Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 8.1

Bab 8 - Memperkenalkannya Pada Ayahku




Keesokan harinya, Sabtu siang—


Aku dan Aoi-san sedang diantar ke pusat perbelanjaan dekat kota oleh Ibu.


“Terima kasih sudah menganter. Sangat membantu,” kataku.


“Terima kasih banyak,” tambah Aoi-san.


Kami keluar dari mobil dan mengucapkan terima kasih.


“Nanti Ibu bisa jemput juga. Jam berapa harus Ibu datang?”


“Tidak usah, tidak apa-apa. Kami pulang naik bus saja.”


“Baiklah. Tapi kalau berubah pikiran, telepon saja, ya.”


“Siap. Terima kasih.”


Kami melambaikan tangan saat Ibu pergi, lalu berbalik menuju pintu masuk mal.


“Berangkat?”


“Ya.”


Lalu kenapa kami ke pusat perbelanjaan hari ini?


Itu semua bermula semalam, setelah kejadian super canggung ketika Hiyori memergoki kami. Setelah semua mandi dan kembali berkumpul di ruang keluarga untuk santai sebelum tidur, obrolan kecil pun dimulai.


“Jadi, besok mau apa?”


“Hmm......mungkin santai aja? Kita juga capek habis pulang dari perjalanan.”


Menunggu di rumah sampai Ayah pulang rasanya tidak terlalu menarik.


“Mungkin kita bisa pergi ke suatu tempat? Mal memang agak jauh, tapi kayaknya seru.”


Mata Aoi-san langsung berbinar, dan dia menepuk tangannya dengan antusias.


“Kalau begitu, aku mau beli hadiah ulang tahun untuk Akira-kun!”


“Ide bagus. Aku juga harus memilih hadiah untuk ulang tahunmu.”


“Kalau begitu, ayo kita pilih bareng hadiah untuk satu sama lain.”


Begitulah rencana hari ini terbentuk.


“Ya, ayo.”


Ibu, yang kebetulan mendengar percakapan kami, langsung menawarkan diri untuk mengantar. Dan akhirnya, kami pun sampai di sini.


Bukan berarti aku lupa soal hadiahnya—tapi aku senang Aoi-san yang mengatakannya duluan.


“Wah. Ramai banget hari ini.”


Begitu melangkah masuk, lautan manusia langsung menyambut kami.


“Iya. Tapi, entah kenapa......jalan di mal seramai ini mengingatkanku dengan pertama kali kita pergi belanja bareng.”


“Benar juga. Waktu itu juga ramai.”


Kenangan itu muncul kembali—membawa nostalgia yang hangat.


Hari itu pertama kalinya kami pergi keluar berdua. Hari ketika aku sadar kalau Aoi-san sebenarnya bukan gal pirang mencolok seperti penampilannya saat itu. Hari ketika dia berubah menjadi sosok cantik yang tenang dan elegan seperti sekarang. Hari ketika Eiji dan Izumi mengetahuinya dan membuatku panik setengah mati.


Dan yang paling penting—hari ketika aku mulai ingin menjadi seseorang yang bisa dia andalkan.


Rasanya itu terjadi sangat lama yang lalu......


“Aku ingat waktu itu petugas salon memanggilmu ‘pacarnya’, lalu kamu salah paham dan mengira maksudnya kamu pacarku. Kamu bahkan minta maaf karena salah mengerti. Dan sekarang kita benar-benar pacaran. Aneh ya, hidup ini?”


“Aku cuma gugup waktu itu, dan tidak tahu harus jawab apa......Akira-kun jahat.”


Godaan kecil itu awalnya menyenangkan—sampai dia mengembungkan pipi dan menatapku tajam.


Oh tidak......sepertinya aku kebablasan.


“Maaf, tadi cuma bercanda.”


“......Gak mau tau.”


Dia berbalik dan berjalan duluan, dagunya terangkat sedikit.


Ini gawat. Aku belum pernah melihatnya marah seperti itu sebelumnya.


“Aku beneran minta maaf.”


“......”


“Aku akan lakukan apa saja untuk menebus ini.”


Aku mengulang permintaan maaf beberapa kali sampai akhirnya dia berhenti dan menoleh kembali.


“Aoi-san......?”


Jantungku berdebar saat menunggu jawabannya.


Tatapannya—tajam seperti kucing yang mengintai mangsa—jatuh tepat pada tanganku.


“Kena.”


Tanpa peringatan, dia meraih tangan kananku.


Aku memiringkan kepala, bingung.


“Uh......ini maksudnya apa?”


“Kalau kamu pegang tanganku seharian penuh, aku maafin.”


“......Tentu saja! Bahkan kalau kamu tidak minta pun aku mau.”


Rasa lega langsung mengalir, dan aku menghela napas panjang.


Di sampingku, Aoi-san tersenyum lebar—seolah tadi sama sekali tidak marah.


Tunggu dulu......apa dia pura-pura?


“Kamu tadi hanya pura-pura marah, ya?”


“A-Apa? Tidak......eh, maksudmu apa sih?”


Pandangannya menghindar, dan pipinya memerah.


Dia benar-benar jelek kalau disuruh bohong.


“Sebenernya......tanganmu kelihatan kesepian.”


Pengakuannya yang malu-malu langsung membongkar semuanya.


Jadi itu alasannya—dia cuma butuh alasan untuk menggenggam tanganku.


“Aku mengerti. Soalnya......tanganku juga kerasa sepi.”


“Tuh kan? Aku tahu.”


Gawat. Dia terlalu manis. Aku tidak sanggup.


Sepersekian detik, aku diserang dorongan kuat untuk teriak pada dunia betapa menggemaskannya pacarku ini.


Tapi tidak. Teriak di tempat umum = mempermalukan diri sendiri.


Aku menolak untuk jadi salah satu dari pasangan super lengket seperti Izumi dan Eiji.


Ya, aku dan Aoi-san punya momen konyol kami sendiri—tapi kami tidak separah itu.


“Ngomong-ngomong, kita mulai dari mana?”


“Ada sesuatu yang kamu inginkan?”


“Hmm......aku sudah memikirkannya, tapi......”


Sudah kupikirkan sejak tadi, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar muncul di kepala.


“Jujur aja, kalau itu dari kamu, apa pun akan membuatku senang. Kalau kamu sendiri bagaimana?”


“Sama. Kalau dari kamu, pasti aku suka.”


Mendengar itu membuatku lega—tapi tetap saja tidak membantu menyelesaikan masalah terbesar: memilih hadiah.


Itulah sisi sulit dari jawaban “apa aja boleh.” Justru membuat milih jadi sepuluh kali lebih susah.


Natal tahun lalu, Izumi yang nyelametin kami dengan saran bagus. Akhirnya kami tukar kado kalung kembar, dan itu jadi hadiah terbaik yang pernah kami pilih.


Kali ini......harus pilih apa?


“Hmmm......”


Kami berdua menghela napas bersamaan, memikirkan sesuatu yang pas.


“Tapi......kalau bisa, aku pengennya sesuatu yang kembar,” gumam Aoi-san pelan.


“Soalnya......kalau kita lagi jauh, aku tetap bisa ngerasa dekat sama kamu.”


Tangannya bergerak menyentuh kalung kembar yang tergantung di lehernya.


Dan jujur, aku pun merasa hal yang sama. Setiap kali kupakai kalung itu, selalu teringat padanya.


Kami jarang bisa bertemu karena jarak rumah kami. Maka benda kecil yang sama itu—kalung kembar—selalu memberi rasa hangat, seakan jarak tidak sejauh yang sebenarnya.


Kalau kami menambah satu lagi benda kembar......mungkin kami bisa merasa makin dekat.


“Kalau begitu, ayo pilih yang kembar.”


“Benarkah? Kalau kamu setuju, aku......senang sekali.”


“Jadi......barang kembar seperti apa yang harus kita pilih?”


Saat aku bertanya, genggamannya di tanganku menguat sedikit.


Bukan pertama kalinya Ia melakukan itu. Dari pengalaman, aku tahu kalau setiap kali Aoi-san menggenggam tanganku begitu......berarti dia ingin menyampaikan sesuatu.


Aku melirik ke arahnya—dan melihat pipinya yang memerah, sementara dia menggeliat kecil seperti sedang mencari keberanian.


“E-Ehm......ini cuma ide, sih, tapi......”


“Ada sesuatu yang kamu pikiran?”


“Ingat ya......ini cuma saran......”


“Tentu. Aku dengar.”


“Dan......cuma kalau kamu tidak benci idenya......”


“Kamu tidak perlu hati-hati banget begitu.”


Karena dia terus ragu-ragu, aku jadi makin penasaran.


“......Bagaimana kalau kita......p-pakai cincin pasangan......?”


“Cincin pasangan?!”


Aku tak bisa menahan diri untuk bersuara keras.


Beberapa orang menoleh, menatap kami dengan rasa penasaran.


“T-Tidak, itu bukan—!”


Melihat reaksiku, Aoi-san panik. Mungkin dia berpikir aku menolak idenya.


Wajahnya memerah sampai ke telinga saat dia terburu-buru menjelaskan.


“M-Maksudku......bukannya bukan sih......hanya......aku suka kalung kembar kita, dan aku pikir kalau kita mau punya aksesori kembar lain, cincin sepertinya bagus......Bukan karena ada maksud khusus! Bukan begitu! Maksudku, ada sih......tapi bukan yang seperti itu......aaaaaah!”


Kalimat terakhir berubah menjadi rintihan frustasi saat dia menutup wajah dengan satu tangan.


Sudah lama sejak dia menunjukkan reaksi pemalu seperti itu.


Dulu, saat pertama kali kami bertemu, ia sering menutupi wajah tiap merasa malu.


Setelah kami makin dekat, kebiasaan itu nyaris hilang.


Tapi sekarang—blush yang menang.


Reaksi hebohnya sukses membuatku kembali sadar.


Aku menggenggam tangannya dan mulai berjalan ke arah berlawanan dari tempat kami berdiri.


“Akira-kun......?”


Dia menatapku bingung, kepala sedikit miring.


“Di sana ada toko perhiasan.”


“......Tunggu, serius?”


Mata Aoi-san membelalak, seolah tak percaya.


“Kamu......yakin?”


“Ya. Ayo cari cincin pasangan.”


Wajahnya masih merah, tapi senyum kecil muncul perlahan dari balik itu semua.


“Aku agak malu......tapi......aku mau.”


“Aku juga.”


Dengan itu, keputusan kami bulat.


Saat kami berjalan mendekati toko perhiasan, hal pertama yang menarik perhatian kami adalah kerumunan orang.


Beberapa pasangan berdiri di depan etalase kaca, memilih dan mencoba cincin sambil tertawa kecil.


Cahaya hangat yang memantul dari lampu-lampu membuat suasananya terasa meriah—hampir seperti festival kecil khusus untuk dua orang.


Aku teringat waktu terakhir aku masuk toko perhiasan. Saat itu aku datang bersama Izumi, memilihkan kalung untuk Aoi-san. Jujur saja, kesan mewah dan elegan toko seperti ini membuatku canggung.


Tapi hari ini—dengan Aoi-san menggenggam tanganku—semua rasa tegang itu lenyap.


Aku hanya merasa......bahagia.


“Cincinnya di etalase sebelah sana, sepertinya.”


“Sepertinya begitu.”


Kami berjalan mendekat dan menunduk untuk melihat lebih jelas.


Pilihannya sangat banyak—ada yang harganya terjangkau untuk pelajar seperti kami, ada juga yang harganya cukup membuat kepalaku pusing hanya dengan melihat angkanya.


Konon harganya tergantung jumlah batu, jenis logam, dan tingkat kemurniannya......yang semuanya sama sekali tidak kami mengerti.


Kami saling berbisik, mencoba memahami perbedaan-perbedaannya, sampai akhirnya seorang pegawai toko—seorang wanita cantik dengan senyum ramah—menghampiri kami.


Dia begitu cantik sampai aku sempat bertanya-tanya apakah kecantikan adalah persyaratan wajib untuk bekerja di tempat seperti ini.


Dengan bantuannya, kami melanjutkan melihat-lihat.


Tak lama kemudian, tatapan Aoi-san berhenti pada satu set cincin.


“Kamu menemukan sesuatu yang kamu suka?”


“Ya......menurutku yang ini imut banget.”


Aku menunduk, melihat cincin yang dia tunjuk.


Sepasang cincin emas putih—simpel dan anggun.


Model wanita dihiasi satu berlian kecil yang berkilau halus, sementara model pria diuntuk tanpa batu, menghasilkan pasangan yang serasi tanpa terlihat berlebihan.


Harganya......memang agak mahal.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Tapi masih dalam batas yang bisa kuusahakan.


“Apa kalian ingin mencobanya?” tanya pegawai toko itu dengan senyum lembut.


Aoi-san menelan ludah, lalu menatapku seolah meminta izin—atau mungkin dukungan.


“......Boleh?” bisiknya.


“Ya. Kita coba.”


Dia tersenyum—kecil, lembut, dan begitu bahagia hingga rasanya aku bisa menyimpannya dalam ingatan selamanya.


“Ya, tolong.”


Pegawai toko itu tersenyum lembut dan mengangguk.


“Tentu. Apa kalian sudah tahu ukuran cincin kalian?”


“Uh......aku belum pernah ukur sebelumnya.”


“A-Aku juga belum.”


Seharusnya aku bisa menebak itu.


Tentu saja kami tidak tahu—kami belum pernah membeli cincin sebelumnya.


Dan mendadak aku sadar......jari mana sih yang biasanya dipakai untuk pasangan?


Pegawai toko itu sepertinya menangkap kebingungan kami.


“Boleh saya melihat tangan kanan kalian?”


“Ya,” jawab kami bersamaan.


Kami mengulurkan tangan kanan, dan dia mengukur jari manis kami dengan gerakan yang begitu lembut sampai rasanya seperti adegan dari film romantis.


Sambil menunggu, Aoi-san berbisik pelan, “Jadi......cincin pasangan biasanya dipakai di jari manis kanan, ya?”


“Kelihatannya begitu. Tapi sepertinya cuma tradisi. Katanya kanan atau kiri bebas, terserah kita.”


Pegawai toko itu mengonfirmasi hal yang sama—cincin kawin memang biasanya di jari manis kiri, tapi pasangan muda sering memakai cincin pasangan di kanan.


Tapi pada akhirnya, semuanya soal preferensi.


Setelah selesai mengukur, pegawai itu kembali membawa cincin dengan ukuran yang pas.


“Silakan dicoba.”


Aoi-san mengambil salah satu cincin itu.


Jari-jarinya sedikit bergetar saat ia menyelipkannya ke jari manis kanannya.


“Bagaimana rasanya?” tanyaku.


“K-Kurasa pas. Menurutmu bagaimana?”


Dia menggerak-gerakkan jarinya pelan, wajahnya penuh keraguan manis yang hanya membuatnya terlihat semakin menggemaskan.


Pegawai toko itu memeriksa ulang dengan terampil.


“Ukurannya pas sekali. Dan kalau nanti terasa longgar atau sempit, kami bisa sesuaikan.”


Mendengar itu, Aoi-san mengangguk lega—bahkan napas kecilnya terdengar pelan.


Sekarang giliranku.

Aku menyelipkan cincin pasangannya ke jari manis tangan kananku.


“Bagaimana rasanya, Kak?”


“......Pas sekali.”


Mata Aoi-san berbinar ketika kami sama-sama mengulurkan tangan untuk mengagumi cincin yang serasi itu.


“Bagaimana......kelihatannya?”


“Bagus banget. Cocok banget sama kamu.”


“Fufu. Punya Akira-kun juga kelihatan bagus.”


Kami saling mengangguk, seakan memastikan perasaan yang sama.


“Kami ambil yang ini.”


“Terima kasih banyak. Ingin memakai cincinnya langsung atau ingin dimasukkan ke kotak?”


“Umm......”


Aku melirik Aoi-san, tidak yakin harus bagaimana.


“Soalnya ini hadiah ulang tahun untuk satu sama lain. Haruskah kita minta mereka masukkan ke kotak dan dibungkus?”


“Aku juga bingung......aku sebenarnya ingin langsung memakainya. Tapi minta mereka membungkus kotak kosong itu sepertinya......tidak enak.”


Saleswoman itu, yang sejak tadi mendengarkan sambil tersenyum lembut, membuka suara.


“Kalau kalian mau, kalian bisa memakai cincinnya langsung saat pulang nanti, dan kotaknya tetap akan saya bungkus.”


“Oh, tapi......membungkus kotak kosong itu rasanya mubazir. Aku jadi tidak enak.”


Aku menggeleng pelan, merasa bersalah hanya membayangkannya.


Namun saleswoman itu juga menggeleng, dengan cara yang ringan dan tulus.


“Hari ini adalah hari yang spesial untuk kalian berdua. Jadi, biarkan saya membungkus kotaknya sebagai sedikit bentuk perhatian.”


Ucapannya membuat kami berdua terdiam sejenak.


Kami tidak menyangka ada seseorang yang begitu ramah memikirkan hal seperti itu.


Aku dan Aoi-san saling pandang, lalu mengangguk.


“Kalau begitu......tolong.”


“Tentu saja.”


“Terima kasih banyak,” kami mengucapkannya bersamaan.


Begitulah, kami membeli hadiah ulang tahun untuk satu sama lain dan menerima tawaran untuk membungkus kotaknya.


Saat kami keluar dari toko, membawa tas belanjaan, cincin itu berkilau di jari manis tangan kanan kami.


Rasanya benar-benar membahagiakan—menyadari bahwa hari ini, kami menambahkan satu ikatan kecil namun berarti lagi di antara kami.



Setelah membeli cincin, kami pergi ke kafe terdekat untuk beristirahat.


Padahal kami baru satu jam berada di mal, tapi entah mengapa rasanya lelah sekali. Sepertinya kegembiraan membeli cincin pasangan benar-benar menguras tenaga tanpa kami sadari.


Kami menemukan kursi di dekat lorong, duduk saling berhadapan, dan menyesap minuman kami.


“Fufufu♪”


Aku sudah tak ingat berapa kali Aoi-san tertawa seperti itu.


Dia menatap cincin yang berkilau di jari manis tangan kanannya dengan ekspresi penuh kebahagiaan.


“Kamu sangat menyukainya, ya?”


“Iya. Aku suka sekali.”


Wajahnya benar-benar menunjukkan kegirangan tulus.


“Maaf ya, kita merayakan ulang tahunmu telat......setengah tahun telat, malah.”


“Tidak apa-apa. Waktu itu kan kamu belum tahu, jadi memang tidak bisa dihindari. Bisa merayakannya bersama begini saja aku sudah senang.”


“Tahun depan, akan kurencanakan dengan benar. Kamu bisa mengandalkanku.”


“Terima kasih. Aku menantikannya.”


Tapi setelah itu, senyumnya memudar, dan suaranya ikut turun sedikit.


“......Tahun depan, ya?”


Aku tahu persis apa maksudnya.


Karena aku juga memikirkan hal yang sama.


“Kalau tahun baru sudah mulai, kita jadi siswa kelas tiga. Ada ujian masuk......jadi mungkin kita tidak akan sering ketemu.”


“Iya......kita tidak bisa seenaknya bertemu, tapi aku janji kita akan tetap menyisihkan waktu untuk ulang tahun masing-masing.”


“Kalau begitu, kita harus belajar keras.”


“Pastinya.”


Meskipun jadwal nantinya akan padat, satu atau dua hari untuk merayakan ulang tahun pasti bisa kami luangkan.


Lagi pula, bukan berarti kami menuntut untuk bertemu setiap bulan.


Tetap saja, meskipun kami sudah membicarakannya, perasaan itu tetap terasa menakutkan. Kami pasti akan punya lebih sedikit waktu bersama, dan nada sendu di suara Aoi-san menggema tepat seperti yang kurasakan sendiri.


Itulah sebabnya aku semakin bersyukur kami membeli cincin ini hari ini.


Ngomong-ngomong soal ujian......


“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”


“Apa itu?”


Pikiran itu sudah ada di benakku sejak percakapan kami di Kyoto.


“Kamu belum memutuskan ingin masuk universitas mana, kan?”


“Iya. Ada beberapa pilihan, tapi aku masih mempertimbangkannya.”


“Kalau begitu......aku ingin tanya sesuatu.”


Aku ragu sejenak, lalu akhirnya mengutarakan pikiranku.


“Kamu mau tidak......masuk universitas di Tokyo bersamaku?”


“Aku? Di Tokyo?”


Mata Aoi-san membelalak kaget.


Aku mengangguk mantap sebelum melanjutkan.


“Aku tahu kamu tidak boleh asal memutuskan hanya karena aku. Aku paham meninggalkan nenekmu mungkin menakutkan, dan kamu perlu persetujuan dari ayahmu. Aku tidak mau kamu memilih Tokyo hanya karena aku ada di sana. Tapi......kalau nanti kamu punya dua pilihan yang sama bagusnya—satu di sini, satu di Tokyo—aku akan senang kalau keberadaanku bisa jadi salah satu pertimbangannya.”


Aku tidak ingin dia memilih universitas yang bukan pilihan utamanya hanya demi aku.


Kalau universitas impiannya ada di daerah sini, aku akan menerimanya.


Tapi kalau keduanya sama bagusnya?


Aku berharap keberadaan kami bisa menjadi salah satu alasan kecil yang menyeimbangkan pilihan.


“Waktu kamu bilang di Kyoto kalau pilihan teratasmu adalah universitas di Tokyo......”


Dia menatapku dengan ekspresi serius.


Ada sesuatu dalam tatapannya—seperti secercah harapan.


“Saat itu aku sadar......aku juga ingin masuk universitas di Tokyo.”


“Beneran?!”


Aku langsung mencondongkan tubuh ke depan, hampir menerjang meja.


“Pastinya, seperti yang kamu bilang, semua tergantung apakah aku menemukan universitas yang cocok. Tapi di Tokyo ada banyak universitas, jadi aku yakin akan menemukan yang sesuai. Aku harus membicarakannya dengan Ayah dan Nenek, tapi mereka sudah bilang mereka akan mendukung kalau aku ingin kuliah di luar prefektur.”


Ucapannya membuat dadaku terasa hangat.


Mengetahui bahwa ia benar-benar mempertimbangkannya membuatku bahagia bukan main.


“Sejujurnya, kalau aku keluar prefektur, aku rasa mereka berdua akan lebih tenang kalau tahu aku ada dekat dengan kamu.”


“Jadi......itu artinya......”


Aoi-san mengangguk pelan.


“Aku ingin menargetkan universitas di Tokyo bersamamu.”


Gelombang kebahagiaan langsung menyerbu seluruh tubuhku.


Aku ingin berteriak, tapi kami sedang di kafe, jadi aku hanya mengepal tangan untuk menahannya.


Sebagai gantinya, aku meraih tangan Aoi-san di atas meja dan menggenggamnya erat.


“......Mari kita berjuang bersama.”


“Ya. Kita lakukan yang terbaik.”


Dengan itu, sebuah tujuan baru tertanam dalam hati kami.


Kami akan mengejar Tokyo—bersama-sama.


“Boleh aku tanya sesuatu juga?”


Percakapan kami sebelumnya sudah mereda, namun kini giliran Aoi-san yang tampak gugup.


“Tentu. Ada apa?”


“Begini......aku penasaran......Ayahmu itu orang seperti apa?”


“Oh. Ya, itu masuk akal.”


Tentu saja dia ingin tahu.


Malam ini aku akan memperkenalkannya kepada Ayah sebagai pacarku.


Aku pun gugup soal itu. Sejak tadi malam aku sudah stres memikirkan bagaimana cara mengatasinya.


Kalau aku saja segugup ini, dia pasti dua kali lipat lebih khawatir.


Aku teringat betapa gugupnya diriku saat pertama kali bertemu neneknya.


“Hmm......begini, ya.”


Aku harus mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya sedikit tenang.


“Kalau harus kujelaskan dalam satu kalimat......Ayah itu mirip Hiyori.”


“Hiyori-chan?”


Secara teknis, sebenarnya Hiyori-lah yang mirip Ayah.


“Ia bukan tipe yang menunjukkan emosi. Seperti Hiyori, kadang kamu sama sekali tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tapi ia jauh lebih perasa dibanding Hiyori, dan sebenarnya orangnya baik. Ia serius berlebihan, dan karena jarang tersenyum, banyak orang mengira ia kaku atau kurang ramah. Tapi kalau harus kujelaskan singkat......Ayah itu orang yang pendiam dan tulus.”


“Orang yang pendiam......”


Aku sadar, penjelasan tadi mungkin membuatnya terdengar agak sulit didekati.


“Kamu ingat waktu Ibu cerita bagaimana ia bertemu Ayah?”


“Ya, aku agak ingat.”


Percakapan itu terjadi musim panas lalu, saat Ibu tiba-tiba pulang ke rumah.


Saat itu kami memperkenalkan Aoi-san sebagai pacarku—padahal itu cuma kebohongan waktu itu. Dan entah bagaimana, itu malah membuat Ibu menceritakan kisah bagaimana dia dan Ayah bertemu.


Ternyata, saat Ayah baru masuk ke perusahaan itu, ia dikenal sebagai orang yang kurang bersosialisasi. Kerjanya bagus, rajin, dan bisa diandalkan, tapi justru karena itu banyak rekan kerjanya merasa kurang nyaman, sampai akhirnya ia terisolasi.


Ibu, yang tidak tahan melihatnya sendirian seperti itu, menawarkan diri untuk membantu Ayah berbaur.


Dan ketika mereka akhirnya duduk dan mengobrol, Ibu baru menyadari kalau Ayah sama sekali bukan anti-sosial.


Ia hanya pemalu tingkat berat.


Setelah Ibu membantunya membuka diri, Ayah mulai akrab dengan semua orang.


Sekarang, bertahun-tahun kemudian, dia bekerja sebagai kepala cabang, sering dipindah ke kantor-kantor bermasalah untuk membantu memperbaiki keadaan.


Memikirkan semua itu, rasanya aneh melihat betapa berbeda sosok Ayah dulu dengan yang sekarang.


“Sekarang ia tidak terlihat buruk dalam bergaul, tapi sisi seriusnya itu tidak pernah hilang. Katanya, sampai sekarang pun orang sering merasa terintimidasi waktu pertama kali bertemu dengannya.”


Saat aku menjelaskan semuanya, sekali lagi aku diuntuk sadar betapa miripnya Ayah dengan Hiyori.


Lagipula, Hiyori juga sering disalahpahami sebagai anak yang dingin saat bertemu orang baru.


“Aku mengerti......”


Aoi-san tersenyum tipis, seolah perbandingan dengan Hiyori sedikit mengurangi kegugupannya.


“Ayah bukan tipe yang tidak mau mendengarkan—sebenarnya ia cukup terbuka. Ia juga bukan orang yang marah tanpa alasan. Keluarga kami percaya penuh padanya, dan rekan-rekan kerjanya juga begitu. Hanya saja......”


“Hanya saja......?”


Aku mengungkapkan kekhawatiran yang sejak awal menghantuiku saat memutuskan membawa Aoi-san pulang.


“Aku sedang memikirkannya......seberapa banyak yang harus kuceritakan padanya.”


Aoi-san langsung mengerti maksudku.


Wajahnya menegang sedikit saat dia memikirkannya.


“Tidak......bukan begitu.”


Aku menggeleng, membenarkan ucapanku sendiri.


“Sebenarnya......kalau kamu tidak keberatan, aku ingin menceritakan semuanya.”


“Akira-kun......”


“Tapi......aku tidak tahu harus memulainya dari mana.”


Itu masalah sebenarnya—bagaimana menjelaskan semuanya dengan cara yang bisa dipahami.


Aku sudah bulat memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Ayah.


“Aku sudah menyembunyikan banyak hal darinya selama ini.”


“Bukan cuma kamu. Kita berdua.”


“......Iya. Kita berdua.”


Kalimat itu membuatku merasa sedikit lebih ringan. Dia melihat ini sebagai sesuatu yang kami tanggung bersama.


“Kalau Ayah tanya kenapa kita tidak bilang dari awal......aku harus jujur bahwa aku tidak mau ketahuan. Memang ada alasan-alasan yang bisa dimengerti—kayak takut ada orang yang campur tangan dan menempatkan Aoi-san di panti asuhan—tapi itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran. Kenyataannya......aku sembunyikan semuanya karena aku takut.”


Sebagus apa pun niat kami, berbohong tetaplah berbohong.


“Sepertinya......bukan sepertinya lagi, aku pasti akan dimarahi.”


Tidak ada orang tua yang akan tenang kalau tahu anaknya diam-diam tinggal serumah dengan seorang perempuan.


Ibu memang tidak marah......tapi itu pengecualian yang sangat langka.


“Ada saja yang bilang aku sebaiknya menyimpan rahasia ini selamanya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak mau lagi berbohong atau menyembunyikan apa pun tentang hubungan kita.”


“Akira-kun......”


“Aku ingin keluargaku melihat hubungan kita sebagai sesuatu yang bisa kubanggakan.”


Mungkin itu terdengar egois.


Banyak orang pasti akan bilang ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan. Bahkan ada pepatah yang bilang ketidaktahuan itu kebahagiaan.


Tapi aku tidak ingin membangun hubungan dengan Aoi-san di atas rahasia.


“Jadi......kalau kamu tidak keberatan, aku ingin—”


“Aku juga merasa begitu.”


Dia memotong ucapanku dengan suara yang penuh ketegasan.


“Aku ingin bersamamu tanpa perlu menyembunyikan apa pun. Aku tidak mau berbohong tentang masa lalu kita atau masa depan kita.”


Tangannya meremas tanganku erat.


“Kalau kita menyimpan semuanya selamanya, itu sama saja seperti menghapus apa yang sudah kita lewati. Aku tidak mau berpura-pura kalau hari-hari itu tidak pernah terjadi.”


“Aoi-san......”


“Dan kalau nanti kita dimarahi, kita akan minta maaf bersama. Kita hadapi semuanya bersama.”


Aku mengembuskan napas panjang, gemetar, saat emosi memenuhi dadaku.

Napas itu perlu untuk menenangkan jantungku yang berdebar terlalu keras.


“Terima kasih, Aoi-san.”


“Tidak......terima kasih juga, sudah mau jujur dan cerita semuanya pada Ayahmu.”


Kecemasan itu memang belum hilang sepenuhnya.


Tapi sekarang, dengan Aoi-san di sisiku, rasanya seperti apa pun bisa kami hadapi.


Kami meninggalkan kafe dan menghabiskan sisa siang menjelajahi mal.


Kami mampir ke beberapa toko, duduk ketika mulai lelah, dan saat rasa lapar datang, kami membeli donat musiman yang sedang dipromosikan—sebuah hadiah kecil untuk diri kami sendiri.


Tanpa ketegangan yang menggantung, kami akhirnya bisa menikmati waktu bersama sepenuhnya.


Nanti malamnya, di dalam bus dalam perjalanan pulang, ponselku bergetar—ada pesan dari Hiyori.


'Ayah sudah pulang.'


Momen yang sejak kemarin kami persiapkan akhirnya tinggal selangkah lagi.

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 8.1"