Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 8.2


Bab 8 - Memperkenalkannya Pada Ayahku




“Selamat datang.”


Hiyori menyambut kami saat kami melepas sepatu di depan pintu.


“Kami pulang. Ayah di mana?”


“Di ruang keluarga. Semoga beruntung, kalian berdua.”


“Terima kasih.”


Aku dan Aoi-san saling bertukar pandang—sebuah isyarat diam untuk meneguhkan tekad yang sudah kami untuk—lalu melangkah masuk.


Kami berjalan menyusuri lorong dan berhenti di depan pintu ruang keluarga.


Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.


Lalu, dengan mental yang sudah kupersiapkan semaksimal mungkin, aku membuka pintu.


Ayah sedang duduk di sofa.


“Halo, Yah. Selamat datang.”


“Ya. Aku pulang.”


Ia mengangkat kepalanya dan mengalihkan pandangan ke arah kami.


“Boleh bicara sebentar?”


“Tentu.”


Ia memberi isyarat agar kami duduk. Kami pun duduk berdampingan di sofa yang berhadapan dengannya.


Perutku terasa mengerut seperti dipelintir. Mual rasanya, tapi aku paksa bertahan.


“Aku ingin memperkenalkan seseorang. Ini Saotome Aoi.”


“Senang bertemu dengan Anda. Nama saya Saotome Aoi.”


Meski gugup, Aoi-san tetap tersenyum dan menundukkan kepala dengan sopan.


“Senang bertemu denganmu. Aku ayahnya Akira.”


Nada suaranya, seperti Hiyori, tak memperlihatkan emosi apa pun.


Atau mungkin bagiku terasa lebih sulit dibaca hanya karena aku sedang sangat tegang.


“Kami dulu sekelas di sekolah lamaku, dan kami mulai berpacaran sejak liburan musim panas. Ibu dan Hiyori sudah bertemu dengannya, tapi aku ingin memperkenalkannya padamu secara langsung.”


“Maaf karena baru bisa memperkenalkan diri sekarang. Akira-kun sudah banyak membantu sejak tahun lalu, dan sekarang kami berpacaran.”


Setelah salam selesai, kami duduk dalam keheningan yang tegang, menunggu tanggapannya.


Detik demi detik berlalu, berat dan tak mau bergerak.


Lalu—


“Aoi-san.”


“Ya, Pak?”


Begitu namanya keluar dari bibir ayah—


“Tolong terus jaga Akira.”


Kata-katanya, yang terucap begitu lembut, memenuhi seluruh ruang tamu.


Ia tersenyum tipis dan menundukkan kepala dalam-dalam.


“Y-ya......tentu saja.”


Aku terkejut oleh jawaban sesederhana itu—tapi lebih terkejut lagi melihat senyum di wajah ayahku.


Melihat Ayah tersenyum bahkan lebih langka daripada melihat Hiyori tersenyum. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali itu terjadi.


Begitu langkanya.


Namun lebih dari sekadar terkejut, aku merasa lega.


Senyuman itu adalah bukti bahwa ia menerima Aoi-san.


“Ayah......ada sesuatu yang perlu aku jelaskan tentang Aoi-san.”


Dan justru itu membuat bagian selanjutnya terasa jauh lebih berat.


Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan, aku dan Aoi-san meneguhkan hati untuk mengungkapkan kebenaran.


“Sebelum aku pindah ke sini......aku dan Aoi-san tinggal bersama di rumah itu.”


Begitu aku mengucapkannya, senyum Ayah langsung lenyap.


Udara di ruangan berubah.


Mencekam—berat—menekan kami saat mulai menjelaskan semuanya.


Tentang bagaimana, pada bulan Juni lalu, di hari hujan, aku menemukan Aoi-san duduk sendirian di taman tanpa payung.


Bagaimana aku membawanya pulang setelah tahu ibunya menghilang dan ia tidak punya tempat untuk kembali.


Bagaimana kami tinggal bersama setelah itu sementara aku bersiap pindah sekolah, dibantu teman-temanku untuk menstabilkan keadaannya.


Bagaimana Mom akhirnya tahu soal kami tinggal bersama—dan bagaimana aku meminta Ibu dan Hiyori merahasiakannya.


Bagaimana, selama masa itu, Aoi-san bertemu kembali dengan ayah dan neneknya, lalu memutuskan hubungan dengan ibunya.


Dan akhirnya, bagaimana kami makin dekat dan mulai berpacaran saat liburan musim panas.


Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berbicara ketika semua penjelasan itu selesai.


Selama seluruh waktu itu, Ayah hanya mendengarkan tanpa sepatah kata pun.


“......Maaf karena menyembunyikannya darimu.”


“Saya juga sangat minta maaf......”


Aku dan Aoi-san membungkuk bersamaan.


Kami tetap dalam posisi itu selama beberapa detik, sampai—


“Aku sudah tahu.”


“......Hah?”


Kata-kata itu memecah keheningan yang tebal.


Kami langsung mendongak bersamaan.


“Ayah......sudah tahu?”


Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku.


Bagaimana? Bagaimana Ayah bisa tahu?


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Apa Ibu atau Hiyori yang memberitahunya? Tidak......aku tidak bisa membayangkan mereka membohongiku seperti itu.


“Kalian terkejut, ya. Wajar saja. Tapi aku sudah tahu sejak lama.”


Ia melanjutkan sebelum kami sempat bertanya.


“Tagihan utilitas rumah itu dibebankan ke akunku. Waktu melihat jumlahnya tiba-tiba naik, aku merasa aneh. Kupikir mungkin kau sedang menjamu tamu, jadi saat ada perjalanan kerja ke daerah itu, aku mampir ke rumah. Di situlah aku melihat kalian berdua—kau dan Aoi-san—masuk ke dalam.”


Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan,


“Waktu itu aku sudah cukup paham apa yang sedang terjadi.”


Tagihan utilitas? Serius?


“Awalnya, kupikir itu hanya pacar yang sesekali menginap. Tapi ketika pemakaiannya terus tinggi selama berbulan-bulan, aku sadar situasinya tidak sesederhana itu. Lalu kupikir......orang tua seperti apa yang membiarkan putri mereka menginap sesering itu? Kesimpulan paling masuk akal adalah......dia tidak punya tempat lain untuk pergi.”


Selama ini aku tahu Hiyori punya insting yang tajam, tapi ternyata insting Ayah berada di levelnya tersendiri.


“Dan setelah mendengar penjelasan Aoi-san tadi......semua potongannya langsung pas.”


Ia sudah tahu sejak awal.


Yang berarti, muncul pertanyaan berikutnya.


“Kalau Ayah sudah tahu......kenapa tidak mengatakan apa-apa?”


Kalau seorang ayah tahu anak laki-laki remajanya diam-diam tinggal serumah dengan seorang gadis, reaksi normalnya pasti menuntut penjelasan.


Bahkan kalau ia memahami situasinya sekalipun, seharusnya ada teguran atau pertanyaan.


“Akira......kamu sudah SMA. Pada usia ini, kamu seharusnya tahu arti bertanggung jawab atas tindakanmu. Aku membesarkanmu dengan harapan itu. Jadi ketika aku melihat apa yang sedang terjadi, aku memilih untuk mempercayaimu. Kalau aku mempertanyakanmu, itu artinya aku meragukan cara didikku sendiri.”


Ia mengembuskan napas pelan, lalu menambahkan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri—


“Lagipula......setiap anak pasti menyembunyikan satu atau dua rahasia dari orang tuanya.”


Nada suaranya membuatnya terdengar seolah ia berbicara dari pengalaman pribadi.


Lalu—


“Ayah juga menyembunyikan soal tinggal serumah dari orang tuamu sampai menjelang pernikahan kita.”


Ibu masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi teh.


“......Itu......hanya kebodohan masa muda.”


“Eh......apa?”


“Serius?”


Ibu meletakkan cangkir-cangkir teh di meja sambil tertawa kecil.


“Iya. Zaman kami dulu, itu dianggap masalah besar. Bahkan sampai sekarang, tiap kali kami berkunjung ke rumah orang tuaku, mereka masih bilang, ‘Bisa-bisanya kalian tinggal serumah sebelum menikah.’ Mereka tidak pernah lupa mengungkitnya.”


Ayah berdeham canggung, jelas tidak nyaman membahas masa lalunya.


Aku......benar-benar tidak menyangka.


Ayahku—pria yang selalu serius dan penuh tanggung jawab—ternyata pernah melakukan hal yang sama persis denganku.


“Jadi......Ayah membiarkan aku lolos karena dulu Ayah juga begitu?”


“Itu salah satunya. Alasan lainnya......karena ibumu.”


“Hah?”


Ibu langsung membeku, tangannya berhenti di tengah gerakan.


“Waktu dia pulang dari mengunjungi kalian musim panas itu, aku langsung tahu ada sesuatu. Dan kalau dia memilih diam, berarti dia punya alasan yang kuat.”


Ibu tersenyum canggung.


“Kamu tahu?”


“Tentu saja.”


“......Hahaha......”


Aku dan Ibu sama-sama tersenyum pasrah.


“Jadi kalau ibumu bersedia menjaga rahasia dan mengawasi keadaan, aku tidak perlu turun tangan. Aku tahu kalau ada hal yang benar-benar salah, dia pasti segera memberitahuku.”


Kepercayaan itu—kemitraan yang tidak perlu diucapkan—itulah alasan Ayah tidak ikut campur.


Menyadarinya membuatku melihat hubungan orang tuaku dari sudut yang berbeda.


“Kalau begitu......berarti Ayah tidak keberatan kalau aku dan Aoi-san pacaran?” tanyaku hati-hati.


Ayah mengangguk kecil.


“Kalau kalian sama-sama serius menjalaninya, aku tidak punya alasan untuk menolak.”


“Beneran?”


“Ya. Asalkan kalian tetap bertindak dengan dewasa dan bisa menahan diri.”


Ketegangan yang menjerat tubuhku selama ini akhirnya luruh seketika.


Di sampingku, Aoi-san juga melepaskan napas lega.


“Terima kasih, Ayah.”


“Terima kasih banyak......”


Kami membungkuk lagi—kali ini sambil tersenyum.


Dengan itu, hubungan kami akhirnya diakui secara resmi oleh kedua keluarga.


Rasanya seperti kami berdua baru saja melangkah ke tahap yang jauh lebih besar dan penting.


Saat makan malam siap, kami semua duduk bersama di meja.


Tentu saja, topik pembicaraan malam itu berpusat pada Aoi-san.


Ibu dan Hiyori—mungkin sebagai ganti dari berbulan-bulan mereka menyembunyikan kebenaran—langsung menyerangnya dengan pertanyaan demi pertanyaan, sambil menjelaskan pada Ayah seperti apa Aoi-san sebenarnya.


Pada awalnya, Aoi-san menjawab dengan hati-hati, seperti sedang menapaki es tipis.


Tapi perlahan, sedikit demi sedikit, ia mulai rileks dan ikut masuk dalam percakapan.


Bahkan Ayah, yang biasanya hanya bicara seperlunya, berkata jauh lebih banyak dari biasanya malam itu.


Sambil melihat mereka semua bercakap-cakap dan tertawa di sekitar meja, sebuah perasaan hangat merembes ke dalam dadaku.


Ah......jadi ini.


Inilah yang rasanya disebut kebahagiaan.


Akhir Bab 8

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 8.2"