Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 6.1
Bab 6 - Karyawisata - Hari Ketiga (Bagian 2)
Malam itu, setelah makan malam dan mandi di hotel, aku duduk di sofa dekat lobi, menikmati malam terakhir dari perjalanan sekolah kami sendirian sambil memakan strawberry shortcake yang kubeli dari minimarket terdekat.
“Besok hari terakhir, ya?”
Itu hal yang selalu terpikir setiap kali aku pergi berlibur—bukan hanya saat karyawisata sekolah.
Momen menyenangkan selalu berlalu terlalu cepat.
“Tapi......perjalanan ini bagus juga, sih.”
Mungkin terlalu cepat untuk mengenang, tapi aku tetap mengatakannya pada diriku sendiri.
Soalnya, aku bisa bertemu Aoi-san dua hari berturut-turut, dan di hari kedua kami menghabiskan satu hari penuh bersama di Arashiyama.
Meski kami sekolah di tempat berbeda, kami tetap bisa berbagi salah satu momen paling besar dalam hidup SMA. Itu saja sudah terasa seperti sebuah keajaiban.
Jujur saja, aku ingin bertemu dia hari ini juga......
Meskipun kupikir itu hampir mustahil, aku tetap berharap.
“Yah......dunia nyata tidak semanis kue, ya?”
Dengan pikiran itu, aku mengambil suapan lain dari shortcake-ku.
“Terima kasih untuk makanannya.”
Setelah selesai, aku membereskan sampah dan mengalihkan pikiranku.
Aku tidak bisa mengulang-ulang hari ini selamanya.
“Tinggal satu hari lagi. Dan tinggal satu hal yang harus kulakukan—”
Yaitu membantu Yuuki dan Natsumiya-san maju selangkah dalam hubungan mereka.
Tapi melihat apa yang terjadi hari ini, itu ternyata lebih sulit dari yang kukira.
Meskipun di Fushimi Inari Taisha tadi aku melihat ada sedikit perubahan di antara mereka, masih ada satu langkah lagi yang harus mereka ambil kalau mereka benar-benar ingin bergerak dari sekadar teman menjadi sesuatu yang lebih—lebih tepatnya, menjadi sepasang kekasih.
Aku tahu apa yang mereka butuhkan.
—Mereka butuh pemicu.
Sesuatu yang bisa mengubah cara mereka saling memandang.
Entah itu perasaan yang tumbuh untuk seorang teman yang dulu hanya dianggap sebagai teman sekelas, atau menyadari bahwa sahabat masa kecilmu ternyata juga seseorang dari lawan jenis......biasanya selalu ada sebuah momen kecil yang menjadi pemicu.
Contoh klise saja, melihat seorang berandalan bersikap lembut pada seekor anak kucing dan tiba-tiba merasakan hati bergetar karena sisi dirinya yang tak terduga. Atau tiba-tiba merasa cemburu saat melihat orang dekatmu akrab dengan orang lain.
Itu tidak harus menjadi peristiwa besar—bahkan getaran kecil di hati saja sudah cukup.
Aku juga punya momen seperti itu.
Saat pertama kali aku mulai melihat Aoi-san sebagai seseorang yang istimewa adalah ketika aku mengingat bahwa dia adalah cinta pertamaku.
Aku baru benar-benar menyadari bahwa itu adalah cinta pada malam festival sekolah, ketika kami menonton kembang api dari atap. Tapi momen ketika aku benar-benar menyadari dirinya sebagai seorang ‘perempuan’......itu sudah terjadi jauh sebelumnya.
Setelah itu, butuh waktu lama bagiku untuk memahami perasaanku sepenuhnya, dan pada akhirnya, rasa bahwa kami berdua tumbuh bersama memberi dorongan terakhir—pemicu yang memuntukku berani untuk mengungkapkan.
Karena Yuuki dan Natsumiya-san sudah sama-sama menyadari perasaan mereka, yang mereka butuhkan sekarang hanyalah dorongan itu.
“Kukira momen saat para cowok itu menggoda dia akan jadi pemicunya......”
Tapi ternyata tidak. Mungkin karena mereka berdua adalah teman masa kecil. Sejak kecil selalu bersama, selalu saling membantu tanpa diminta.
Bagi mereka, kejadian itu hanya terasa seperti versi lain dari rutinitas yang sudah biasa.
Kalau mereka hanya teman biasa, mungkin kejadian itu cukup untuk menyalakan sesuatu.
“Memang susah ya......jadi pasangan teman masa kecil......”
Tidak heran heroine teman masa kecil di manga atau komedi romantis sering kalah. Jauh lebih sulit meruntuhkan dan membangun ulang hubungan yang sudah ada daripada membangun hubungan baru dari awal.
“Aku harus bagaimana......”
Aku menyandarkan tubuh ke sofa dan menatap langit-langit. Tanpa sadar, waktu sudah berlalu lama saat aku melirik jam. Ternyata sudah pukul delapan tiga puluh malam. Meski belum menemukan jawabannya, sepertinya aku harus kembali ke kamar.
Tepat ketika aku berdiri, ponselku bergetar menandakan sebuah notifikasi.
“Huh......?”
Aku melirik layar, bertanya-tanya siapa yang menghubungiku di jam segini.
“Aoi-san......? Tunggu—apa?”
Begitu membuka pesannya, aku langsung mengeluarkan suara bingung.
Bisa keluar hotel sebentar?
Sejenak, pikiranku membeku. Aku mengerti isi pesannya, tapi otakku menolak mencerna.
Tidak mungkin.
Secara refleks, aku menoleh ke arah pintu masuk.
Dan di sana—di balik pintu kaca—Aoi-san berdiri dengan jelas, sesekali mengintip ke dalam dengan ekspresi agak gugup.
Tanpa berpikir panjang, aku berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar.
Saat melihatku, Aoi-san tersenyum.
“Akira-kun, cepat sekali.”
Dia menyapa dengan senyum khasnya.
Meskipun dia berdiri tepat di depanku, rasanya aku masih belum bisa percaya.
“Aku kebetulan sedang di lobi......Tapi lebih penting, kenapa kamu di sini?”
“Aku ingin sekali bertemu denganmu, jadi......aku kabur dari hotel.”
Dia menyunggingkan senyum nakal.
“Aku senang mendengarnya, tapi......”
Saking senangnya, aku sampai tidak bisa menahan senyum.
“Tapi bukankah berisiko keluar diam-diam begini?”
“Mungkin aman, kok. Izumi-san dan Eiji-kun membantu ngelabui para guru, jadi harusnya bisa. Tapi kalau ketahuan......aku pasti habis.”
“Kamu itu ketua kelas. Kamu bukan hanya akan dimarahi.”
“Benar juga. Tapi meski begitu......aku tetap ingin bertemu denganmu, Akira-kun.”
“......Kenapa kamu sampai segitunya hanya untuk menemuiku?”
“Ayo duduk di sana dan bicara.”
Dia menunjuk bangku di dekat pintu masuk.
Begitu kami duduk, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya, membukanya, lalu mengulurkan padaku......sepotong strawberry shortcake.
“......Kue?”
Aku memiringkan kepala, bingung.
Lalu—
“Selamat ulang tahun, Akira-kun.”
Aoi-san tersenyum lembut saat mengucapkannya.
Aku terkejut sampai-sampai lupa cara bernapas, apalagi menjawab.
“......Kenapa kamu tahu?”
Butuh beberapa detik sebelum suaraku akhirnya keluar.
Hari ini—27 Oktober—adalah ulang tahunku yang ketujuh belas.
Tapi aku tidak pernah memberi tahu Aoi-san.
“Eiji-kun yang bilang,” katanya.
“Eiji......?”
“Waktu aku minta Izumi-san dan Eiji-kun untuk bantu aku bertemu dengan mu selama karyawisata, Eiji-kun bertanya apakah itu karena hari ini ulang tahunmu. Mereka berdua mengira aku sudah tahu. Tapi waktu aku bilang aku tidak tahu, mereka sangat terkejut. Dan saat itulah aku tahu......kalau hari ini ulang tahunmu.”
Aku benar-benar bahagia. Dadaku bergetar oleh campuran terkejut dan bersyukur.
Namun pada saat yang sama, ada sedikit rasa bersalah yang tak bisa kuhindari.
“Maaf......aku bukannya sengaja merahasiakannya.”
“Jangan minta maaf. Aku mengerti.”
Aoi-san menggenggam tanganku dengan lembut.
“Kamu merahasiakannya demi aku, kan?”
“Aoi-san......”
“Soalnya......sekitar waktu yang sama tahun lalu, aku kembali tinggal bersama ibuku.”
Benar. Tepat setahun yang lalu—
Saat kami sibuk mempersiapkan festival sekolah, ibu Aoi-san tiba-tiba muncul.
Dia bilang ingin memperbaiki hubungan, tapi kenyataannya dia datang demi uang tunjangan.
Meski tahu itu, Aoi-san tetap ikut kembali. Hasilnya tak seperti yang dia harapkan......
Dan di tengah semua itu, ulang tahunku lewat begitu saja. Tentu saja aku tidak mungkin bilang padanya waktu itu.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Lalu setelah semua berakhir, aku tidak pernah menemukan momen yang tepat untuk mengatakannya. Tanpa kusadari, satu tahun penuh sudah berlalu.
“Tahun lalu, aku tidak bisa ada di sisimu karena masalah keluargaku. Jadi tahun ini, aku bertekad merayakan ulang tahunmu—walau itu berarti aku mungkin akan dimarahi.”
Ucapan yang dia katakan saat kami berpisah kemarin tiba-tiba kembali padaku.
—Sampai ketemu besok.
“Waktu itu......makanya kamu bilang ‘sampai ketemu besok’?”
“Mm-hm. Soalnya aku sudah tahu kalau kita akan ketemu hari ini.”
Jadi itu maksudnya.
“Aku sempat mengira kamu cuma salah ngomong.”
“Berhasil bikin kamu kaget?”
Dalam sekejap, semua keteganganku menghilang begitu saja.
“Ini......jelas kejutan terbesar dalam hidupku.”
Aoi-san menatapku sambil tersenyum nakal.
“Tapi serius......”
Begitu semua akhirnya kupahami, sebuah helaan napas lega lolos dari bibirku—dan bersamanya, ada kehangatan yang mulai menggenang di belakang mata.
Dia mengingat ulang tahunku.
Dia datang sejauh ini, di tengah-tengah kunjungan sekolah, meskipun tahu bisa ketahuan kapan saja.
Tentu saja aku senang.
Tentu saja aku terharu.
Jangan nangis. Jangan.
Aku menahan emosi yang mulai memuntuk pandanganku bergetar.
“Tapi......maaf ya. Aku tidak bisa menyiapkan hadiah untukmu.”
Nada suaranya merendah, dipenuhi rasa bersalah.
“Bukan karena aku tidak sempat beli, tapi......ini pertama kalinya aku memilih hadiah untuk pacarku, jadi aku terus ragu ini-itu. Tahu-tahu, perjalanan sekolahnya sudah mulai. Jadi......untuk sekarang, bisakah kamu memaafkanku hanya dengan kue ini?”
“Hanya dengan melihatmu di sini pun sudah lebih dari cukup.”
Beberapa menit lalu saja, aku sudah menerima kenyataan kalau aku tidak akan bisa bertemu dengannya hari ini.
Bisa menghabiskan waktu bersama malam ini......itu sudah hadiah terbaik.
“Ayo makan.”
“Iya, ayo.”
Di bawah langit musim gugur yang sejuk itu, kami berbagi sepotong shortcake.
Aneh sekali, ya?
Makan shortcake bersama orang yang kusayangi terasa sepuluh kali lebih enak daripada yang kumakan tadi sore.
“Ngomong-ngomong, ulang tahunmu kapan?”
Aku sadar, aku sendiri tidak tahu kapan ulang tahun Aoi-san.
Aku ingin memastikan aku bisa merayakannya untuknya nanti.
“5 Mei.”
“......Apa?”
Jawabannya memuntukku kehabisan kata.
Tunggu. Itu sudah lewat berbulan-bulan yang lalu!
“Tidak apa-apa kok. Aku juga tidak pernah nyebutinnya, jadi jangan merasa bersalah.”
Dia tersenyum lembut, mungkin karena wajahku benar-benar terlihat hancur.
“Waktu pertama kali kita ketemu, ulang tahunku sudah lewat. Dan tahun ini, setelah pindah sekolah dan segala macamnya, kamu juga sedang banyak yang harus kamu pikirkan. Aku tidak mau merepotkanmu.”
Sial.
Hanya karena kami sama-sama terlalu berhati-hati, sampai butuh satu setengah tahun untuk tahu hal sesederhana itu.
Tapi sebenarnya, itu bukan sesuatu yang perlu disesali.
Masih banyak ulang tahun yang bisa kami rayakan mulai sekarang.
“Masih banyak hal yang kita belum tahu tentang satu sama lain, ya?”
“Ya. Tapi kita bisa pelan-pelan saling belajar.”
“Ya......tentu.”
Tapi sebelum itu—
“Ulang tahunmu memang sudah lewat, tapi biarkan aku merayakannya dengan benar nanti, ya?”
“Tidak perlu, sungguh.”
“Aku mau. Ada sesuatu yang kamu inginkan?”
“Hmmm......”
Dia menyentuh dagunya, berpikir.
Lalu tiba-tiba, matanya berbinar. Bahkan dalam cahaya redup, aku bisa melihat pipinya yang memerah.
“Kalau begitu......boleh minta satu hal?”
“Tentu. Apa saja?”
Aoi-san menundukkan kepala, malu-malu.
“Bisakah......sesekali memanggilku ‘Aoi’?”
“Hah? Tapi aku sudah memanggilmu Aoi-san.”
“Bukan itu, maksudku......tanpa ‘san’.”
“......Tunggu, apa?”
Dia ingin aku memanggilnya tanpa honorifik?
“Seperti......hanya ‘Aoi’?”
“Yah. Boleh, tidak?”
“Bukannya aku keberatan, tapi......kenapa?”
“Setiap kali dengar Eiji-kun memanggil Izumi hanya ‘Izumi’, aku kadang berpikir, enak ya dipanggil nama langsung sama orang yang kamu suka. Rasanya......lebih seperti benar-benar pasangan.”
Kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya.
Izumi masih memanggil Eiji dengan ‘Eiji-kun’, tapi Eiji selalu memanggilnya langsung dengan namanya.
“Kalau itu yang kamu mau, ya boleh.”
“Benarkah? Bisa coba sekarang?”
Aku berdeham pelan.
Entah kenapa, rasanya lebih memalukan dari yang kubayangkan.
“Aoi......terima kasih sudah datang untuk menemuiku di hari ulang tahunku......”
Begitu selesai bicara, suaraku langsung melemah, dan wajahku terasa panas sampai ke telinga.
Ini......bukan lagi level ‘agak’ memalukan. Ini benar-benar memalukan!
“U-uh......ya......”
Kelihatannya Aoi-san juga jauh lebih malu daripada yang dia bayangkan.
Pipinya merah cerah saat ia menunduk.
“Aku senang, tapi......aku belum terbiasa. Rasanya agak malu......”
“Y-Ya......mungkin kita akan terbiasa pelan-pelan.”
“Ya, pelan-pelan.”
Untung udara malam musim gugur cukup dingin.
Kalau ini musim panas, aku pasti sudah banjir keringat.
“Kalau dipikir-pikir......cara kita saling memanggil itu penting juga, ya.”
“Ya. Penting banget.”
Aoi-san mengucapkannya seakan sedang menikmati tiap kata.
“Kamu masih ingat......pertama kali kamu memanggilku dengan namaku saja?”
“Ya. Tentu ingat.”
Itu terjadi saat festival musim panas tahun lalu.
Sekelompok pria mencoba menggoda Aoi-san, dan dalam kepanikan, aku memanggil namanya tanpa honorifik.
Belakangan aku begitu malu sampai rasanya hampir pingsan tiap kali mengingatnya. Tapi karena dia tidak pernah menyinggung soal itu, aku pikir semuanya aman.
Ternyata dia mengingatnya. Dan sekarang aku harus menelan ulang rasa malu itu dari awal.
“Kurasa......saat itu pertama kalinya aku mulai melihatmu sebagai laki-laki. Bagiku, mendengarmu memanggil namaku seperti itu......itu sangat berarti. Jadi aku senang kamu mengatakannya lagi sekarang.”
Kata-katanya menggema di kepalaku.
—Mendengar namanya tanpa honorifik membuatnya mulai memandangku sebagai seorang pria.
“Begitu, ya!”
Aku langsung berdiri tanpa pikir panjang.
Ucapan Aoi-san baru saja memberiku jawaban atas masalah yang selama ini membuatku pusing.
Ini mungkin kunci untuk mendorong hubungan Yuuki dan Natsumiya-san maju selangkah.
“Aoi-san, terima kasih!”
Tersulut rasa girang, aku meraih kedua tangannya.
Tentu saja, dia tampak kebingungan.
“Maaf, itu......mendadak sekali. Aku hanya terlalu bersemangat.”
“Tidak apa-apa. Aku kurang paham, tapi......senang kalau aku bisa membantu?”
“Membantu” rasanya terlalu meremehkan.
“Sebenarnya, begini ceritanya—”
Aku menceritakan padanya tentang Yuuki dan Natsumiya-san.
Tentang bagaimana mereka adalah teman masa kecil yang saling menyukai, tapi tak bisa menembus dinding tak kasatmata itu. Aku jelaskan bagaimana aku mencoba membantu mereka selama perjalanan sekolah, sudah mencoba macam-macam, tapi tidak ada yang berhasil.
Dan bahwa aku pikir cara mereka saling menyapa mungkin bisa menjadi dorongan yang mereka butuhkan.
“Aku juga merasa ada sesuatu di antara mereka,” katanya sambil mengangguk.
Meski hanya sebentar bersama mereka, dia pasti sudah merasakannya.
“Kurasa mereka butuh semacam pemantik......dan aku benar-benar merasa ini bisa jadi jawabannya. Natsumiya-san masih memanggil Yuuki dengan ‘Yuuki-chan,’ seperti waktu mereka kecil. Yuuki memang tidak membencinya, tapi sekarang kita sudah SMA......ia jadi agak canggung.”
“Benar juga......mungkin ini bisa berhasil. Sama seperti waktu kau memanggilku dengan namaku langsung......itu memuntuk ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku yakin hal yang sama bisa terjadi pada mereka.”
Kalau Aoi-san percaya itu bisa berhasil, maka ini benar-benar patut dicoba.
“Terima kasih. Sungguh, aku berutang budi padamu.”
“Aku senang kalau bisa membantu, meski sedikit saja.”
Aoi-san tersenyum, lalu melihat ponselnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.00.
“Aku harus pulang.”
“Ya......terima kasih sekali lagi.”
Dia melangkah pergi—namun berhenti sejenak dan menoleh.
“Sampai nanti, Akira—”
“Tunggu......apa?”
Sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah membalik badan dan berjalan menjauh ke dalam malam.
Aku menatapnya sampai sosoknya menghilang dari pandangan, sementara tanganku tanpa sadar terangkat, menutupi mulut yang perlahan tertarik dalam senyum.
Ya Tuhan......
“......Itu luar biasa.”
Sekarang aku mengerti apa yang dia maksud.
Dipanggil hanya dengan nama, tanpa honorifik......memang terasa sangat istimewa.
Aku mendongak menatap langit penuh bintang.
Ulang tahunku yang ketujuh belas ini......ternyata jadi hari terbaik dalam hidupku.

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 6.1"