Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 1.2


Bab 1 - Penginapan Terpencil di Tanah yang Belum Terjamah




Aku segera menelepon Aoi-san.


Kalau dia tidak mengangkat, aku tinggal tinggalkan pesan agar dia bisa balik menelepon nanti.


Itu rencananya—namun beberapa detik kemudian, setelah beberapa kali nada sambung—


“—Akira-kun?”


“Maaf menelpon mendadak. Sekarang waktunya pas?”


“Iya. Aku baru saja keluar dari mandi, jadi tidak apa-apa.”


“Mandi, ya......”


Tentu saja otakku langsung mulai berimajinasi—gara-gara godaannya Izumi tadi, plus fakta kalau pemandian luar ruangan di penginapan itu pemandian campuran. Hanya mengingatnya saja ssudah cukup buat otakku kebingungan membayangkan kami mandi bareng.


Aku memang berusaha jadi laki-laki yang baik, tapi aku tetap remaja laki-laki normal. Kalau hal-hal begitu dibahas, ya wajar kalau pikiranku lari ke sana.


Dan kalau pacarku bilang dia baru keluar dari mandi......ya, bagaimana aku tidak membayangkan?


“Akira-kun? Ada apa?”


“Ah, tidak! tidak ada apa-apa!”


“Begitu? Ya sudah kalau kamu bilang begitu.”


Aku buru-buru menutupi kebingungan yang kubuat sendiri.


“Ada sesuatu yang penting?”


“Aku menemukan tempat bagus untuk perjalanan ulang tahunmu.”


“Beneran—!?”


Nada suaranya langsung naik sedikit, terdengar jelas dia bersemangat.


“Ya......bilangnya ‘menemukan,’ tapi sebenarnya Izumi yang bantu. Dia merekomendasikan tempat ini, dan aku rasa kamu akan suka. Aku kirim link-nya ya—tunggu sebentar.”


Sambil tetap di telepon, aku mengirimkan URL beranda penginapan itu ke Aoi-san.


“......Kelihatannya indah banget tempatnya!”


Sepertinya dia juga suka.


“Itu penginapan terpencil, hanya satu di sana, di tengah pegunungan—”


Leganya aku sampai bisa bicara lancar lagi saat menjelaskan semua hal yang dikasih tahu Izumi.


“......Oh.”


Tiba-tiba Aoi-san mengeluarkan suara kecil......agak canggung.


“Ada apa?”


“Pemandian luar yang di sana......itu campur, ya......”


“Ah, um—iya, memang. Tapi kalau kamu tidak nyaman, kita tidak harus masuk bareng, kok. Kamu bisa pakai pemandian dalam, atau......aku dengar ada pemandian luar khusus perempuan juga. Jadi kalau kamu lebih—!”


Berusaha mati-matian menutupi niat tersembunyi, aku malah melontarkan hal yang bahkan bukan maksudku. Padahal, jujur saja......aku ingin sekali masuk bareng. Tapi mana mungkin aku bilang begitu.


Lalu—


“Tidak......aku tidak keberatan.”


“......Hah?”


Kupikir telingaku salah dengar.


“B-Berarti......kita bisa masuk bareng?”


“Iya......tidak apa-apa.”


“......”


Keheningan panjang memenuhi sela-sela telepon.


......Seriusan!?


“Kalau begitu......boleh aku langsung pesan tempatnya?”


“Iya, tolong.”


“Baik. Setelah ini aku langsung pesan, ya.”


“Terima kasih. Sekarang aku jadi makin tidak sabar menunggu ulang tahunku.”


Setelah itu kami ngobrol ringan sebentar—hal-hal kecil, obrolan kosong yang justru terasa menyenangkan.


Sebenarnya aku masih ingin bicara lebih lama, tapi kami berdua sedang sibuk ujian. Demi bisa pergi dua malam tiga hari saat Golden Week nanti, kami harus tetap disiplin. Jadi setelah saling menyemangati sebentar, kami pun menutup telepon.


Begitu panggilan berakhir, aku langsung membuka situsnya dan menyelesaikan pemesanan.


Dan kemudian, dipenuhi euforia yang meledak tanpa bisa ditahan, aku menatap langit-langit kamar dan mengacungkan tinju ke udara!


“Yes!—tunggu, ini bukan saatnya senang hanya karena bisa mandi bareng.”


Tentu saja aku senang. Siapa yang tidak? Tapi terlalu cepat buat merayakan kemenangan.


Masih ada satu hal penting yang harus kupersiapkan.


Dan aku bahkan ssudah tidak repot-repot menyembunyikannya—ya, barang yang Izumi kasih dua tahun lalu itu.


“Di mana aku menaruhnya......?”


Aku mulai mengobrak-abrik kamarku sambil mencoba mengingat-ingat.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Seharusnya aku menyimpannya di tempat yang sama seperti waktu masih tinggal di rumah lama. Jadi aku mulai membongkar lemari.


Tapi......tunggu dulu. Bukannya sudah dua tahun sejak dia kasih itu? Barang begitu ada tanggal kedaluwarsanya atau tidak, sih?


Sambil dilanda kecemasan yang makin naik, aku terus mencari. Tiga puluh menit kemudian—


“......Tidak ada.”


Seluruh lemari ssudah berantakan, tapi tetap tidak ketemu.


“Aneh banget......”


Berusaha menenangkan diri, aku berhenti sejenak dan mengingat-ingat lebih serius.


Aku yakin aku pernah memasukkannya ke dalam salah satu kardus pindahan waktu kami ganti rumah.


Aku ingat dengan jelas menaruhnya di kardus saat masih di rumah lama, dan aku juga merasa pernah melihatnya saat membongkar barang-barang di kamar baru ini. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana aku akhirnya menyimpannya.


Ya wajar, sudah lebih dari setahun berlalu—siapa yang bisa ingat detail sekecil itu?


“Ini gawat......”


Maksudku, kalau pun benar-benar hilang, aku bisa saja beli yang baru—tapi bukan itu masalahnya.


Kalau aku tidak menemukannya, ada kemungkinan anggota keluargaku menemukannya duluan. Dan meski semua orang di rumah sudah tahu aku punya pacar, menemukan barang itu tetap saja bakal super memalukan.


Bagaimana kalau ada yang ssudah menemukannya lebih dulu dan diam-diam membuangnya?


Kalau remaja cowok ketahuan menyimpan majalah 18+, ya paling hanya jadi bahan ledekan sebentar. Tapi kalau yang ditemukan itu benda karet semacam itu......itu terlalu......langsung untuk bisa ditertawakan.


Berkeringat dingin, aku melanjutkan pencarian, ketika—


“Akira—”


“Uwah!”


Sebuah suara tiba-tiba memanggil, dan aku menjerit karena kaget bukan main.


Saat aku menoleh, Hiyori sudah berdiri di sana—tanpa ekspresi, sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakanku.


Mungkin dia terkejut, tapi wajah poker face-nya membuatku mustahil menebaknya.


“Ibu bilang kamu harus cepat mandi.”


“O-Oh......oke. Makasih.”


“......Kakak sedang apa?”


Hiyori melihat sekeliling kamar yang berantakan dengan kepala sedikit dimiringkan.


“Ah, hanya......mencari sesuatu.”


“Mencari sesuatu?”


Sudah jelas aku tidak bisa bilang apa yang sebenarnya kucari.


“Itu barang penting?”


“Yah......lumayan penting, sih.”


“Begitu. Kalau begitu, biar aku bantu cari.”


“T-Tidak usah! Beneran! Tapi makasih niatnya!”


Saat aku menolak dengan senyum kaku, Hiyori menatapku.


Perasaan tidak nyaman membuatku memalingkan muka—tapi Hiyori segera bergerak memutari meja dan menatap dari sisi itu juga. Aku menghindar lagi, dan dia mulus bergerak ke sisi lain, kembali menatapku dengan mata besarnya.


“.......”


Setelah beberapa kali mengulang “tari menghindar” yang sangat menyiksa itu, Hiyori tampaknya menyimpulkan sesuatu dan pergi tanpa suara.


Beberapa saat kemudian, dia kembali—dan aku langsung terdiam melihat apa yang dia bawa.


“Ini yang Kakak cari, kan?”


Barang yang dia ulurkan padaku—adalah tepat itu.


Barang yang sejak tadi kucari—produk karet yang masih tersegel, belum pernah dibuka.


“K-Kenapa kamu punya ini......?”


Sambil masih terpaku, aku mengambilnya dari tangan Hiyori dan bertanya tanpa pikir panjang.


“Waktu Kakak beres-beres setelah pindahan, aku menemukannya saat membersihkan beberapa kotak. Benda itu menggelinding ke pojok ruangan. Kupikir akan repot kalau Ayah atau Ibu yang menemukannya, jadi aku simpan dulu untuk Kakak......tapi aku lupa mengembalikannya.”


Sementara aku membeku karena malu, Hiyori tetap sama sekali tanpa ekspresi.


Tidak mungkin menebak apa yang ada di kepalanya—dan justru itu yang membuat semuanya lebih memalukan.


“T-Terima kasih......tapi bagaimana kamu tahu kalau ini yang sedang kucari?”


“Dulu Kakak menyimpannya di lemari di rumah lama. Dan Kakak mau pergi liburan ulang tahun dengan Aoi-san, kan? Jadi......kalau Kakak tiba-tiba kelihatan panik dan mencari sesuatu, aku pikir pasti ini.”


Daya analisis Hiyori memang selalu tajam.


Tapi untuk hal seperti ini......jujur saja, itu agak menyeramkan.


“Aku dukung Kakak. Semangat, ya.”


“Uh......iya......terima kasih......”


“Nanti waktu pulang, aku tunggu laporannya.”


Dia mengepalkan tangan kecilnya di depan dada sebagai tanda semangat, lalu keluar kamar.


Wajahnya tetap tanpa emosi, jadi aku sama sekali tidak tahu dukungan macam apa itu seharusnya—tapi yang jelas, menerima semangat seperti itu dari adik perempuan sendiri adalah bentuk rasa malu level khusus.


Beberapa hari setelah kejadian itu, aku terlalu malu untuk menatap wajah Hiyori secara langsung.


Maksudku......ya, mungkin ini masih lebih baik daripada Ibu atau Ayah yang menemukannya......kan?


Dan kemudian, sesuatu yang baru kuketahui belakangan—


Alasan Izumi tahu kalau barang itu masih belum dibuka......adalah karena Hiyori yang memberi tahu.


Meskipun aku dan Aoi-san pernah tinggal bersama selama setahun, dan setelah tujuh bulan pacaran......ternyata keduanya sama-sama khawatir apakah kami sudah menggunakannya atau aku bahkan masih punya barang itu.


Sahabatku dan adik perempuanku terlalu tertarik pada urusan pribadi antara aku dan Aoi-san.


Hanya membayangkan bagaimana mereka akan menginterogasiku habis-habisan setelah perjalanan itu saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.


Akhir Bab 1

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J7 Bab 1.2"