Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 2.3


Bab 2 - Karyawisata - Hari Pertama




Setelah selesai berkeliling Kuil Kiyomizu, kami berpisah dengan Yuuki dan Natsumiya-san lalu memutuskan mencari makan siang.


Sebenarnya, dari cara Yuuki terus menatapku dengan mata memohon, jelas sekali ia ingin berkata, “Jangan tinggalkan aku berdua dengannya......”


Tapi dengan rombongan berisi enam orang, mencari tempat duduk di restoran pasti akan merepotkan. Demi kebaikan semua, kami memilih berpisah dulu.


Maksudku......ayolah. Setidaknya usahakan makan siang bersama, kan?


Dengan keputusan itu, kami pun menyusuri jalanan sambil melihat-lihat restoran. Namun karena sudah jam makan siang, semua tempat penuh sesak.


Setelah berjalan cukup lama, menyusuri jalanan Kyoto yang cantik dan tenang, akhirnya kami menemukan sebuah restoran soba yang tersembunyi di gang yang lebih sepi.


"Bagaimana kalau di sini?"


Izumi mengusulkan sambil melihat menu yang dipajang di depan pintu.


Aku ikut mendekat untuk melihat-lihat. Ada menu set makan siang, dan harganya juga ramah kantong.


"Kelihatannya oke. Kalau semua setuju, kita masuk saja."


"Aku suka soba, jadi aman."


"Aku juga tidak masalah."


"Baiklah, kalau begitu diputuskan♪"


Dengan suara bulat, Izumi pun memimpin kami masuk.


Sambil menunggu untuk dipersilakan duduk, kami kembali menelusuri menu dan menentukan pesanan.


Karena aku, Aoi-san, dan Eiji baru saja makan sesuatu yang manis di kafe, kami memilih yang ringan—zaru soba. Sementara Izumi, yang seolah punya perut terpisah khusus untuk makanan manis dan masih punya ruang untuk makan besar, memesan satu set zaru soba lengkap dengan tempura.


Setelah duduk dan memesan, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol santai.


"Makan soba bareng begini.......rasanya agak nostalgia ya."


"Terakhir kali itu saat kita membuat soba tahun baru di rumah Akira."


"Susah dipercaya ya, itu sudah sepuluh bulan yang lalu."


Mengucapkannya dengan suara keras membuatnya terasa seperti waktu yang sangat panjang, padahal sebenarnya semua itu berlalu dalam sekejap.


Tanpa kami sadari, waktu akan terus melaju dan hilang begitu saja.


“Tahun depan begini, kita semua mungkin sudah sibuk persiapan ujian masuk universitas.”


“Bukan tahun depan—begitu perjalanan ini selesai, kita sudah harus mulai fokus ke sana.”


Eiji ada benarnya.


Ada banyak teori soal kenapa perjalanan sekolah dijadwalkan pada waktu tertentu, tapi salah satu alasannya adalah agar kegiatan itu tidak mengganggu persiapan ujian masuk universitas. Karena itu, perjalanan sekolah dilakukan di tahun kedua, bukan tahun ketiga.


Kalau dipikir-pikir, mungkin malah terasa sedikit terlambat untuk baru membahasnya sekarang.


“Bisakah kita tidak membicarakan ujian waktu liburan sekolah? Tolonglah.”


Izumi menghela napas, terlihat lebih lesu dari biasanya.


“Tapi kau sendiri tidak perlu khawatir kan? Kau jago belajar.”


“Hanya karena aku bisa belajar bukan berarti aku suka ujian.”


Ya......masuk akal.


“Maaf ya kalau jadi makin merusak suasana, tapi mumpung sedang membicarakan ini—kalian semua sudah punya rencana setelah lulus nanti?”


Kami jarang membahas hal seperti ini, jadi kupikir inilah saat yang tepat untuk menanyakannya.


“Aku rencananya mau masuk universitas.”


“Aku juga. Sedang memutuskan pilih universitas di daerah Kanto.”


Eiji dan Izumi menjawab lebih dulu.


“Aoi-san, kamu waktu itu sudah dapat izin untuk masuk universitas, kan?”


“Ya. Aku sempat bilang ke kamu waktu liburan musim panas, ingat? Aku sudah ngobrol dengan Ayah dan Nenek, dan mereka setuju buat mendukungku. Hanya saja aku belum menentukan universitasnya.”


“Begitu, ya.”


Percakapan itu kembali teringat—setelah kami mengunjungi panti asuhan, kami sempat membicarakan soal masa depannya.


Aoi-san adalah tipe orang yang benar-benar bisa memahami dan mendukung orang lain. Apa pun pekerjaan yang kelak dia pilih, rasanya pasti sesuatu yang membuatnya bisa menolong banyak orang.


Masuk universitas akan memberinya lebih banyak wawasan dan pengalaman, dan itu pasti sangat berarti untuknya.


Untuk saat ini, sepertinya Aoi-san masih mempertimbangkan pilihannya.


“Kalau kamu sendiri, Akira?”


“Aku juga berencana masuk universitas. Untuk sekarang, pilihanku yang pertama itu universitas di Tokyo.”


Mendengar bahwa semuanya berencana melanjutkan studi membuatku berpikir.


Ini adalah sesuatu yang terlintas setiap kali aku memikirkan masa depan.


“Kalau kita semua masuk universitas di Tokyo, mungkin kita masih bisa tetap bersama.”


Tentu saja itu bukan alasan bagi semua orang untuk memilih tempat yang sama.


Kami masing-masing punya jalan sendiri, dan mungkin ada yang memilih universitas di luar kota.


Itu hanya pikiran sekilas—sesuatu yang akan menyenangkan kalau benar-benar terjadi secara kebetulan.


“Ya......kedengarannya seru.”


Eiji tampaknya memahami apa yang kurasakan.


Ia tidak mengiyakannya secara pasti, tapi juga tidak membantah—hanya setuju dengan tenang.


“Kita tidak perlu masuk universitas yang sama untuk tetap bisa ketemu.”


Izumi ikut bersuara.


“Sekarang, karena kita masih SMA, kita tidak bisa sembarangan pergi untuk ketemu kamu, Akira. Tapi nanti kalau sudah jadi mahasiswa, kita akan lebih bebas bergerak. Kampus kita mungkin saja sama-sama di Tokyo. Dan terlepas dari itu, kita pasti akan lebih sering ketemu dibanding sekarang. Jadi kamu tidak perlu khawatir.”


“......Ya, kau benar.”


Kami akan punya kebebasan untuk bertemu lebih sering daripada sekarang.

Membayangkannya saja sudah membuatku ingin cepat-cepat jadi mahasiswa.


“Terima kasih sudah menunggu.”


Sambil kami mengobrol, soba pesanan kami akhirnya tiba.


“Wah, kelihatan enak. Ayo makan ♪”


Dan begitu, kami pun menikmati makan siang bersama.


Entah kenapa, makan bersama seperti ini membuat rasanya jauh lebih nikmat dari biasanya.


Kami meninggalkan restoran soba itu pukul 12.50.


Waktu memang selalu terasa cepat saat kami bersenang-senang, dan tanpa sadar, waktu bebas kami hampir habis.


“Baiklah, sampai nanti.”


Di depan area parkir, aku berpamitan pada Eiji dan Izumi.


“Memang tidak lama, tapi aku senang bisa bertemu denganmu, Akira.”


“Aku juga! Melihatmu baik-baik saja membuatku tenang♪”


“Itu harusnya kalimatku.”


Benar-benar melegakan melihat keduanya tidak berubah sedikit pun.


Sebagai pasangan sekaligus senior, aku hanya bisa berharap mereka akan terus rukun seperti sekarang.


“Aku menantikan pertemuan kita berikutnya.”


Eiji mengulurkan tangan kanannya, dan aku menyambutnya dengan genggaman yang kuat sebelum menoleh ke Aoi-san.


“Sampai besok, Aoi-san.”


“Ya. Sampai besok. Nanti aku hubungi, ya.”


Kalau saja aku bisa bilang ‘andai bisa ketemu lusa juga’—


Tapi tentu saja itu terlalu egois. Jadi aku hanya membalikkan badan dan berjalan menuju bus.


Perasaan sepi di saat-saat seperti ini sudah bukan hal baru.


Tapi aku sudah lama terbiasa dengannya.


Lagipula, rasa sepi itu hanyalah sisi lain dari perasaan yang sama—bukti betapa berharganya hubungan-hubungan ini bagiku.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Semakin aku merindukan seseorang, semakin besar juga perasaan itu. Dan semakin lama aku menantikan pertemuan berikutnya, semakin besar pula kebahagiaan ketika akhirnya kami bertemu kembali.


Karena itulah, aku tak lagi menganggap kesepian sebagai sesuatu yang buruk.


Selain itu, aku akan bertemu Aoi-san lagi besok.


“Seru, ya?”


Tepat saat aku memikirkan itu, aku kembali ke bus dan mendengar suara yang sangat kukenal.


Yuuki berdiri menungguku di luar.


“Ya. Berkat kalian, aku bisa menikmati reuni yang sudah lama kutunggu. Terima kasih banyak.”


“Tidak perlu berterima kasih. Kalau dipikir-pikir, justru aku yang harus bilang begitu.”


Yuuki menunduk dalam-dalam saat mengatakannya.


“Maaf sudah mengganggu waktu kalian di Kuil Kiyomizu......dan terima kasih juga.”


“Kau benar-benar tidak perlu berterima kasih. Lagipula, kita saling bantu, kan?”


Meski begitu, aku tahu Yuuki tidak akan merasa tenang kalau tidak mengucapkannya sendiri.


“Soalnya......berada berdua saja dengan Rika itu......susah buatku.”


Suaranya, yang masih tertunduk, terdengar jauh lebih lemah dari biasanya.


“Seperti yang kubilang tadi, kau tidak punya alasan untuk canggung, kan Kalian sudah lebih sering bersama daripada berpisah sejak kecil. Sampai sekarang pun aku sering lihat kalian jalan berdua. Kalau tiba-tiba kamu jadi canggung......berarti memang ada yang berubah, kan?”


Meskipun aku sudah tahu apa yang ia rasakan.


Tapi aku sengaja bertanya.


Selama Yuuki belum mengatakannya dengan mulutnya sendiri, aku tidak bisa menolongnya.


Sebaliknya, kalau ia mau mengakuinya, barulah aku bisa benar-benar mendukungnya.


“......Ya. Kau benar.”


Akhirnya, ia mengangkat wajah sedikit—dan aku bisa melihat tekad di baliknya.


Untuk pertama kalinya, ia mengakui semuanya secara terbuka.


“Tapi sekarang......aku sama sekali tidak tahu harus bersikap bagaimana ke depannya.”


“Dengan kata lain, kau punya perasaan pada Natsumiya-san.......bukan sekadar sebagai teman masa kecil?”


Begitu aku bertanya, wajah Yuuki langsung memerah. Ia buru-buru menoleh ke samping sebelum akhirnya memberi anggukan kecil.


“......Aku mungkin lambat dalam urusan perasaan orang lain, tapi soal perasaanku sendiri......aku tidak sebodoh itu.”


Alasan ia merasa canggung adalah karena ia mulai sadar akan perasaannya.


Melihatnya seperti ini......aku tanpa sadar merasa sedikit terhibur.


Mungkin dulu, Eiji dan Izumi juga memandangku dengan perasaan yang sama.


“Ini pertama kalinya aku punya perasaan seperti ini pada seseorang......atau bahkan jadi sadar akan seseorang sedalam ini.”


Ia mengakui itu dengan suara yang campuran antara malu dan sungguh-sungguh.


“Kurasa.......perasaan itu belum ada waktu pertama kali aku pindah sekolah.”


Aku menatap Yuuki, penasaran. “Kapan kau mulai melihat Natsumiya-san, dengan cara yang berbeda?”


“......Setelah kamu cerita tentang Aoi-san.”


“Hah......?”


Jawabannya begitu tak terduga sampai aku secara refleks mengeluarkan suara aneh.


“Waktu kau cerita soal masa lalumu sebelum pindah—bagaimana kau bertemu Aoi-san, bagaimana kalian saling peduli......entah kenapa, aku merasa iri.”


Yuuki tersenyum pahit, seolah malu mengakuinya.


“Aku ingin punya cinta seperti kalian. Dan ketika aku memikirkan itu......hal pertama yang muncul di kepalaku, adalah senyumnya Rika. Saat itulah aku benar-benar sadar. Dan jujur saja,......itu membuatku kaget setengah mati.”


“......Begitu, ya.”


Aku tidak pernah menyangka aku akan menjadi pemicunya.


“Tapi sekarang......aku tidak tahu harus memulai dari mana, atau bagaimana cara mengubah hubungan kami.”


Itu adalah pertama kalinya Yuuki begitu jujur padaku.


Dan rasa bingung itu—aku yakin bukan cuma dia yang merasakannya.


Natsumiya-san pasti juga sama.


Bagi teman sekelas, semuanya terlihat sederhana: ‘Tinggal nyatakan aja, selesai.’


Tapi aku tahu lebih baik dari siapapun bahwa cinta tidak sesederhana itu.


Perasaan tidak bergerak secepat kata-kata orang luar.


“Aku tidak mau terdengar sok bijak......tapi kalau ada satu nasihat yang bisa kuberi—”


Aku menarik napas pelan.


Ini adalah sesuatu yang kupelajari dari pengalamanku sendiri.


Sesuatu yang harus kukatakan pada Yuuki yang sedang bingung di hadapanku.


“Kau harus mengubah perasaanmu menjadi kata-kata. Kalau tidak......perasaan itu tidak akan pernah sampai padanya.”


“Diubah......jadi kata-kata?”


Yuuki mengulanginya perlahan, seperti mencoba merasakan bobot kalimat itu.


“Orang jarang bisa saling ‘mengerti’ begitu saja—terutama laki-laki dan perempuan.”


Aku tidak pernah membayangkan suatu hari aku akan mengucapkan hal seperti ini pada orang lain.


“Bahkan keluarga sendiri pun tidak bisa saling memahami sepenuhnya. Jadi bagaimana kamu bisa berharap seseorang yang bukan keluargamu—apalagi lawan jenis—bisa mengerti perasaanmu tanpa kamu mengatakan apa-apa? Itu berlaku bahkan untuk teman masa kecil.”


Yuuki tetap terdiam, mendengarkanku tanpa memotong—seolah ia takut kehilangan satu kata pun.


“Itu sebabnya......berbicara—mengutarakan apa yang kamu rasakan—itu penting.”


“......Begitu ya?”


Di akhir perkataanku, aku sempat ragu sejenak. Mungkin karena itu Yuuki menoleh, tampak bingung.


“Itu bukan sesuatu yang kupikirkan sendiri. Itu nasihat dari teman dekatku.”


“Maksudmu orang yang bersamamu tadi? Sazarashi?”


“Ya. Waktu aku bingung soal perasaanku ke Aoi-san dulu, Eiji lah yang bilang begitu. Kata-kata itu jadi pondasi untukku, sesuatu yang menuntunku sampai akhirnya aku bisa jujur pada Aoi-san. Kalau bukan karena nasihat itu, mungkin sekarang kami tidak akan bersama.”


Itu bukan berlebihan—nasihat itu benar-benar mengubah segalanya.


“Memang bukan kata-kataku sendiri, tapi kurasa itu bisa berguna untukmu juga.”


“Bicara, huh......”


Yuuki menggumam pelan, seperti mencoba meresapinya.


“Kalau dipikir-pikir......sikapku ke Rika itu selalu apa adanya. Rasanya natural, nyambung tanpa usaha. Sampai-sampai kami jarang ngomong hal yang dalam. Entah sejak kapan aku hanya......menganggap dia pasti mengerti tanpa aku jelaskan apa pun.”


Dalam suaranya, ada sedikit rasa bersalah—atau mungkin penyesalan.


“Seperti yang kau bilang......mana mungkin dia bisa ngerti semuanya kalau aku tidak pernah mengatakannya.”


Untuk menghindari kesalahpahaman, aku menambahkan:


“Aku juga kagum dengan hubungan di mana dua orang bisa saling mengerti tanpa perlu banyak kata. Itu sesuatu yang istimewa, dan aku iri dengan hubungan seperti itu. Tapi bahkan pasangan seperti itu pun, tetap ada hal-hal yang tidak akan tersampaikan kalau tidak diucapkan. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah—cuma sesuatu yang perlu disadari saja.”


Cara kita memperlakukan seseorang berubah tergantung apakah kita sadar hal itu atau tidak.


Dan aku tahu itu......karena aku sendiri sudah mengalaminya.


“Kau tidak harus selalu mengatakan semuanya. Tapi kalau itu penting, kalau itu menyangkut perasaanmu yang sebenarnya......kau harus berusaha untuk menyampaikannya.”


“Ya. Aku mengerti sekarang.”


Yuuki mengangguk dengan ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya—serius, mantap, dan sedikit gugup.


“Hei! Kalau kalian tidak cepet, kalian akan ketinggalan bus!”


Suara itu memotong percakapan kami begitu saja, mengembalikan kami ke dunia nyata yang terus bergerak maju tanpa menunggu siapa pun.


Sebelum kami sadar, kami sudah mengobrol di luar cukup lama.


Dari jendela bus, Natsumiya-san berseru pada kami.


“Cepat, nanti busnya ninggalin kalian!”


“Ya, kami datang,” jawabku sambil melambaikan tangan.


Lalu aku menepuk punggung Yuuki cukup keras.


“Ayo, masuk.”


Dengan itu, kami naik ke bus bersama.


Selama karyawisata ini, setidaknya aku ingin membantu Yuuki mengambil satu langkah ke depan.


Karena akulah yang membuatnya menyadari perasaannya, rasanya hanya wajar kalau aku melakukan sesuatu.


Setelah itu, kami mengunjungi beberapa tempat wisata lagi sebelum akhirnya tiba di hotel.


Selesai makan malam dan mandi, kami sempat bercanda dan ribut kecil sebelum akhirnya tidur sekitar jam sepuluh.


Meski aku sudah sengaja tidur lebih awal untuk besok, aku sama sekali tak bisa terlelap—hanya dengan memikirkan kencan Kyoto bersama Aoi-san saja aku sudah terlalu bersemangat.


Untuk beberapa saat, kami saling berkirim pesan.


Dan tanpa sadar, jam sudah lewat tengah malam.


Sebelum salah satu dari kami sempat membalas pesan berikutnya, kami berdua sudah lebih dulu tertidur.


Akhir Bab 2

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 2.3"