah dan menatap langsung ke mata ayah.
“Aku janji tidak akan mengabaikan studiku. Aku akan bekerja paruh waktu agar tidak menjadi beban. Kami akan menjaga hubungan kami dengan baik, jadi......tolong—izinkan kami untuk tinggal bersama!”
Emosi mengalir deras bersama ucapanku, dan ketika kusadari, aku sudah berbicara jauh lebih berapi-api daripada biasanya.
“Aku juga memohon izinnya!”
Kami berdua menundukkan kepala dalam-dalam, serempak.
“.......”
Keheningan perlahan menyelimuti ruang keluarga.
Entah berapa lama itu berlangsung.
“Aoi-san.”
“Ya!”
Ayah memanggil namanya dengan lembut.
“Apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan keluargamu?”
“Sudah. Baik nenek yang tinggal bersamaku, maupun ayah yang tinggal terpisah—keduanya percaya pada Akira-kun dan memberikan persetujuan tanpa ragu. Mereka khawatir kalau aku tinggal sendirian jauh dari rumah, jadi mereka bilang akan lebih tenang jika ada Akira-kun di dekatku......asalkan keluarga Akira-kun juga tidak keberatan.”
Setelah mendengar jawabannya, ayah beralih menatapku.
“Akira, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu.”
Ekspresi yang ia tunjukkan saat itu adalah yang paling serius yang pernah kulihat dalam hidupku.
“Apa kau benar-benar memahami apa artinya bertanggung jawab atas putri orang lain?”
—Rasanya seperti sebuah ujian. Bukan sebagai seorang anak, tetapi sebagai seorang pria.
“Ya......aku mengerti, setidaknya dengan caraku sendiri.”
Pertanyaan ini adalah satu-satunya yang harus kujawab dengan ketulusan penuh.
Aku tidak bisa lagi bersembunyi di balik tawa gugup atau rasa malu.
“Mungkin ini belum terdengar meyakinkan dari orang sepertiku......tapi kalau kami benar-benar akan tinggal bersama, aku siap bertanggung jawab atas hidup Aoi-san. Meski harus mempertaruhkan segalanya—seluruh masa depanku—aku siap melakukannya.”
Ayah mengangguk pelan sambil bergumam, “Begitu ya......”
Ekspresinya yang tegang sedikit melunak.
“Kalau begitu, kalian berdua—fokus dulu pada ujian yang ada di depan mata. Seberapa pun kalian ingin tinggal bersama, itu tak akan berarti apa-apa kalau kalian tidak lulus.”
“Jadi itu artinya......?”
“Aku ikut senang untuk kalian berdua,” tambah Ibu, dengan nada yang terdengar seperti ucapan selamat.
Cara mereka memberi restu memang berputar-putar dan agak canggung—tapi memang begitulah Ayah.
“Terima kasih, Ayah!”
“Terima kasih banyak!”
Aku dan Aoi-san saling menggenggam tangan, lalu tersenyum bahagia.
“Lagipula, ayahmu saja dulu tidak bilang apa-apa pada kakek-nenekmu waktu kami memutuskan untuk tinggal bersama, ingat?”
Dengan nada menggoda, Ibu melontarkan satu kalimat yang memuntuk Ayah—yang sedang menyeruput teh—tersedak kaget.
“Kalau ada yang datang dan meminta izin langsung seperti ini, mana mungkin kamu bisa bilang tidak?”
Baru saat itu aku teringat—hal yang sama pernah Ibu ucapkan ketika pertama kali kukatakan padanya bahwa aku berpacaran dengan Aoi-san. Sampai sekarang pun, setiap kali mereka bersilaturahmi ke rumah orang tua masing-masing, mereka masih ditertawakan soal itu.
“Ibu......beri aku jeda sedikit, dong.”
Melihat wajah Ayah yang memerah karena malu, aku tak bisa menahan tawa.
Maaf, Ayah—tapi sepertinya itulah tawa pertama kami di tahun baru ini.
*

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.3"