Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 5.2
Bab 5 - Karyawisata - Hari Ketiga (Bagian 1)
Fushimi Inari Taisha, tanpa ragu, adalah salah satu tempat wisata paling populer untuk semua kalangan.
Sebagai kuil pusat dari sekitar tiga puluh ribu kuil Inari di seluruh Jepang, tempat ini menarik pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri.
Katanya, kuil ini duduk di peringkat pertama Kyoto dalam jumlah pengunjung tahunan.
Dan daya tarik terbesar, tentu saja, adalah Senbon Torii—rangkaian gerbang torii merah menyala yang terbentang seolah tak ada ujungnya.
Pemandangan ikonik itu menjadi alasan banyak wisatawan datang ke sini hanya untuk melihatnya.
“Wow, seramai ini......pantas saja tempat ini begitu terkenal.”
Jalur dari area parkir menuju kuil dipenuhi rombongan sekolah dan wisatawan biasa. Saking padatnya, aku sampai bergumam tanpa sadar.
“Kalau sebelum masuk saja sudah sesesak ini, aku bisa membanyangkan betapa susahnya nanti pas di area kuil,” komentar Natsumiya-san, membuatku merasakan kecemasan yang sama.
“Kyoto itu pusatnya tempat-tempat spiritual, jadi keramaian seperti ini wajar,” kata Yuuki.
“Kamu tipe yang percaya power spot, Yuuki?”
“Bukannya religius banget, tapi......semua orang pasti punya satu hal yang mereka ingin sedikit dibantu dewa, kan?”
Nada Yuuki terdengar lebih ragu dari biasanya.
Aku bahkan tidak perlu bertanya hal apa yang ia maksud.
Fushimi Inari Taisha terkenal bukan hanya sebagai dewa panen dan kemakmuran usaha, tapi juga sebagai tempat yang erat hubungannya dengan enmusubi—mengikat jodoh dan hubungan takdir. Katanya, bukan hanya membantu mempertemukan hubungan baru, tapi juga memperkuat ikatan yang sudah ada, entah itu keluarga, teman, atau seseorang yang kamu sayangi.
Entah ia tahu fakta itu atau tidak, yang jelas pikirannya sedang sangat terarah pada Natsumiya-san hingga berharap sedikit campur tangan ilahi.
“Ayo, cepat masuk,” kata Yuuki sambil mempercepat langkah.
“Tunggu, Yuuki-chan!” seru Natsumiya-san mengejarnya.
Aku mengikuti mereka dari selangkah di belakang.
Tak lama kemudian, sebuah torii raksasa muncul di hadapan kami.
“Uwah......luar biasa.”
Di pintu masuk berdiri sebuah torii vermilion menjulang tinggi, dengan sebuah pilar batu di sampingnya bertuliskan Fushimi Inari Taisha.
Di balik jalan setapak berbatu itu, tampak lagi torii besar lainnya serta gerbang berwarna vermilion yang mencolok dan memukau mata.
Kontras antara gerbang merah menyala, batu-batu pucat di jalan, dan langit biru cerah di atas membuat pemandangan itu terasa begitu sakral hingga aku terpaku di tempat.
“Hanya berdiri di sini saja rasanya sudah dapat sedikit berkah,” gumamku saat kami mencapai gerbang kuil.
“Ya, siapa tahu dapat lebih dari satu—mungkin dua atau tiga,” kata Yuuki.
“Eh, jangan serakah begitu. Nanti dimarahi dewa,” balas Natsumiya-san sambil terkekeh.
“Aku tahu, aku tahu. Tadi cuma bercanda kok.”
Kami melewati torii kedua dan berjalan di bawah gerbang utama.
Sesuai reputasinya, patung-patung rubah—utusan dewa Inari—terdapat di berbagai sudut halaman kuil. Setiap patung tampak seolah sedang mengawasi para pengunjung yang datang meminta berkah.
Ketika kami mencapai bangunan utama, jumlah orang yang memadati area itu jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Kerumunan benar-benar tak terputus.
Setelah mengantre sekitar sepuluh menit, akhirnya giliran kami tiba. Kami berdiri berjajar, melemparkan koin ke kotak persembahan, membungkuk dua kali, menepuk tangan dua kali, membungkuk sekali lagi, lalu menyatukan tangan untuk berdoa.
Dengan mata terpejam, aku membayangkan dua permohonan sederhana.
—Semoga aku bisa terus menjaga hubungan baik dengan Aoi-san.
—Dan semoga keinginan dua orang di sampingku juga terkabul.
Setelah selesai, aku membuka mata perlahan.
Di sampingku, keduanya masih berdoa dengan wajah serius.
“......Oke.”
Yuuki membuka mata sambil bergumam pelan.
“Sudah selesai?”
“Hmm. Rika, kamu bagaimana?”
“Sudah,” jawabnya sambil menurunkan tangannya.
“Oke, kalau begitu......ayo lihat omamori.”
“Sepertinya tempatnya di sebelah sana.”
Kami bergerak ke sisi kiri kuil, tempat stand penjualan jimat berada.
Tentu saja, di sana pun keramaian tak berbeda—orang-orang berdesakan, masing-masing mengincar jimat pilihan mereka.
Dari sela-sela kerumunan, terlihat deretan omamori berwarna-warni, mulai dari jimat kesehatan, keselamatan, hingga rezeki. Ada juga versi modern seperti strap gantungan dan stiker, bahkan jimat berbentuk Senbon Torii.
“Hmm......pilih yang mana ya?”
“Ya......susah juga.”
Keduanya pura-pura menimbang pilihan, padahal dari tadi mata mereka hanya terpaku pada satu hal: jimat enmusubi, jimat untuk mengikat hubungan dan memperkuat ikatan.
Mereka jelas-jelas sedang saling mengintip pilihan satu sama lain tanpa berani mengambil langkah duluan.
Dan melihat itu, aku cuma bisa tersenyum kecil dalam hati.
Ya ampun......seperti yang kuduga, mereka benar-benar cocok.
Jimat enmusubi Fushimi Inari berbentuk kartu dengan dua rubah saling berhadapan, mengapit tulisan Myōbu Enmusubi Mamor.
“……”
Seriusan......beli saja sudah.
Kalau dipikir-pikir, jimat seperti ini bisa jadi alasan paling pas untuk mengakui perasaan.
‘Yuuki-chan, kamu juga beli jimat enmusubi?’
‘Kamu juga, Rika?’
‘Iya. Jadi......kamu berharap bisa terhubung sama siapa?’
‘Bukannya jelas? Sama kamu, tentu saja.’
‘Yuuki-chan......aku suka kamu!’
Klasik, memang. Tapi aku bisa membayangkan adegan itu terjadi begitu saja.
Bukan berarti aku pernah mengalaminya.
Membayangkannya jauh lebih mudah ketika bukan aku yang berdiri di posisi mereka.
Berdiri di samping orang yang kau suka sambil membeli jimat enmusubi?
Itu perlu keberanian yang luar biasa.
Melihat mereka berdua terus bimbang sampai-sampai membuatku ingin menjambak rambut sendiri.
Jadi ini maksud orang ketika bilang ‘ngegemesin sampai bikin kesal’, ya?
“Ah......jadi, uh, Akira mau beli yang mana?”
Yuuki tiba-tiba menoleh padaku, jelas-jelas panik dan mencari pelarian.
“Sepertinya jimat keberhasilan akademik......sama enmusubi juga, mungkin.”
“Jimat enmusubi? Kan kamu sudah punya Aoi-san. Kenapa masih perlu?”
“Jimat ini bukan cuma untuk hubungan baru—tapi juga untuk memperkuat hubungan yang sudah ada, entah dengan teman atau orang yang kamu sayangi.
Untuk menjaga hubungan tetap baik, bahkan makin erat.”
“H-huh......kamu tahu banyak juga.”
Ya, aku memang sudah mencari tahu dari internet sebelumnya.
Nada suara Yuuki melemah—campuran antara heran dan sesuatu yang tak tersampaikan.
Kupikir aku sudah membuka peluang emas untuknya, tapi ia tetap tak mengambil kesempatan itu.
“Kita masih pelajar. Tahun depan ada ujian, jadi jimat keberhasilan akademik paling masuk akal.”
“B-Benar. Aku akan beli itu juga.”
Dan begitu lah—keduanya mundur teratur dan membeli jimat keberhasilan akademik.
“......Haaah.”
Satu napas panjang, penuh rasa pasrah.
Yang menjawab, secara mengejutkan, justru Yuuki.
“Torii itu kan memang untuk dilalui. Jadi, setelah zaman Edo, orang-orang mulai menyumbangkan torii sambil berdoa supaya keinginan mereka bisa ‘melalui’ rintangan dengan lancar. Terus kalau doa mereka terkabul, mereka akan menyumbang torii lagi sebagai rasa terima kasih.”
Dengan kata lain, banyaknya torii yang berjajar di sini adalah wujud dari semua harapan yang pernah dipanjatkan—dan yang telah benar-benar terkabul.
Bukti bahwa harapan dan doa manusia tak pernah berhenti, di zaman apa pun.
“Yuuki-chan, kamu tahu banyak juga.”
“Cuma baca-baca online aja. Ayo jalan.”
Ia benar-benar sudah riset jauh sebelumnya.
Aku sendiri juga sempat membaca sedikit sebelum datang, tapi tidak sedetail itu.
Tapi......kalau ia sudah mencari tahu sejauh itu, agak aneh juga ia tidak tahu soal makna jimat enmusubi. Aku teringat reaksi canggungnya ketika kubahas tadi.
Jangan-jangan......ia cuma pura-pura tidak tahu?
“Kenapa melihatku begitu?”
“Ah, tidak apa-apa.”
Apa aku membuatnya jadi terlalu sadar diri karena komentar tadi?
“Kalau kau bilang begitu......ya sudah.”
Maaf ya, Yuuki.
Aku meminta maaf dalam hati sambil mengikuti mereka melewati deretan torii merah terang.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Saat kami berjalan, aku memperhatikan langkah Natsumiya-san perlahan-lahan melambat. Jalurnya memang semakin menanjak.
“Yuuki, kita pelan-pelan dulu.”
Yuuki menoleh dan langsung paham.
“Rika, kamu tidak apa-apa?”
“Ya......maaf, aku jadi melambat.”
Dia tersenyum meski wajahnya tampak kelelahan.
“Jangan memaksakan diri. Jalan seirama dengan ritmemu sendiri itu penting. Kita santai aja.”
“Makasih. Aku seneng mendengarnya.”
Yuuki pun menyesuaikan langkahnya dengan Natsumiya-san, tetap berada di sisinya.
Ini dia! Saat yang tepat untuk menggenggam tangannya!
Melihat mereka dari belakang, aku hanya bisa menarik napas panjang, penuh frustasi.
Saat sedang tenang seperti ini, Yuuki bisa begitu perhatian. Tapi begitu ia mulai overthinking, ia langsung berubah menjadi anak SD yang baru pertama kali suka seseorang—gelagapan, kikuk, dan benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
Padahal kalau mereka bisa bersikap seperti biasa, mereka sudah terlihat seperti pasangan sempurna.
Akhirnya, kami tiba di Kuil Okusha, titik akhir dari jalur Senbon Torii.
“Ini ujungnya?”
“Bukan. Jalurnya masih terus masuk jauh ke gunung. Tapi kalau mau sampai atas, itu pendakian dua jam. Kebanyakan orang balik dari sini atau turun lewat jalur Mitsutsuji.”
“Kalau begitu......mau sampai Mitsutsuji saja?”
“Boleh. Tapi sebelum itu—”
Pandangan Yuuki bergeser ke sisi kanan kuil.
“Ayo coba omokaru ishi.”
“Omokaru......ishi?”
Mengikuti arah pandangannya, aku melihat dua lentera batu berdiri berdampingan di depan dinding batu. Di antara keduanya, ada papan kayu bertuliskan Omokaru Ishi. Beberapa turis antre untuk mengangkat batu bundar di atas lentera itu, lalu menanggapi hasilnya dengan ekspresi terkejut atau kecewa.
“Mereka sedang apa?”
“Itu semacam ramalan.”
“Ramalan?”
“Kalau batunya terasa lebih ringan dari yang kamu bayangkan, berarti keinginanmu akan terkabul. Kalau terasa lebih berat, berarti kamu harus usaha lebih keras. Ayo coba.”
“Kedengarannya seru.”
Kami ikut mengantre. Beberapa menit kemudian, giliran kami.
Yuuki dan Natsumiya-san berdiri berdampingan, meletakkan tangan mereka di atas masing-masing batu, wajah keduanya berubah serius seketika.
“……”
Sama seperti ketika berdoa di kuil utama, keduanya terlihat khusyuk dengan suasana hati yang tidak biasa.
“Siap? Satu......dua......”
Mereka mengangkat batu itu bersamaan.
“Jadi? Bagaimana rasanya?”
“Lumayan...... lebih ringan dari yang kupikir.”
“Berat sih, tapi ya, lebih ringan daripada bayanganku.”
“Giliranmu, Akira.”
“Oke.”
Aku maju ke lentera batu dan mencoba mengangkat batunya.
“Hm......iya, lebih ringan dari perkiraan.”
“Sepertinya keinginan kita bertiga akan terkabul.”
Yah, kurasa tidak ada orang yang mau mengaku kalau batunya terasa berat.
Tapi tentu saja aku menyimpan komentar itu sendiri.
“Jadi, kalian berdua tadi berdoa apa?”
Tanyaku dengan nada santai, pura-pura tak tahu apa-apa.
Tentu saja aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya melempar umpan.
“P-permintaan itu harus dirahasiakan!”
Yuuki langsung memerah seperti tomat dan buru-buru jalan duluan.
Dan......hilang sudah umpan keduaku hari ini.
“Kita jalan lagi?”
“Iya, ayo.”
Dengan Yuuki memimpin di depan, kami meninggalkan Okusha Shrine dan mulai menuju Mitsutsuji.
Meski torii vermillion terus berderet sejauh mata memandang, kemiringan jalurnya makin terasa. Anak tangganya betulan menguras tenaga, dan aku mulai bisa merasakan protes dari kakiku.
Aku benar-benar harus mulai olahraga lagi.
Saat itulah aku menyadari sesuatu.
“......Tunggu. Sebentar.”
Aku menoleh ke belakang—dan langsung terpaku.
Natsumiya-san menghilang.
“Yuuki—!”
Yuuki, yang berjalan sedikit lebih dulu, segera menoleh cepat.
“Ada apa?”
“Natsumiya-san tidak ada!”
Wajahnya seketika pucat. Tanpa menunggu penjelasan lain, ia berlari kembali ke arahku.
“Kapan dia hilangnya?”
“Aku tidak tahu. Sial......aku harusnya sadar lebih cepat.”
Rasa bersalah langsung menekan dadaku.
Tadi aku sudah melihat kalau Natsumiya-san mulai kelelahan dalam perjalanan menuju Kuil Okusha. Kalau aku saja mulai ngos-ngosan, wajar kalau dia lebih capek lagi.
Aku harusnya jalan paling belakang, bukan dia.
“Akira, itu bukan salahmu. Aku yang kelewat jauh di depan.”
Tidak......aku tetap merasa bertanggung jawab.
Umpan yang tadi kuberikan ke Yuuki malah berubah jadi godaan yang membuatnya malu, dan karena itu dia jalan duluan, meninggalkan Natsumiya-san di belakang.
“Menyalahkan siapa pun tidak akan nyelesaikan apa-apa. Kita cari dia sekarang.”
“Ya.”
Kami segera berbalik dan menuruni jalan yang baru kami lewati.
Dan di sanalah kami melihatnya—
Natsumiya-san, dikelilingi oleh sekelompok laki-laki.
“Yuuki, lihat—”
“Apa-apaan itu......?”
Melihat seragam mereka, jelas mereka siswa dari sekolah lain yang juga sedang karyawisata.
Semakin dekat kami melangkah, potongan suara mereka mulai terdengar.
“Hei, kamu dari sekolah mana?”
“Tidak perlu balik ke temanmu, ikut kita aja.”
“Ayo dong, kasih nomor kamu.”
Mereka menggodanya.
Merayu tanpa tahu situasi.
Dan di wajah Natsumiya-san—jelas terlihat kalau dia ketakutan.
Dadaku terasa panas—amarah mendidih tanpa bisa ditahan.
Sebagai seorang laki-laki, aku bisa memahami naluri itu.
Gadis manis seperti Natsumiya-san yang duduk sendirian tentu akan menarik perhatian.
Tapi mengerumuninya ketika dia jelas-jelas ketakutan? Itu tidak bisa dimaafkan.
Dan yang paling penting......
Dia adalah orang yang disukai sahabatku.
“Hey, kalian—”
“Jangan berani-berani mendekat lagi!”
Teriakan Yuuki memotong udara sebelum aku sempat bergerak.
Bahkan para turis di sekitar ikut terdiam.
“......Yuuki-chan?”
“Maaf meninggalkanmu sendirian.”
Yuuki berdiri di depan Natsumiya-san, melindunginya dengan tubuhnya.
“Kau siapa? Kenal sama cewek ini?”
“Dia sama aku. Pergi cari orang lain buat kalian goda.”
“Emang kenapa? Kami boleh ngomong sama siapa pun yang kamimau.”
“Kalau dia bukan pacarmu, minggir aja.”
Aku teringat waktu Aoi-san pernah digoda orang asing.
Entah kenapa, cowok-cowok macam ini selalu mengeluarkan kalimat basi yang sama.
Tapi untuk kali ini, sepertinya aku tidak perlu campur tangan.
“Aku bukan pacarnya,” kata Yuuki tegas, “tapi dia teman masa kecilku. Dan dia sangat berarti buat aku.”
“Yuuki-chan......”
“Jadi, gimana? Masih mau maksa? Aku siap hadapi kalian kalau perlu. Tapi kalau kalian bikin masalah sama murid sekolah lain di tengah karyawisata, risikonya tidak cuma ditegur guru. Pulang dipaksa juga bisa. Skors pun mungkin. Terserah kalian. Mau ambil risiko itu?”
Belum pernah aku melihat Yuuki semarah ini.
Ia berusaha menjaga suaranya tetap tenang, tapi sorot matanya penuh kemarahan.
Dan ia benar.
Kalau keributan pecah di sini, bukan hanya guru yang turun tangan—polisi pun bisa ikut campur.
Para cowok itu tampaknya mengerti bahwa Yuuki tidak main-main.
“Terserah. Siapa juga yang peduli sama satu cewek doang?”
Mereka menggerutu dan mulai membubarkan diri, membalikkan badan dengan kesal—namun tidak cukup berani untuk menantang lebih jauh.
“Kalau kalian bahkan tidak peduli cukup untuk menghormatinya, kalian seharusnya tidak ngomong sama dia dari awal.”
Perkataan Yuuki menghantam keras, seperti palu godam.
Para lelaki itu mendengus kesal, tapi tak satu pun bisa membalas. Sambil mengumpat pelan, mereka akhirnya pergi menjauh.
“Rika, kamu—”
Yuuki berbalik, berniat memastikan kondisinya.
Dan Natsumiya-san langsung menubruk ke dadanya.
“Rika......?”
Dia pasti sangat ketakutan.
Tangannya bergetar saat menggenggam erat ujung baju Yuuki.
“...Maaf aku ninggalin kamu sendirian.”
“Bukan......aku yang buat masalah......”
Suara lirihnya pecah, seolah dia berusaha keras menahan air mata.
“Bukan masalah. Aku cuma senang kamu tidak apa-apa.”
Yuuki merangkul bahunya dengan lembut, sama sekali tak peduli pada orang-orang yang melihat.
Syukurlah dia baik-baik saja.
Rasa lega menghangat di dadaku saat menyaksikan mereka berdua.
Setelah itu, kami meninggalkan Fushimi Inari Taisha dan naik bus menuju Nara.
Kami mengunjungi Horyuji dan tempat-tempat terkenal lainnya. Mungkin karena kejadian tadi di kuil, tapi rasanya ada sesuatu yang berubah antara Yuuki dan Natsumiya-san.
Bahkan teman-teman lain di kelompok kami pun sepertinya menyadarinya.
Tapi......entah mengapa, mereka masih seperti tinggal selangkah lagi.
Sudah begitu dekat......tapi belum benar-benar sampai.
Akhir Bab 5

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 5.2"