Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.2

Bab 7 - Kunjungan Kuil Pertama




Keesokan harinya—sekitar pukul 11 siang, tanggal 1 Januari.


Ibu mengantarku ke stasiun untuk menjemput Aoi-san.


Dari desanya, perjalanan memakan waktu sekitar dua setengah jam dengan kereta lokal dan shinkansen.


Waktu yang dia sebutkan hampir tiba, jadi aku menunggu di depan gerbang tiket shinkansen.


Tak lama, arus penumpang mulai keluar dari balik gerbang—dan di antara kerumunan itu, aku melihat Aoi-san.


Dia juga melihatku, lalu melambaikan tangan kecil setinggi dadanya sambil berjalan mendekat.


Aku melangkah maju, tepat ketika dia melewati gerbang tiket.


“Selamat Tahun Baru.”


Mendadak, aku teringat sebuah kejadian di tahun pertama SMA—setelah kami mandi di pemandian air panas, kami sempat singgah di sebuah kuil. Saat itu, kami berempat berdiri di depan pohon cedar keramat bernama Kanaesugi, dan ada sesuatu yang Izumi katakan hari itu yang masih kuingat bahkan setelah satu setengah tahun berlalu.


“Dia bilang itu salah satu kuil yang ingin dia kunjungi suatu hari nanti.”


“Kalau begitu, kita beli jimat untuk Izumi dan Eiji juga. Mereka mungkin sudah beli sendiri, sih, tapi......jimat keberuntungan kan tidak pernah kebanyakan. Lagi pula, katanya para dewa tidak saling berebut pengikut.”


“Ide bagus. Mereka pasti senang.”


Sambil bercakap-cakap seperti itu, kami sampai di terminal bus.


Ada beberapa orang lain yang menunggu juga—sepertinya tujuan mereka sama dengan kami.


Tak lama kemudian, kami naik bus dan berangkat.


Setelah sekitar tiga puluh menit melaju di dalam kota, pemandangan mulai bergeser menjadi jalan pedesaan.


Kami melewati hamparan ladang yang tenang, lalu masuk ke jalan pegunungan yang sempit berkelok—saking sempitnya, rasanya hanya cukup untuk satu bus lewat.


Tiga puluh menit menanjak lagi, akhirnya kami tiba di halte dekat kuil, turun bersama para penumpang lain.


“Wah......dingin banget.”


Itu adalah hal pertama yang spontan keluar dari mulutku saat turun dari bus.


Memang musim dingin, tapi ini benar-benar menusuk.


Wajar saja. Kuil ini berada di ketinggian sekitar 900 meter, jadi suhu di sini mungkin lima derajat lebih rendah daripada ketika kami naik bus tadi.


Nafasku sampai putih pekat, berkilau indah ketika tersapu cahaya matahari.


“Aoi-san, kamu tidak apa-apa?”


“Iya. Aku pakai banyak lapisan, jadi cukup hangat.”


“Syukurlah.”


Baru saja aku merasa lega, aku melihat Aoi-san melirik ke arah tanganku.


“Tapi......tanganku masih agak dingin.”


Dia meniupkan napas hangat ke telapak tangannya yang didekap bersama.


Aneh......Padahal aku yakin Aoi-san memakai sarung tangan saat kami bertemu di stasiun tadi. Tapi setelah kupikir-pikir, aku bahkan tidak perlu bertanya kenapa sekarang sarung tangan itu sudah dia selipkan diam-diam ke dalam tasnya.


Aku menggenggam kedua tangannya, lalu memasukkan keduanya ke dalam saku mantelku.


“Bagaimana? Lebih hangat?”


“Iya......Tanganmu hangat sekali, Akira-kun.”


Dengan Aoi-san yang tampak senang begitu, kami meninggalkan halte bus sambil bergandengan tangan.


Mengikuti para pengunjung lain, kami menyusuri jalan setapak dan tak lama kemudian, sebuah gerbang torii raksasa menjulang di depan kami—tingginya mungkin sekitar lima belas meter—seakan menyambut setiap orang yang datang. Barisan pengunjung mengular dari sana, menuruni jalan utama menuju aula utama kuil.


Bertolak belakang dengan sunyi dan dinginnya pegunungan musim dingin, jalan utama itu dipenuhi energi keramaian.


“Banyak juga orangnya, ya?”


“Yah, kuil ini memang terkenal. Tidak usah terburu-buru—jalan santai saja.”


Kami ikut mengantre bersama pengunjung lain, melangkah perlahan.


Di sisi kiri dan kanan jalan berbatu, jajaran kedai makanan berbaris, dan aroma yang menggoda sungguh bisa memuntuk siapa saja ingin jajan. Aku mengingatkan Aoi-san pelan, “Kita makan setelah berdoa, ya,” dan meski agak kecewa, dia mengangguk dan mengikutiku menanjak.


Tak lama kemudian, gerbang torii yang lebih kecil muncul di depan mata, dan tak jauh darinya berdiri sebuah gerbang kayu megah yang begitu berwibawa.


Begitu kami melangkah di bawahnya, udara sekeliling seperti berubah.


“Tempat ini memang punya aura, ya......”


“Iya......”


Sulit dijelaskan dengan kata-kata, tapi baik aku maupun Aoi-san merasakannya—sesuatu yang dalam dan hening.


Dinginnya musim dingin, udara pegunungan yang kering dan tajam, serta kesunyian yang menghuni lereng-lereng itu, semuanya berpadu menciptakan suasana khidmat yang terasa menegaskan reputasi kuil ini sebagai power spot.


“Benar-benar terasa seperti para dewa sedang memperhatikan.”


“Kalau begitu, kita harus berdoa dengan benar.”


Di balik gerbang itu, halaman kuil berubah menjadi jalan setapak yang masuk ke dalam hutan.


Jalan menanjak itu mengikuti aliran sungai pegunungan, suara gemericik airnya bergema lembut di antara pepohonan.


Di kiri kanan, jajaran pohon cedar dan berbagai jenis pohon lain berdiri rapat. Aku bisa membayangkan betapa indahnya tempat ini saat musim semi atau ketika daun-daun musim gugur mewarnai lerengnya. Tempat yang sempurna untuk berjalan perlahan menuju bangunan utama kuil.


Sambil memikirkan itu, kami melangkah sekitar sepuluh menit lagi—


“Sepertinya......ini tempatnya.”


“Wah......”


Kami berhenti, menahan napas, mendongak dengan penuh takjub.


Pemandangan yang terbentang di hadapan kami sama sekali berbeda dari sebelumnya—tebing-tebing tinggi dan dinding batu menjulang di sekeliling, dan di antaranya, sebuah tangga batu berkelok naik dengan kemiringan yang cukup ekstrem, menuju kuil di atas sana.


Sulit dipercaya bagaimana mereka bisa membangun kuil di tempat seperti ini. Sekadar memikirkan upaya dan tekniknya saja sudah memuntuk takjub.


Untuk ukuran kunjungan kuil pertama di tahun baru, ini benar-benar terasa seperti pendakian kecil.


“Aoi-san, kamu tidak apa-apa?”


“Aku baik-baik saja. Tinggal sedikit lagi—ayo.”


Kami menguatkan diri dan mulai menaiki tangga itu, melewati gerbang kuil dan bangunan kantor pengurus.


Di balik gerbang terakhir, kerumunan besar memenuhi area itu—dan akhirnya, aula utama tampak di depan mata.


“Kita sampai juga......”


“Iya. Ayo ikut antre.”


Kami bergabung di antrean paling belakang dan menunggu, hingga akhirnya giliran kami tiba.


Kami menjatuhkan koin, membungkuk dua kali, menepuk tangan dua kali, lalu membungkuk dalam sekali lagi.


Dengan mata terpejam lembut, kami menyatukan tangan dan berdoa.


Di dalam hatiku, aku menyampaikan dua harapan.


Yang pertama adalah lolos ujian masuk universitas pilihanku—dan yang satu lagi......


Semoga tahun ini menjadi tahun di mana aku dan Aoi-san melangkah maju ke tahap berikutnya.


Yang kumaksud dengan “kemajuan”, tentu saja adalah kelanjutan dari malam itu saat perjalanan ulang tahun kami.


Mungkin aku akan dimarahi karena memuntuk harapan yang begitu duniawi tepat di awal tahun baru, tapi bagiku......itu adalah hal terpenting setelah ujian masuk. Bukan yang nomor satu. Itu bisa menunggu sampai ujian selesai—jadi kumohon, dewa, tolonglah......


Sambil terus mencari-cari alasan bahkan dalam pikiranku sendiri, aku menyampaikan harapan itu dengan hati-hati, lalu membuka mata.


Di sampingku, Aoi-san berdiri dengan kedua tangan terkatup, wajahnya serius dalam-dalam.


“......Ya.”


Beberapa detik kemudian, Aoi-san menurunkan tangannya dan membuka mata juga.


“Mau kembali?”


“Iya.”


Karena ada banyak orang belakang kami, kami segera meninggalkan aula utama.


Kami berhenti di kantor kuil dan ikut antre untuk membeli jimat keberuntungan untuk ujian.


“Aoi-san, waktu berdoa tadi kamu kelihatan serius sekali. Kamu minta apa?”


“Ada dua hal. Yang pertama......supaya kita berdua lulus ujian masuk universitas di Tokyo.”


Ya, aku sudah menduga salah satunya pasti itu.


Yang memuntukku penasaran adalah yang satu lagi—dan baru saja aku memikirkannya......


“Aoi-san dan......Akira-kun?”


Pasangan di depan kami tiba-tiba menyebut nama kami.


Saat mereka menoleh, aku langsung melihat wajah yang sangat kukenal.


“Yuuki dan Natsumiya-san!?”


“Seperti yang kuduga itu suaramu, Akira!”


Orang yang berdiri tepat di depan kami ternyata adalah Yuuki dan Natsumiya-san.


“Kupikir aku mengenali suaramu. Jadi kalian juga datang ke sini, ya.”


“Benar-benar tidak disangka......aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu kalian di tempat begini.”


“Rika dan aku memang selalu datang ke sini tiap tahun untuk hatsumōde.”


Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu mereka di sini, jadi aku cukup terkejut—dan benar-benar tulus karenanya.



Sementara Yuuki dan aku sedang berapi-api sendiri, Aoi-san dan Natsumiya-san menarik lengan baju kami.


“Akira-kun, aku tahu kamu senang bertemu lagi, tapi......”


“Yuuki-kun, bukankah ada sesuatu yang seharusnya kalian ucapkan dulu?”


Kami berdua pun kena tegur dengan lembut.


“......Ya.”


Kami segera merapikan sikap dan saling bertukar salam Tahun Baru dengan sopan.


Entah kenapa, saat itu aku merasa masa depan Yuuki dan aku sudah jelas—kami akan hidup di bawah telapak kaki pacar masing-masing.


“Kalau Akira sudah kuduga, tapi aku tak menyangka bisa bertemu Aoi-san juga.”


“Benar. Sebenarnya, aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Aoi-san.”


“Terima kasih......padaku?”


Aoi-san memiringkan kepala, tak mengerti maksudnya.


“Bukan hanya berkat Akira-kun kami bisa jadian—tapi juga berkatmu, Aoi-san.”


“Maksudnya, berkat Aoi-san juga......?”


Yuuki bertanya, wajahnya penuh kebingungan.


Ya, wajar kalau dia bingung. Yang tahu seluruh ceritanya hanya aku dan Natsumiya-san.


Semua itu terjadi saat karyawisata tahun lalu.


Poin yang membuat hubungan mereka berubah adalah ketika Natsumiya-san mengganti panggilan untuk Yuuki.


Dulu dia memanggilnya “Yuuki-chan,” lalu mulai memanggil “Yuuki-kun.”


Dan petunjuk untuk perubahan itu datang dari hari ulang tahunku—saat Aoi-san memintaku memanggilnya hanya dengan namanya.


Kalau saja Aoi-san tak datang hari itu, mungkin semuanya tak akan berputar seperti sekarang.


Kalau dipikir kembali, bukan hanya aku—nyatanya sebagian besar memang berkat dirinya.


“Rika, bagaimana bisa kamu tidak menceritakan hal sepenting itu daritadi!?”


Benar-benar tak siap, Yuuki langsung membungkuk dalam-dalam ke arah Aoi-san, hampir refleks.


“Aoi-san, terima kasih. Maaf baru bisa mengucapkannya sekarang!”


Natsumiya-san juga ikut membungkuk di sampingnya.


Merasa sedikit kikuk, Aoi-san dengan lembut meminta mereka mengangkat kepala.


“Aku hanya membantu sedikit, itu pun tidak langsung. Kalian tak perlu bersikap begitu formal.”


“Tidak, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Harus kubalas......Oh! Kalian berdua ada waktu? Di jalan turun sana ada kedai teh yang selalu kami kunjungi tiap tahun. Biar aku traktir makan siang.”


Yuuki memang selalu begitu—kalau belum membalas budi, wajahnya tidak akan tenang.


Merasa tak ada salahnya menerima, Aoi-san dan aku saling bertukar pandang lalu mengangguk.


“Kalau begitu, kami terima tawarannya.”


“Bagus, terima kasih!”


Natsumiya-san yang berdiri di samping Yuuki juga terlihat lega.


Sambil mengobrol, antrean maju perlahan, dan kami semua membeli jimat keberuntungan untuk kelulusan ujian.


Aku juga tidak lupa membeli untuk Izumi dan Eiji. Setelah itu, aku menyerahkannya pada Aoi-san dan memintanya untuk menyampaikan pada mereka.


“Baik, ayo istirahat di kedai teh—”


“Belum. Masih ada satu hal yang harus kita lakukan.”


Yuuki berkata sambil tersenyum seolah sudah tahu segalanya.


“......Apa kita ada yang ketinggalan?”


“Tentu saja! Mana bisa kunjungan Tahun Baru tanpa omikuji?”


“Oh......iya juga. Sampai lupa.”


Setelah membeli jimat, aku merasa sudah ‘selesai’, jadi benar-benar terlewat dari pikiranku.


“Ini pertama kalinya kalian ke kuil ini, kan?”


“Omikuji di sini sedikit beda. Lumayan seru, lho.”


“Seru?”


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Mengikuti Yuuki dan Natsumiya-san, kami menuju kerumunan orang di tepi kantor kuil.


Setelah menunggu sebentar, kerumunan menipis dan sebuah kotak penuh omikuji pun terlihat.


“Masukkan uangnya dulu, baru ambil satu,” jelas Natsumiya-san.


Mengikuti petunjuknya, aku memasukkan uang lalu merogoh ke dalam kotak.


Saat membuka gulungan kertas yang kutarik, aku tak bisa menahan diri untuk memiringkan kepala.


“Apa ini......?”


“Akira-kun, ada yang salah?”


Di bagian atas kertas itu tertulis ‘Omikuji Ramalan Air Suci’.


Ada kolom untuk cinta, studi, kesehatan, pekerjaan—semua yang biasa ada.


Tapi semuanya kosong.


Bahkan tidak ada tulisan “Kichi” atau “Daikichi.” Sama sekali tidak ada.


“Ini......kosong.”


“Iya. Apa mungkin salah cetak?”


“Aku coba ambil satu juga.”


Aoi-san ikut menarik omikuji dan membukanya.


“Punyaku juga kosong.”


Kupikir tadinya hanya kesalahan acak, tapi kalau Aoi-san juga dapat yang sama......


Kami berdua menatap kertas kosong itu, benar-benar bingung.


“Apa maksudnya ini......?”


“Hei, hei—sabar dulu,” kata Yuuki sambil tertawa kecil ketika ia juga mengambil satu.


Tentu saja, omikuji Yuuki dan Natsumiya-san pun kosong.


“Bagus, semuanya sudah dapat. Ayo.”


“Mau ke mana?”


“Ada tempat di setengah perjalanan turun untuk melihat hasilnya,” jelas Natsumiya-san.


Masih belum paham sama sekali, aku dan Aoi-san mengikuti mereka.


“Sampai.”


Mereka membawa kami ke sebuah tempat yang tampak seperti area pencucian kecil, dengan air mata pegunungan mengalir jernih.


Tadi saat menuju aula utama, aku sempat melihat ada kerumunan di sini dan bertanya-tanya apa yang mereka lakukan—tapi tak menyangka kalau ini alasannya.


“Akira, coba celupkan omikuji-mu ke air itu.”


“Dicelup?......Baiklah.”


Aku ragu sejenak—apa kertasnya tidak akan rusak kalau basah?—tapi tetap mengikuti instruksinya dan meletakkannya di permukaan air.


Lalu, hal aneh pun terjadi.


Tulisan “Berkat Besar” perlahan muncul, diikuti teks di setiap kolom yang tadi kosong, satu demi satu.


“Ah......jadi begitu. Ini memang keren juga.”


Ramalan itu baru muncul setelah dicelupkan ke air pegunungan—tak heran namanya Omikuji Keberuntungan Air Suci.


“Aoi-san, kamu juga coba.”


“Mm, baik......”


Aoi-san berjongkok di pinggir air dan dengan hati-hati mencelupkan kertasnya.


Tulisan “Berkat Besar” muncul di kertasnya juga.


“Kita sama.”


“Sepertinya tahun ini akan jadi tahun yang bagus untuk kita berdua.”


Yuuki dan Natsumiya-san, yang berdiri di sebelah kami, ikut mencelupkan kertas mereka.


Ternyata mereka juga mendapat Berkat Besar, dan Yuuki langsung bersorak kegirangan seperti anak kecil.


“Nah, sekarang ramalannya sudah keluar, ayo ke kedai teh!”


“Ya, ayo.”


“Tapi, um......”


Aoi-san mengangkat tangan pelan.


“Aku mau beli......sedikit camilan dari stan makanan......”


Sepertinya dari tadi dia menahan diri karena ada Yuuki dan Natsumiya-san.


Berbeda dengan saat kami baru datang, kali ini dia mengatakannya dengan malu-malu.


“Selesai! Bukan hanya kedai teh—semua jajanan di stan makanan biar aku yang traktir juga!”


Begitulah, kami menyelesaikan kunjungan tahun baru kami dan meninggalkan kompleks kuil.


Setelah itu, kami menghabiskan sekitar satu jam di kedai teh yang direkomendasikan Yuuki, mengobrol sambil makan siang. Karena orang tua Yuuki akan menjemput mereka, aku dan Aoi-san berangkat lebih dulu.


Kami berdua melambaikan tangan pada Yuuki dan Natsumiya-san, lalu keluar dari kedai teh.


“Ngomong-ngomong......”


“Ada apa?”


Saat berjalan menuju halte bus, aku menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah ingin kutanyakan sejak tadi—tapi sempat terlupa.


“Tadi kamu bilang......kamu membuat dua permohonan pada dewa, kan?”


Salah satunya soal kelulusan ujian masuk universitas. Lalu, yang satu lagi itu apa?


Jawaban Aoi-san adalah—


“Aku berdoa supaya orang tuamu mengizinkan kita tinggal bersama.”


“Ah......”


Kata-katanya memuntukku spontan berhenti melangkah.


“Akira-kun, kamu......belum bilang apa pun pada orang tuamu, kan?”


“Ah......”


Refleks, aku menutup mulut dengan tangan.


Sejak perjalanan ulang tahun Aoi-san waktu itu, aku memang berniat bicara soal rencana itu pada orang tuaku. Kupikir aku akan mengatakannya begitu pulang......tapi situasi yang satu dan lainnya datang bergantian, dan akhirnya......benar-benar terlupa.


Walaupun aku sedang sibuk belajar, itu bukan alasan.


“Maaf......Aku beneran baru ingat sekarang.”


“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk belajar. Jadi jangan terlalu dipikirkan.”


“Bukan......maksudku, aku seharusnya langsung bilang setelah kita pulang dari perjalanan itu.”


Sudah terlambat menyesal, tapi aku tidak bisa terus menunda.


Kalau menunggu sampai setelah pengumuman hasil ujian, justru bisa memuntuk semuanya jadi lebih rumit.


Kalau saja aku tidak mengajak Aoi-san ke kuil hari ini......mungkin aku tidak akan ingat sama sekali.


“Aku akan bicara dengan mereka malam ini. Apa pun yang terjadi.”


“Malam ini?”


“Iya. Ayah juga pulang malam ini.”


“Aku mau ikut denganmu.”


“Kamu juga mau ikut, Aoi-san?”


Aku benar-benar tidak menyangka ia akan mengatakan itu.


“Aku juga ingin bicara dengan orang tuamu. Ini tentang masa depan kita berdua.”


Ada tekad tenang di matanya—begitu kuat hingga tak memberiku ruang untuk menolak.


Meski aku bilang bisa menghadapinya sendiri, aku tahu dia tidak akan mundur.


“Baik. Kita hadapi bersama.”


“Iya.”


Dengan itu, kami naik bus dan pulang ke rumah.


Tepat di awal tahun baru, sebuah peristiwa besar—yang sama sekali tidak kami rencanakan—tiba begitu saja.

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.2"