Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 3.1
Bab 3 - Karyawisata - Hari Kedua (Bagian 1)
Keesokan paginya, setelah sarapan dan bersiap-siap, kami pun meninggalkan hotel.
Aku berdiri bersama kelompokku di sebuah gang kecil tak jauh dari sana.
“Oke. Aku percayakan semuanya pada kalian.”
“Tenang saja—kau tinggal pergi dan nikmati harimu.”
“Sampaikan salam kami pada Aoi-san!”
“Terima kasih. Kalau begitu, aku berangkat.”
Setelah menyerahkan urusan pada Yuuki, Natsumiya-san, dan yang lainnya, aku berjalan menuju Stasiun Kyoto untuk bertemu dengannya.
Stasiunnya tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari hotel.
Saat aku masih di jalan, pesan dari Aoi-san masuk—katanya ia sudah menunggu di depan gerbang tiket.
Hanya membayangkan akan melihatnya lagi saja sudah membuatku senang.
Aku ingin bertemu bahkan sedetik lebih cepat, dan sebelum sadar, kakiku mulai berlari.
Tak lama kemudian, aku tiba di stasiun dan mengikuti papan penunjuk menuju tempat kami janjian.
Dari kejauhan, kulihat Aoi-san berdiri di depan gerbang tiket, sesekali menoleh ke sekeliling.
“Aoi-san!”
Aku memanggil sambil mendekat. Ketika dia menyadariku, dia melambaikan tangan kecil di depan dadanya.
Aku bergegas menghampiri, tak bisa menahan senyum.
“Maaf, apa aku membuatmu menunggu?”
“Tidak, kok. Aku juga belum lama di sini.”
“Syukurlah.”
Aku menyeka sedikit keringat di dahiku, dan Aoi-san mengeluarkan saputangan dari tasnya untuk membantuku menghapusnya.
“Kamu tahu, saat aku menunggumu di stasiun kampung halamanku waktu liburan musim panas......aku menyadari sesuatu. Sepertinya aku benar-benar suka menunggumu, Akira-kun. Hari ini pun aku datang agak lebih awal. Jadi, kau tak perlu khawatir.”
“Begitu, ya......Terima kasih.”
Sejak kami mulai berpacaran, Aoi-san semakin terbuka dalam mengungkapkan perasaannya.
Sebagai pacarnya, tentu saja aku senang—tapi tetap saja, ada rasa malu setiap kali dia mengatakan hal seperti itu secara langsung.
“Baiklah, ayo kita pergi.”
“Ya.”
Kami melewati gerbang tiket dan naik kereta.
Hari itu baru saja dimulai, tapi aku sudah merasa begitu senang sampai rasanya sulit menahannya.
Tujuan kami adalah Arashiyama—tempat yang sudah kami pilih sebelumnya.
Kami memilih Arashiyama, yang terletak di sisi barat kota dan agak jauh dari hotel.
Sebab, area utara seperti Kuil Kinkakuji dipenuhi tempat wisata terkenal.
Dengan kata lain, tempat wisata terkenal berarti peluang lebih besar bertemu para guru.
Nyatanya, banyak teman sekelas kami yang merencanakan rute mereka di sekitar area itu.
Kami juga menghindari Kuil Fushimi Inari di selatan, karena kami akan mengunjunginya sebagai bagian dari rute kelompok pada hari ketiga sebelum pergi ke Nara.
Dengan pertimbangan itu, Arashiyama menjadi pilihan terbaik untuk menikmati waktu bersama tanpa khawatir bertemu siapa pun.
Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan kereta, kami tiba di Stasiun Saga-Arashiyama.
Begitu melangkah keluar, kami langsung melihat bukan hanya wisatawan lokal, tapi juga begitu banyak turis mancanegara.
“Sama seperti kemarin di Kuil Kiyomizu—Kyoto memang populer di kalangan turis asing.”
“Yah, bagi orang dari luar negeri, ini mungkin salah satu tujuan utama saat datang ke Jepang.”
Arashiyama berkembang sebagai tempat peristirahatan para bangsawan sejak periode Heian, terkenal dengan kuil-kuil bersejarah dan pemandangan alamnya yang indah.
Tempat ini juga dianggap sebagai lokasi terbaik untuk merasakan budaya Jepang, sehingga tak heran banyak wisatawan mancanegara berkunjung.
Itu yang kubaca di internet—dan melihat kerumunan ini, rasanya memang benar.
Tidak seperti beberapa tempat wisata yang lebih ramai dan mencolok, Arashiyama memiliki suasana yang tenang dan santai—mudah dinikmati tanpa merasa terburu-buru.
“Aoi-san.”
Aku memanggil namanya sambil mengulurkan tangan.
Sekarang setelah kami ada di sini, kami tak perlu lagi khawatir ada yang mengenali kami.
“Ya......!”
Aoi-san menggenggam tanganku, pipinya sedikit memerah.
Sudah cukup lama sejak kami terakhir berpegangan tangan seperti ini. Kehangatan sentuhannya membuatku teringat kembali pada hari-hari kami bersama selama liburan musim panas.
Masih saling menggenggam tangan, kami berjalan menuju Jalan Nagatsuji, jalan utama yang dipenuhi toko oleh-oleh untuk para wisatawan.
“Hei, Akira-kun.”
Saat kami melangkah, Aoi-san meremas tanganku pelan.
“Ada apa?”
“Orang-orang yang memakai kimono banyak sekali.”
“......Iya juga.”
Setelah dia menyebutkannya, aku memperhatikan sekitar.
Memang begitu.
Sekelompok mahasiswi yang sedang bepergian bersama, pasangan yang berjalan berdampingan, keluarga dengan anak kecil—di mana-mana, orang-orang mengenakan kimono.
Bahkan beberapa turis mancanegara pun mengenakannya.
Setelah kuperhatikan lebih baik, sepertinya justru lebih banyak orang yang memakai kimono daripada yang tidak.
“Kira-kira di sekitar sini ada tempat penyewaan kimono, ya?”
“Mau aku cek?”
“Ya!”
Rasanya tidak mungkin sebanyak ini orang membawa kimono sendiri hanya untuk jalan-jalan.
Aku mengeluarkan ponsel dan mencari “rental kimono Arashiyama”.
Beberapa hasil muncul, dan ketika aku membuka situs salah satu tokonya, tertulis bahwa penyewaan untuk seharian penuh harganya sekitar 5.000 yen.
Mereka bahkan punya paket untuk pasangan: 10.000 yen untuk dua orang. Sudah termasuk penataan rambut dan aksesori gratis. Selain itu, pelajar mendapat potongan 2.000 yen, jadi totalnya hanya 8.000 yen—cukup murah untuk ukuran Kyoto.
Ada juga opsi berbayar untuk mengembalikan kimono langsung dari hotel, membuatnya jauh lebih praktis.
Sepertinya layanan seperti ini memang sudah umum di kalangan wisatawan Kyoto.
“Sepertinya ada tempat rental dekat sini,” kataku.
Mata Aoi-san bersinar saat melihat sepasang kekasih berk kimono lewat di depan kami.
Melihat ekspresi itu, aku tak bisa menahan diri untuk membuat sebuah usulan.
“Mau kita coba sewa juga?”
“Benarkah!?”
Wajahnya langsung berseri-seri, seperti bunga yang baru mekar.
Perasaannya selalu mudah terbaca—dan justru itu yang membuatnya begitu menggemaskan.
“Ya. Rasanya akan makin kerasa nuansa Kyotonya kalau kita pakai kimono juga.”
“Tapi......bisa tidak ya tanpa reservasi?”
“Ah, benar juga......aku telepon dulu, ya.”
Aku mengetik nomor toko rental yang tadi kutemukan dan menekan tombol panggil.
Jujur saja, agak gugup menunggu sambungan. Setelah beberapa nada tunggu, seseorang mengangkat telepon.
“Permisi, saya mau tanya sebentar......”
Aku menjelaskan situasinya.
Stafnya mengatakan bahwa hari ini tidak terlalu ramai, jadi kami bisa datang tanpa reservasi dan langsung dilayani.
Aoi-san, yang mungkin mendengar suara staf dari ponselku, menangkupkan kedua tangannya dengan wajah berseri.
“Terima kasih! Kami segera ke sana,” ucapku sebelum menutup telepon.
“Itu berjalan lancar, ya.”
“Ya! Aku senang sekali!”
Suara Aoi-san dipenuhi kegembiraan.
Melihatnya sebahagia itu membuatku benar-benar bersyukur telah repot-repot mencari tahu sebelumnya.
“Ayo kita pergi?”
“Ya!”
Dalam suasana hati yang jauh lebih ceria dari biasanya, Aoi-san hampir seperti melompat kecil saat berjalan di depan.
......Walaupun mungkin tidak terlalu “tidak biasa” juga.
Baru tadi di stasiun, dia bilang kalau dia suka menungguku. Dibandingkan ketika pertama kali kami bertemu, dia sudah jauh lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya.
Dulu, Aoi-san selalu meminta maaf—bahkan saat dia sedang berterima kasih.
Senyumnya pun sering tampak sedikit canggung. Tapi sekarang......mengetahui bahwa dia bisa menjadi dirinya sendiri di hadapanku membuatku bahagia luar biasa.
Itu membuatku ingin melakukan hal yang sama—lebih jujur dalam menyampaikan perasaanku padanya.
Bukan karena apa yang Yuuki katakan, tapi.....komunikasi memang tetap sama pentingnya bahkan setelah dua orang resmi berpacaran.
“Sepertinya ini tempatnya.”
“Ya, kelihatannya begitu.”
Tanpa sadar tenggelam dalam pikiranku, kami pun sampai di toko rental kimono.
Toko dua lantai itu memiliki pintu masuk yang terbuka lebar, sehingga orang yang lewat bisa langsung melihat deretan kimono warna-warni di dalamnya—desain toko yang jelas dibuat agar orang tertarik untuk masuk.
Benar saja, kami bukan satu-satunya yang melongok ke dalam.
Lewat jendela, kami bisa melihat para wisatawan yang sedang memilih-milih kimono.
“Permisi, saya Akamori. Tadi saya yang menelepon.”
“Ah, ya! Kami sudah menunggu kedatangannya.”
Seorang pegawai wanita dengan senyum ramah menyambut kami dan memandu proses check-in.
Setelah itu, tibalah saatnya memilih kimono.
Pilihan untuk pria tidak terlalu banyak, jadi kupikir aku akan selesai cepat.
Tapi bagian untuk wanita—ada lebih dari seratus pilihan. Butuh waktu lama untuk menemukan pola yang benar-benar cocok.
Dan tentu saja—
“Banyak sekali......aku jadi bingung.”
Aoi-san mengerutkan alis sedikit sambil menelusuri rak, mengamati setiap kimono satu per satu.
Akhirnya, Aoi-san berhenti di depan salah satu kimono.
“Kamu menemukan yang kamu suka?”
“Yang ini......menurutku cantik sekali.”
Kimono yang dia angkat bermotif bunga hortensia.
Dasarnya putih bersih, dihiasi bunga hortensia berwarna biru dan ungu yang besar.
Tergantung warna obi-nya, kimono itu bisa terlihat anggun dan lembut, atau justru cerah dan mencolok. Dan dengan betapa anggunnya Aoi-san akhir-akhir ini, aku bisa langsung membayangkan betapa cocoknya kimono itu saat ia memakainya.
“Kamu memang selalu suka hortensia, ya?”
“Iya. Aku suka sekali bunga ini.”
“Kalau begitu......sepertinya ini pilihan yang pas.”
“Ya! Aku ambil yang ini.”
Dengan ekspresi puas, dia memeluk kimono itu erat-erat.
Aku merasa harus cepat-cepat memilih untukku juga, jadi aku asal meraih salah satu kimono pria yang tergantung.
“Tunggu, Akira-kun!”
Tangan yang hendak mengambil kimono itu langsung tertahan.
“Hah? Kenapa?”
“Kamu asal pilih, kan?”
......Sial.
“Ehm......tidak, tentu saja tidak.”
Keraguanku jelas membuat kalimat itu terdengar seperti pengakuan terang-terangan.
Aoi-san menyipitkan mata dan mengerucutkan bibir, ekspresi tidak senangnya sangat mudah terbaca.
“Kamu harus pilih yang benar-benar kamu suka.”
“......Maaf.”
Aku menunduk seperti karyawan yang ketahuan malas oleh atasan.
Tapi kalau atasannya secantik ini, aku tidak keberatan dimarahi.
Jujur saja, dimarahi begini rasanya seperti hadiah.
Bahkan mungkin......aku tidak keberatan dimarahi tiap hari.
Tunggu. Apa aneh kalau aku malah tidak masalah dengan ini?
Aku mencoba menutup rapat-rapat pikiran itu sebelum semakin jauh.
“Ya......aku memang tidak terlalu pandai soal hal-hal begini.”
“Tenang saja. Aku yang akan pilihkan untukmu!”
Dengan tinju kecil yang ditepuk dengan penuh semangat, dia mengambil alih.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Melihat Aoi-san seperti itu, aku jadi teringat saat kami pergi memilih baju renang sebelum perjalanan ke pantai pada musim panas lalu.
Waktu itu, aku mencoba asal pilih baju renang, tapi dia langsung menghentikanku. Dia bahkan mengadakan semacam “fashion show” dadakan, memamerkan semua opsi yang menurutnya akan cocok untukku.
Sepertinya hari ini akan menjadi “Pilihan Aoi, Bagian Dua.”
“Oke, aku serahkan padamu.”
“Bagus! Aku akan pastikan pilih yang terbaik untukmu.”
Lima belas menit kemudian, setelah menempelkan hampir setiap kimono ke tubuhku untuk dibandingkan—
“Ini dia! Menurutku yang ini paling cocok untukmu.”
Kimono yang dia pilih punya desain sederhana dan elegan.
Bahkan warnanya senada dengan kimono Aoi-san, yang berarti kami akan terlihat serasi saat berjalan berdampingan.
“Terima kasih. Oke, ayo ganti pakaian.”
Kami menyerahkan kimono pilihan kami ke staf, yang kemudian mengarahkan kami ke ruangan terpisah di lantai dua.
Ruangan di atas memang disiapkan khusus untuk berganti pakaian, dengan berbagai perlengkapan tertata rapi di ruang seluas enam tatami.
Fitting kimono-ku cepat selesai, jadi aku turun kembali dan menunggu di depan toko untuk Aoi-san. Kimono wanita biasanya butuh waktu lebih lama, jadi aku menggunakan kesempatan itu untuk meninjau kembali jadwal kami.
Saat aku menelusuri jadwal dan membaca informasi tentang Arashiyama—
“Akira-kun, maaf membuatmu menunggu.”
Begitu mendengar suaranya dan menengok ke atas, mataku membesar.
Di sana dia berdiri, mengenakan kimono bermotif hortensia yang tadi dipilihnya.
Dasar putih membuat bunga-bunga biru dan ungu di kimono itu makin menonjol, sementara obi berwarna gelap memberi kesan anggun dan elegan. Tas serut dan aksesori rambutnya pun serasi, keduanya dihiasi motif hydrangea untuk melengkapi penampilan.
Aku pernah melihatnya memakai yukata dua kali sebelumnya, tapi ini pertama kalinya aku melihatnya mengenakan kimono—dan dia terlihat memukau.
Dan di situ: momen reuni yang sudah lama kucari dengan garis lehernya yang memesona.
Sejak kami memutuskan untuk menyewa kimono, diam-diam aku sudah menantikan saat ini.
“Menurutmu......bagaimana?”
Aku pasti menatap terlalu lama, karena dia memberi pandangan malu-malu dan bertanya pelan.
Ini tepat momen ketika aku harus lebih terbuka dengan perasaanku.
“Kamu terlihat sangat cantik.”
“Hehe. Terima kasih.”
Senyumnya tersipu, tapi kebahagiaannya jelas terpancar.
Melihatnya tersenyum seperti itu membuat rasa malu itu sepadan. Aku harus lebih sering mengungkapkan hal-hal seperti ini padanya.
“Kita pergi?”
“Ya! Tapi sebelum itu......”
Dia melangkah lebih dekat dan mengaitkan lengannya dengan lenganku.
“Bisa kita foto bareng?”
“Tentu saja.”
Aku mengangkat ponsel, dan kami mengambil beberapa selfie berdampingan.
Melihat kami bersama di layar, aku tak bisa menahan senyum—kami tampak benar-benar bahagia.
“Foto-fotonya bagus banget.”
“Aku kirimkan nanti, ya.”
“Terima kasih.”
Masih berpegangan tangan, kami meninggalkan toko penyewaan kimono.
Begitu sampai di Nagatsuji Street, kami berjalan menyusuri jalan yang ramai, dengan penjual makanan dan toko suvenir di kedua sisinya.
“Masih cukup pagi, tapi orangnya sudah banyak sekali.”
“Area ini memang pusat wisata Arashiyama, jadi wajar saja.”
Kami memutuskan untuk menunda belanja suvenir dan menuju ke tujuan pertama: Jembatan Togetsukyo.
Jembatan Togetsukyo membentang di atas Sungai Katsura, panjangnya 155 meter dan lebar 12 meter.
Ini adalah salah satu landmark paling terkenal di Arashiyama, terkenal dengan pemandangan sekitarnya yang memukau. Tergantung waktu, lanskap di sepanjang sungai berubah secara halus namun indah.
Saat kami berjalan ke selatan di Nagatsuji Street, tak lama kemudian kami melihat nama tempat itu: Arashiyama.
“Wah......luar biasa.”
Begitu sampai di dasar jembatan, pemandangan terbentang di depan kami: sebuah jembatan kayu panjang membentang di atas sungai menuju sebuah pulau kecil, dengan Sungai Katsura mengalir tenang di bawahnya.
Gunung-gunung di latar mulai menampilkan warna musim gugur, melukis lanskap dengan semburat merah, oranye, dan kuning yang hidup. Suara lembut aliran sungai semakin menambah pesona abadi pemandangan itu.
“Sejujurnya, melihat pemandangan ini saja sudah membuat perjalanan ke Arashiyama sepadan.”
“Ya. Sama seperti kemarin di Kuil Kiyomizu, pasti daun-daunnya akan lebih menakjubkan dalam beberapa minggu.”
“Pasti. Kita harus kembali bersama-sama saat musim gugur penuh nanti.”
“Oke, janji!”
Dia tersenyum lembut.
Sama seperti yang dia katakan di Kuil Kiyomizu dulu, dan sekarang aku yang mengatakannya. Ketika kalian berdua menginginkan hal yang sama, rasanya seperti janji tak terucap.
“Musim gugur pasti indah, tapi pasti pemandangan bersalju di musim dingin juga cantik di sini.”
“Ya! Aku ingin melihatnya juga.”
Kami membiarkan diri kami membayangkan perjalanan-perjalanan itu di masa depan saat melangkah ke jembatan.
Namun, tepat saat aku melangkah pertama—
“Hm?”
Aoi-san menarik lenganku, menggenggam erat.
Genggamannya terasa lebih kuat dari biasanya.
“Ada apa?”
“Ada tempat yang ingin aku kunjungi sebelum kita menyeberang jembatan.”
“Tempat yang ingin kamu kunjungi?”
Aku menundukkan kepala, bingung.
Dia menunjuk ke sebuah toko di dekat situ.
“......Toko okaki?”
Dari apa yang bisa kulihat, toko itu menjual okaki—kerupuk beras renyah—dan senbei. Aroma senbei yang baru dipanggang mengepul di udara.
“Iya, toko okaki, tapi mereka juga jual dango. ‘Hanami Dango’-nya super populer di kalangan gadis muda karena fotogenik banget. Aku sudah ingin mencobanya! Ada banyak rasa, jadi bahkan anak laki-laki juga suka.”
Matanya berbinar saat menjelaskan semuanya seperti reporter makanan yang antusias.
Jarang melihatnya seperti ini, tapi soal manisan—terutama wagashi—dia bisa menyaingi semangat Izumi dan Hiyori.
“Kedengarannya enak. Ayo kita coba.”
“Ya!”
Seperti yang diduga untuk tempat cemilan yang sedang tren, sudah terlihat antrean panjang gadis-gadis muda di depan toko.
Dari belakang antrean, kami mengintip melalui celah-celah untuk melihat etalase. Di dalamnya terdapat puluhan tusuk dango berwarna-warni, masing-masing dihiasi berbagai macam pasta anko dengan nuansa pastel lembut—merah muda, kuning, hijau. Manisan bergaya Kyoto yang elegan, benar-benar karya seni.
Tapi satu jenis menonjol dibanding yang lain: Hanami Dango.
Topping pada dango ini berbentuk seperti kelopak bunga, dengan taburan dragĂ©e perak kecil—mirip dekorasi yang biasanya ada di kue mewah atau es krim. Praktis seperti karya seni yang bisa dimakan.
“Ya, aku bisa mengerti kenapa orang bilang ini layak untuk Instagram.”
“Iya kan?”
Tentu saja, mereka juga punya versi klasik—seperti dango saus kedelai, mitarashi dango, dan dango tiga warna.
Ngomong-ngomong soal dango tiga warna, aku yakin tak banyak orang yang tahu arti tiap warnanya. Merah muda melambangkan bunga sakura di musim semi, putih mewakili salju di musim dingin, dan hijau melambangkan kehijauan musim panas.
......Tunggu, lalu bagaimana dengan musim gugur?
Penasaran bagaimana aku tahu? Tertulis jelas di papan di samping etalase.
“Ayo kita antre.”
“Oke!”
Sambil menunggu, Aoi-san terlihat benar-benar bingung saat memilih.
“Sudah memutuskan mau yang mana, Aoi-san?”
“Ugh......aku masih bingung.”
Ekspresi seriusnya membuatku tersenyum.
“Kalau kamu, Akira-kun? Sudah tahu mau pesan apa?”
“Ya, aku sudah menentukan.”
“Mari lihat......aku pasti mau Hanami Dango, tapi dango tiga warna klasik juga terdengar enak. Dan mitarashi dango, soy sauce dango, isobe dango......oh! Mereka bahkan punya chocolate dango! Dan lihat—anko ubi ungu dan anko sakura!”
Dia menyebutkan semua pilihan itu seperti sedang merapal mantra yang rumit.
Saat dia selesai, giliran kami sudah tiba di kasir.
“Halo! Mau pesan apa?”
“Uh......aku pesan Hanami Dango, dan......"
Aoi-san tampak malu-malu saat berdiri di depan kasir yang tersenyum ramah.
“Um......aku mau satu dari tiap jenis, ya.”
“Hah—!?”
Suara terkejutnya terdengar saat aku memesan semuanya.
Tapi lebih dari sekadar terkejut, ekspresinya penuh dengan kegembiraan.
“Tunggu, Akira-kun, kamu pesan semuanya!?”
“Kupikir, kalau tidak bisa memutuskan, sekalian beli semuanya saja.”
“Tapi itu banyak......Kamu yakin?”
“Kita berdua pasti bisa menghabiskannya.”
“Ya......sepertinya kamu benar!”
Dan dengan begitu, kami membeli semua dua belas jenis dango.

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 3.1"