Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 4.1


Bab 4 - Karyawisata - Hari Kedua (Bagian 2)




Setelah menikmati makan siang, kami meninggalkan kafe dan berjalan-jalan di sepanjang Jalan Nagatsuji.


Menjelang sore, jalanan mencapai puncak keramaiannya. Jauh lebih padat dibandingkan pagi tadi, sampai-sampai kami harus benar-benar berhati-hati agar tidak bertabrakan dengan orang lain.


Di tengah banyaknya turis, aku melihat beberapa rombongan siswa yang sedang karyawisata, tapi seperti yang sudah kuduga, tidak ada yang dari sekolah kami.


Syukurlah—sepertinya kami bisa melewati hari itu tanpa ketahuan siapa pun.


Kalaupun ada teman yang kebetulan lewat, kemungkinan besar mereka tak akan mengenali kami karena kimono ini.


Sambil mengobrol soal itu, aku mengecek waktu: pukul 14.30.


Sudah saatnya memikirkan bagaimana hari ini akan berakhir.


“Jam berapa kamu harus kembali ke hotel, Aoi-san?”


“Jam enam. Aku janjian dengan kelompokku sedikit sebelum itu.”


“Kalau begitu sama denganku.”


Berarti kami punya sekitar tiga setengah jam tersisa.


Dengan mempertimbangkan waktu naik kereta kembali ke Stasiun Kyoto, kami harus meninggalkan Arashiyama sekitar pukul 17.00. Dan kalau menghitung waktu untuk mengembalikan kimono, kami punya kurang lebih dua setengah jam lagi untuk jalan-jalan.


Begitu kusadari hari itu hampir berakhir, ada rasa perih yang menusuk dadaku.


Aku ingin menutup hari ini dengan kenangan yang akan terus kami ingat.


“Karena sudah agak sore, bagaimana kalau kita lihat-lihat toko suvenir?”


“Ya, ayo.”


Aoi-san menggenggam tanganku sedikit lebih erat.


Gerakan kecil itu saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama.


“Nenekmu atau siapa pun ada yang minta dibawakan sesuatu?”


“Tidak juga. Aku masih bingung mau pilih apa. Aku harus beli sesuatu untuk Ayah, Yukari-san, dan Aoshi-kun......dan aku juga ingin bawa oleh-oleh untuk para tetangga. Sepertinya akan butuh waktu lama untuk memilih.”


“Tenang saja. Aku bantu cari yang paling cocok untuk mereka.”


“Terima kasih, Akira-kun.”


Dengan itu, kami mulai menjelajahi deretan toko suvenir.


Jalan utama Arashiyama benar-benar sesuai reputasinya—pilihannya tidak ada habisnya.


Kami melewati toko makanan khas lokal, kerajinan tradisional, hingga pernak-pernik bertema Kyoto.


Toko pertama yang menarik perhatian kami adalah toko yang khusus menjual suvenir paling ikonik dari Kyoto, yatsuhashi.


“Ya, yatsuhashi memang pilihan aman.”


“Nenekku suka sekali.”


“Kalau begitu, sudah jelas—kita beli di sini.”


Kami pun masuk ke toko.


Selain yatsuhashi panggang klasik, ada juga berbagai macam nama yatsuhashi versi fresh.


Ada pilihan tradisional dengan isian anko, dan ada juga isian unik seperti strawberry dan sakura.


Lalu ada juga varian......aneh. Cokelat, soda, dan rasa-rasa lain yang membuatku bertanya-tanya apakah itu benar-benar enak atau hanya  strategi marketing.


Itu mengingatkanku pada warna-warni dango yang kami lihat di dekat Jembatan Togetsukyo tadi.


“Sepertinya jajanan seperti ini memang sedang tren,” kataku. “Apalagi yang fotogenik untuk media sosial.”


“Iya. Anak muda pasti suka.”


Rasa-rasa berani dan kemasan lucu mungkin memang dibuat supaya jajanan tradisional tetap menarik bagi generasi yang lebih muda.


Lumayan mengagumkan juga memikirkan betapa banyak usaha yang dilakukan untuk memperbarui cita rasa klasik.


Kami sepakat membeli satu kotak nama yatsuhashi rasa original, tapi ragu-ragu soal varian lainnya.


“Huh?”


Pandangan mataku tertarik pada satu kotak tertentu.


"Hei, lihat—matcha nama yatsuhashi."


"Matcha!?"


Aoi-san langsung berputar, matanya berbinar seketika.


Dia bergegas mendekat, mengambil kotak itu, dan meneliti isinya dengan penuh minat.


Di sampingnya ada papan kecil bertuliskan “Dilengkapi matcha sugar!”


Katanya, kalau ditaburkan tepat sebelum dimakan, rasa matchanya akan jadi lebih kuat.


Aku mencoba membayangkan rasanya, tapi tetap tidak bisa memvisualisasikannya.


“Penasaran juga bagaimana rasanya,” ujarku.


“Ya, aku juga.”


Sepertinya staf toko memperhatikan minat kami.


“Mau coba? Enak, lho!”


Gadis muda di balik meja tersenyum cerah sambil menyodorkan nampan berisi potongan contoh, masing-masing ditusuk dengan tusuk kecil.


“Terima kasih!”


Kami menerimanya dan membungkuk pelan.


Saat kami mengangkat potongan yatsuhashi itu, stafnya mulai menjelaskan dengan penuh semangat:


Adonan yatsuhashi dibuat dari matcha berkualitas tinggi yang diproduksi oleh perkebunan teh terkenal di Kyoto. Baik kulit maupun isiannya sama-sama diberi rasa matcha, dan jika ditambahkan matcha sugar bawaan, aromanya akan semakin pekat.


Penjelasannya membuat ekspektasi kami melambung.


Kami pun menggigitnya.


“Mm—!”


“Mm—!”


Suara kagum kami bahkan keluar bersamaan.


Begitu digigit, rasa matcha yang kaya langsung memenuhi mulut.


Teksturnya lembut dan kenyal, dengan elastisitas yang pas.


Kepahitan halus dari matcha berpadu sempurna dengan manisnya isian anko.


Rasa pahitnya cukup lembut—bahkan orang yang biasanya tidak suka matcha pun mungkin akan tetap menikmatinya.


Seperti yang dijelaskan pegawainya, menambahkan matcha sugar membuat aromanya semakin kuat dan kompleks.


Di sampingku, Aoi-san menempelkan tangan ke pipi sambil menikmati setiap gigitan dengan ekspresi penuh kebahagiaan.


Matanya berbinar saat dia menaburkan matcha sugar untuk kedua kalinya, lalu menggigit potongannya dengan senyum puas.


“Suka?”


“Banget!”


Jawabannya begitu penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan permen favoritnya.


“Kalau begitu aku beli juga. Kamu bagaimana, Akira-kun?”


“Yah......sepertinya aku juga beli.”


Begitu aku memikirkan siapa yang akan kuberikan, wajah Hiyori langsung terlintas di kepala. Dia penggemar berat matcha—pasti bakal suka.


Untuk memastikan, aku mengirim pesan singkat padanya untuk menanyakan apakah dia mau.


Balasannya datang hampir seketika: Ya!!—lengkap dengan beberapa tanda seru.


Sepertinya dia sangat ingin mencobanya.


Aku mengambil satu kotak, sementara Aoi-san mengambil dua.


“Satu untuk nenekmu, dan satu lagi untukmu?” tanyaku.


“Hm?”


Dia memiringkan kepala, tampak bingung.


Beberapa detik kemudian, wajahnya langsung berubah merah ketika akhirnya sadar.


“Ah......benar. Aku juga perlu beli untuk Nenek.”


Dengan panik, dia menambah satu kotak lagi, sehingga totalnya menjadi tiga.


“Tunggu......jadi dua yang tadi itu untukmu semua?”


“Ugh......”


Dia menurunkan salah satu kotaknya untuk menutupi mulutnya, hanya matanya yang terlihat.


“Y-ya......soalnya......ini enak.”


Ya. Kedua kotak itu memang untuk dirinya sendiri.


"Uh......bisa kita salahkan nafsu makan musim gugur lagi......?"


Kambing hitam klasik itu muncul lagi.


Kalau musim gugur punya emosi, mungkin sekarang sedang menangis karena dijadikan alasan terus-menerus.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Tetap saja, melihatnya berusaha menutupi rasa malunya seperti itu terlalu lucu, jadi aku memutuskan untuk tidak menggodanya lebih jauh.


Kalau dia sampai membeli dua kotak untuk dirinya sendiri, berarti memang seenak itu.


Akhirnya, aku menambahkan satu kotak lagi ke pembelianku.


Sementara itu, Aoi-san mengambil beberapa yang dibungkus satuan, katanya buat dimakan selama perjalanan sekolah.


Tapi jujur saja......aku sangat meragukan cemilan itu akan bertahan sampai besok.


Setelah membayar, kami keluar dari toko.


Lalu kami lanjut menyusuri toko-toko lain dan entah bagaimana......kami berdua berubah menjadi kolektor dadakan segala macam manisan Kyoto. Matcha langue de chat, warabi mochi, manju, monaka—pokoknya apa pun yang terlihat enak, langsung masuk tas.


Satu jam kemudian, tangan kami penuh dengan kantong belanja.


“Oke......ini mulai keterlaluan,” kataku.


“Iya......dan ini baru hari kedua.”


Aoi-san tertawa, dan aku pun tak bisa menahan tawa.


Kami benar-benar terbawa suasana.


“Yah, setidaknya itu berarti kita bersenang-senang, kan? Kalau nanti kebanyakan, kita bisa minta hotel kirim ke rumah. Lebih baik kebanyakan daripada menyesal tidak beli.”


“Kamu benar juga!”


Dia mengangguk mantap, seakan meyakinkan dirinya bahwa pesta belanja camilan ini sepenuhnya masuk akal.


Dan tentu saja, kami masih punya alasan andalan kami—nafsu makan musim gugur.


“Jadi, setelah ini kita masuk toko apa?” tanyaku.


“Hmm......mungkin yang bukan makanan untuk kali ini.”


“Setuju. Bagus juga kalau dapat sesuatu yang tahan lama.”


Saat kami berjalan, sesuatu di seberang jalan menarik perhatianku.


“Hm......?”


“Ada apa, Akira-kun?”


“Toko yang di sana......aku penasaran mereka jual apa.”


Di seberang jalan berdiri sebuah bangunan yang sekilas tampak seperti rumah biasa.


Satu-satunya yang menunjukkan bahwa itu sebuah toko adalah poster yang tergantung di dindingnya.


“Chirimen zaiku......?”


Aoi-san memiringkan kepala saat membaca tulisan itu.


Namanya memang terdengar asing, tapi dari apa yang kulihat di dekat pintu masuk, ada kantong kecil dan dompet koin yang dipajang di rak-rak kayu. Sepertinya toko itu menjual kerajinan tradisional.


Saat mengintip lewat jendela, aku melihat beberapa perempuan sedang berkeliling di dalam.


“Mau lihat-lihat?”


“Ya, ayo.”


Kami menyeberang jalan dan melangkah masuk.


Hal pertama yang menyambut kami adalah pajangan ornamen-ornamen kecil berwarna-warni yang terbuat dari kain. Tema yang mereka usung tampak seperti musim gugur: daun momiji merah, kesemek, kastanye, bahkan beruang dan kelinci mungil. Seluruh pajangan itu terasa seperti sebuah diorama hutan musim gugur yang damai, buatan tangan.


Rasanya seperti masuk ke adegan “beruang di dalam hutan” dalam dongeng.


“Cantik sekali......”


Mata Aoi-san berkilau saat ia mengambil salah satu figur beruang itu.


Sekarang setelah melihat kerajinan itu dari dekat, aku mulai punya gambaran samar tentang apa itu chirimen zaiku. Tapi kalau diminta menjelaskannya, mungkin aku akan gagap.


Untungnya, ada sebuah papan kecil di samping pajangan yang memberikan penjelasan sederhana.


Chirimen zaiku adalah bentuk kerajinan tangan tradisional Jepang yang menggunakan kain chirimen, bahan sutra dengan tekstur berkerut khas yang disebut shibo. Kerajinan ini berawal dari zaman Edo, ketika para pengrajin memanfaatkan sisa kain kimono untuk membuat aksesori kecil dan barang-barang dekoratif.


Pada era Meiji, kerajinan ini bahkan menjadi bagian dari kurikulum sekolah perempuan. Meski tradisinya sempat nyaris hilang seiring perubahan gaya hidup modern, belakangan ini ia kembali populer seiring semakin banyak orang yang menemukan kembali pesona dan nilai budayanya.


Singkatnya, semua barang di sini dibuat dengan tangan dari kain kimono.


“Melestarikan tradisi seperti ini pasti sulit,” kataku.


“Ya. Kalau tidak ada yang meneruskannya, tradisi itu akan hilang begitu saja.”


“Apalagi sekarang, yang jadi standar itu produksi massal dan pemangkasan biaya. Sekalipun suatu kerajinan bernilai tinggi, kalau dibuat tangan, menjalankan bisnisnya pasti jauh lebih sulit.”


Aku teringat sesuatu dari pelajaran IPS, kerajinan tangan Jepang yang mendunia dulu pernah menjadi kebanggaan nasional.


Tapi seiring berkurangnya tenaga kerja dan banyaknya produksi yang dialihkan ke luar negeri, banyak usaha kecil yang menopang keahlian tradisional itu terpaksa tutup.


Dan ketika mereka tutup, sebagian warisan budaya itu ikut lenyap.


“Membeli sesuatu di sini memang tidak akan membuat perubahan besar......tapi mungkin sedikit membantu,” kataku.


“Ya,” jawab Aoi-san pelan.


Jujur saja, alasan “membantu melestarikan tradisi” itu lebih seperti dalih.


Kenyataannya, aku memang suka dengan barang-barang ini.


Kami berjalan menuju bagian belakang toko, ingin tahu apa lagi yang mereka jual.


Dan apa yang kami temukan jauh melampaui dugaan kami.


“Wah......”


Pemandangan itu membuatku berhenti seketika.


Rak-raknya penuh dengan barang-barang berwarna cerah—pilihan yang begitu banyak sampai rasanya menenggelamkan pandangan.


“Banyaknya......” gumam Aoi-san.


Dari pouch kecil, dompet koin, hingga tas serut, semuanya ada.


Ada juga tas kosmetik yang jelas dirancang untuk menarik minat perempuan muda.


Rak lain memajang boneka dekoratif, figur hewan, dan mainan mungil yang menggemaskan.


Sebuah sudut menampilkan boneka okiagari koboshi—figurin bulat tradisional yang akan bangun lagi meski dijatuhkan.


Sebagian besar dibuat dengan motif hewan zodiak, dan boneka daruma-nya hadir dalam lebih banyak warna daripada yang sempat kuhitung.


Untuk sesaat, aku sempat terpikir untuk membeli satu sesuai zodiak setiap anggota keluargaku.


Saat aku masih sibuk menimbang-nimbang pilihan—


“Hei, Akira-kun, lihat ini!”


Aku mengangkat kepala. Di sana, Aoi-san berdiri sambil tersenyum cerah, melambaikan tangan agar aku mendekat. Sepertinya dia menemukan sesuatu yang menarik.


“Kamu menemukan sesuatu yang kamu suka?”


“Lihat ini.”


Di tangannya, ada sebuah gantungan kecil berbentuk sushi—lebih tepatnya, sepotong sushi maguro yang dibuat dari kain chirimen. Sutra merahnya dihiasi jahitan putih halus yang menyerupai serat daging tuna, dan semuanya bertengger rapi di atas nasi chirimen berwarna putih. Detailnya begitu teliti sampai-sampai dari sekali pandang saja sudah jelas itu tuna maguro.


Meski dibuat dengan teknik tradisional, ada kesan bermain yang manis di dalamnya.


“Lucu banget.”


“Iya, kan? Detailnya luar biasa.”


Aku menekannya pelan. Teksturnya lembut—sepertinya diisi kapas.


Di rak depan kami, ada berbagai jenis sushi lain: salmon, ikura, negitoro, hamachi, uni—semuanya lengkap. Bahkan ada satu set yang disusun di atas papan sushi kayu mini, seperti yang biasa ada di konter sushi sungguhan.


Di rak lain, ada wadah bulat berwarna cerah berisi aneka sushi, mirip set sushi takeout.


“Gemes banget......rasanya pengin punya semuanya.”


“Iya. Kalau sudah ambil satu, pasti ingin satu set.”


“Anak kecil pasti suka main ini. Cocok untuk pura-pura buka toko sushi.”


Komentar itu begitu khas dirinya—refleks alami dari kebiasaannya membantu di panti asuhan. Seketika aku teringat hari ketika kami pergi ke sana bersama dan akhirnya bermain rumah-rumahan dengan anak-anak TK.


Waktu itu, saat mereka bertanya apakah aku pacarnya, aku panik setengah mati.


Kalau mereka bertanya sekarang......aku bisa menjawab tanpa ragu.


Kami memutuskan meninggalkan dulu deretan sushi kecil itu dan melanjutkan menjelajahi toko.


“Sepertinya seru kalau kita beli sesuatu yang serasi,” usul Aoi-san.


“Ya. Yang bisa kita pakai setiap hari akan lebih bagus.”


Kami terus berjalan menyusuri lorong-lorong toko sampai sebuah display case ponsel menarik perhatianku.


“Hm......case ponsel.”


Aku mengambil salah satunya dan memeriksanya lebih dekat. Karena aku dan Aoi-san punya model ponsel yang sama, case yang serasi terdengar seperti ide yang bagus. Apalagi aku baru saja menemukan satu dengan bunga favoritnya, hortensia.


Bagian belakangnya dilapisi kain dengan motif hortensia biru dan ungu, disusun dalam gaya tradisional Jepang yang anggun. Polanya begitu halus dan detail—aku yakin Hiyori pun akan menyukainya.


“Aoi-san, ke sini sebentar.”


Dia berjalan mendekat dari lorong sebelah.


“Kamu menemukan sesuatu?”


“Ya. Menurutmu bagaimana dengan ini?”


Aku menyerahkan case bermotif hortensia itu padanya.


Matanya langsung berbinar saat melihatnya.


“Indahnya......”


Tepat reaksi yang kuharapkan.


“Mau kita beli sebagai set yang serasi? Kita bisa pakai setiap hari.”


“Ide bagus. Ayo beli.”


“Kalau aku beli satu lagi untuk Hiyori, kamu tidak keberatan, kan? sepertinya dia akan suka.”


“Aku juga berpikir begitu. Dan aku yakin dia akan senang kalau tahu kita bertiga pakai case yang sama.”


“Aku juga kepikiran begitu. Dia suka dengan hal-hal yang membuat kita terasa ‘tersambung’.”


“Dan jujur saja,” lanjutnya sambil tersenyum lembut, “aku suka ide bisa serasi denganmu dan dia.”


Senyumnya membuat dadaku terasa hangat.


Dengan itu, suvenir bersama kami sudah diputuskan. 

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 4.1"