Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.1
Bab 7 - Kunjungan Kuil Pertama
Dan tibalah hari terakhir di tahun itu—
Sore tanggal 31 Desember.
“Ugh......”
Aku sedang beristirahat dari belajar, duduk santai di ruang keluarga.
Sambil bersembunyi di bawah kotatsu, aku menatap ponsel di tangan dan mengerutkan dahi, tenggelam dalam pikiran.
“Akira, ada apa?”
Di sampingku, Hiyori yang sedang makan jeruk mandarin menoleh dan bertanya.
Tentu saja dia penasaran, soalnya aku merintih seperti itu tepat di sebelahnya.
Ngomong-ngomong, keranjang jeruk yang tadi masih penuh, dalam sepuluh menit sudah tinggal setengah.
“Aku kepikiran untuk pergi ke kuil waktu tahun baru dan berdoa biar ujian masuknya lancar, tapi—”
“Oh, kamu sedang berpikir akan mengajak Aoi-san atau tidak, makanya hanya bengong melihat ponsel, kan?”
Hiyori menyelesaikan kalimatku sebelum aku sempat mengatakannya.
“Kau tajam seperti biasa.”
Sejak masuk SMA, rasanya instingnya makin meningkat saja.
Belakangan dia juga makin perhatian, mungkin karena dia tahu betapa sibuknya aku menghadapi ujian masuk.
Saat aku lapar tengah malam dan berniat ke dapur, dia sudah lebih dulu membawakan camilan.
Atau ketika buku catatan dan pulpenku mulai menipis, dia sudah menyiapkannya tepat di saat yang pas.
Seolah dia bisa melihat segalanya dan diam-diam mendukungku.
Dia benar-benar adik perempuan yang luar biasa, dan aku sangat bersyukur memilikinya.
“Bukan soal tajam atau tidak. Wajahmu itu sudah jelas banget.”
“Semudah itu dibaca......?”
Hiyori mengangguk tanpa berkata apa pun, ekspresinya tetap datar.
Serius......? Aku benar-benar tidak sadar.
“Aku sudah berjuang belajar habis-habisan—ulang tahunku lewat, Natal pun kulewati—tapi aku benar-benar ingin bertemu Aoi-san. Aku tahu aku tidak boleh terdistraksi soal cinta, tapi tahun baru sudah dekat, dan aku pikir mengajaknya ke kuil tidak akan merepotkan......Tapi aku malah terus ragu, menulis pesan lalu hapus lagi, begitu terus beberapa hari ini.”
“......Ya.”
Saking tepatnya, aku sampai bertanya-tanya apakah dia memasang kamera tersembunyi untuk mengamatiku.
Ini bukan sekadar intuisi lagi—ini sudah setingkat membaca pikiran.
Kalau begini, Hiyori pasti akan jadi konselor atau dokter yang hebat suatu saat nanti.
“Kau tinggal ajak saja.”
“Tapi......bagaimana kalau merepotkan?”
Untuk ukuran Hiyori, dia menghela napas kesal—jarang sekali dia menunjukkan reaksi seperti itu.
“Kalau hanya libur satu dua hari dari belajar sudah membuatmu gagal, berarti dari awal kau memang tidak akan lulus, jadi menyerahlah. Kalau kau stres karena tidak ketemu dia, lebih baik sekalian saja ketemu dengan alasan doa ujian. Malah bisa menambah motivasi untuk sisa hari-hari nanti.”
Aku tidak bisa membantah sepatah kata pun.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Seperti biasa, wajahnya tenang tanpa ekspresi, suaranya juga datar tanpa emosi kuat, namun entah bagaimana aku merasa dia sedang mendorongku maju.
“Kau benar. Aku akan ajak dia, seperti katamu.”
“Sampaikan salam semangat dariku untuk Aoi-san.”
“Baik. Akan kusampaikan.”
Saat itu juga, aku mengirim pesan ke Aoi-san: “Mau pergi ke kuil bareng besok?”
Jujur saja, karena begitu mendadak, bisa jadi dia sudah punya rencana. Tapi para pejuang ujian kan hampir tidak punya libur, jadi aku berharap dia senggang.
Beberapa menit kemudian, balasan pun datang.
“Dengan senang hati!”
Begitu balasannya. Tak lama kemudian, dia langsung menelponku.
“Halo, Aoi-san?”
“Maaf tiba-tiba menelepon. Aku pikir bicara langsung lebih cepat. Sekarang waktunya pas?”
“Ya, tidak masalah. Kebetulan aku juga mau meneleponmu kalau kamu senggang.”
Di seberang, kudengar dia menghela napas lega.
“Sebenarnya, aku juga sempat mau mengirim pesan yang sama.”
“Kamu juga?”
“Aku ragu, takut merepotkan, soalnya ujian bersama sudah makin dekat......Tapi kita sudah menahan diri waktu Natal dan belajar keras, jadi kupikir mengajak ke kuil pasti tidak apa-apa—dan tepat saat itu pesanmu datang. Aku kaget sekali.”
“Begitu, ya......”
Ternyata kami memikirkan hal yang sama.
Mengetahuinya saja sudah memuntukku tersenyum.
“Kalau begitu, aku akan ke tempatmu.”
“Tidak, kali ini biar aku yang datang ke sana.”
Suara Aoi-san terdengar jelas dan tegas.
“Kamu selalu yang datang ke sini. Dan aku juga ingin bertemu Hiyori-chan.”
Aku melirik Hiyori, yang masih sibuk dengan jeruknya.
Dia menoleh sambil memiringkan kepala, memasukkan satu ruas jeruk utuh ke mulutnya seolah hendak menelannya bulat-bulat.
Sepertinya dia juga ingin bertemu Aoi-san.
Dan kalau Aoi-san datang, dia bisa menyampaikan semangatnya secara langsung, bukan lewat aku.
“Kamu yakin?”
“Tentu. Jangan sungkan.”
“Terima kasih. Kalau begitu, aku terima.”
Setelah itu, kami mengobrol sebentar lagi sebelum akhirnya menutup telepon.
Aku sebenarnya ingin mengobrol lebih lama, tapi Aoi-san bilang dia harus membantu neneknya menyiapkan keperluan Tahun Baru, jadi kami menutup telepon lebih cepat. Toh besok kami akan bertemu—jadi untuk sekarang aku bisa menahan diri.
“Hiyori, Aoi-san besok datang ke sini.”
Telinganya langsung terangkat ketika dia menghabiskan jeruk terakhirnya.
“Jam berapa dia datang? Dia mampir ke rumah dulu? Dia menginap?”
“E-Eh, pelan-pelan.”
Hiyori melontarkan pertanyaan beruntun sambil mendekat, seperti menuntut jawaban hanya dengan tatapannya saja.
“Dia datang setelah kunjungan ke kuil, jadi kamu bisa sampaikan pesannya sendiri nanti.”
“Baik. Mengerti.”
Ekspresinya tetap datar seperti biasa, jadi sulit menebak apakah dia senang.
Tapi cara rambut sebahunya bergoyang halus dan bagaimana dia langsung meraih jeruk lagi sudah cukup jelas—dia sedang dalam mood yang sangat baik.
Dan dengan begitu, diputuskanlah: aku akan pergi ke kuil bersama Aoi-san.
*

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 7.1"