Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 2.2
Bab 2 - Karyawisata - Hari Pertama
Sekitar dua jam perjalanan dengan Shinkansen—
Kami tiba di Stasiun Kyoto tanpa kehilangan sedikit pun rasa semangat tadi.
Dari sana, kami naik bus dan tiba di area parkir dekat Kuil Kiyomizu sekitar pukul sebelas siang.
"Kuil Kiyomizu memang landmark-nya Kyoto banget, ya."
"Banyak tempat lain yang suasananya khas Kyoto, tapi yang ini memang paling klasik."
Saat kami turun dari bus, Yuuki berkomentar, dan Natsumiya mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau begitu, aku pergi duluan, ya."
Kami mendapat waktu bebas selama dua jam di area ini, termasuk waktu makan siang—sampai pukul satu.
Aku memang merasa sedikit bersalah harus meninggalkan mereka, tapi semuanya sudah tahu rencananya, jadi aku serahkan sisanya pada kelompokku dan melangkah sendirian.
"Jangan khawatir soal kami. Nikmati saja waktumu."
"Sampai nanti!"
"Terima kasih, semuanya."
Ketika teman-teman sekelompokku berpisah menuju Kuil Kiyomizu, aku menyelinap pergi ke arah sebaliknya.
"Kalau tidak salah......tempatnya ada di sekitar sini."
Keluar dari area parkir, aku mulai menaiki tanjakan kecil yang mengarah ke kuil.
Meski masih terlalu awal untuk melihat dedaunan musim gugur, tempat itu sudah dipenuhi wisatawan.
Di antara kerumunan itu, ada rombongan siswa seperti kami, keluarga dengan anak kecil, pasangan muda, hingga grup wisatawan mancanegara.
Kalau dipikir-pikir, mungkin jumlah turis asing bahkan lebih banyak dari turis lokal.
Yah, wajar saja. Ini salah satu tempat paling terkenal di Kyoto—orang-orang datang dari seluruh negeri, bahkan seluruh dunia.
"Seharusnya......di sekitar sini."
Begitu melewati deretan toko suvenir dan kios makanan yang berjajar di kedua sisi jalan, aku melihatnya—kafe tempat kami janjian bertemu.
"Ini dia."
Dari luar, kafe itu tampak modern dan bergaya, tapi tirai noren yang tergantung di pintu memberi kesan Jepang yang khas.
Di bawah nama kafe, tertera tulisan Japanese Café dalam bahasa Inggris—mungkin untuk para turis.
Menu di papan luar pun ditulis dalam bahasa Inggris.
Apa pun papan tandanya, inilah tempat yang dimaksud.
Aku menggeser pintu kayu dan melangkah masuk, menatap sekeliling.
"Akira-kun! Di sini!"
Sebuah suara yang begitu kukenal memanggil namaku.
Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat Izumi melambaikan tangan dengan semangat—energinya sama seperti biasa.
Di meja untuk empat orang itu, duduk bersama dengannya Eiji dan, tentu saja, Aoi-san.
"Maaf, aku tidak terlambat kan?"
Sambil bertanya, aku duduk di kursi sebelah Aoi-san.
"Tidak kok. Kami baru duduk dan pesan tadi."
"Syukurlah. Berarti aku datang tepat waktu."
Eiji menyodorkan menu, dan aku mulai membolak-balik halamannya.
Seperti yang kuduga dari Kyoto, hampir semua menunya bertema matcha.
"Aoi-san pesan apa?"
"Aku pesan matcha latte dan matcha tiramisu."
"Sepertinya enak. Aku pesan yang sama."
Meskipun sudah dua bulan sejak terakhir kali kami bertemu, rasanya tidak ada jarak sama sekali.
Waktu musim panas lalu, saat kami reuni untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun pun, rasanya sama.
Tidak ada sambutan dramatis, tidak ada pertanyaan bagaimana kabarmu,—hanya obrolan ringan, seolah kami baru ngobrol kemarin.
Fakta bahwa hubungan kami tetap sama seperti dulu......itu membuatku benar-benar bahagia.
"Kelihatannya kalian semua baik-baik saja. Syukurlah."
Setelah aku selesai memesan, aku kembali menatap mereka—dan langsung mendapati Aoi-san dan Izumi saling pandang sebelum menatapku.
"......Ada apa, kalian berdua?"
"Kami tidak berubah, tapi kamu berubah, Akira-kun."
"Aku? Berubah bagimana?"
Izumi menunjuk ke dadaku.
"Lihat saja. Aneh melihatmu pakai seragam yang beda."
"Ya. Tapi cocok banget, lho!"
"Oh......maksudnya seragam."
Aku bahkan tidak terpikir soal itu.
"Yah, makasih, kalau begitu."
Padahal seragamku tidak terlalu berbeda—masih blazer standar.
Banyak sekolah memakai model yang mirip, jadi kupikir tidak ada yang terlalu menonjol.
Tapi melihat betapa tertariknya mereka, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
Mungkin bagi mereka, perubahan kecil ini terasa lebih besar daripada yang kubayangkan.
"Akira-kun."
"Hm? Ada apa?"
Aoi-san menggenggam ponselnya dengan kedua tangan, matanya berkilat penuh antusiasme.
Dia sedikit mencondongkan tubuh ke depan, hampir seperti sedang menahan diri agar tidak melompat dari kursinya.
Dia bahkan tidak perlu mengatakan apa pun—aku sudah tahu apa yang ingin dia minta.
"Kita boleh......foto bareng?"
"Tentu."
"Benarkah? Yay! Makasih!"
Wajah Aoi-san langsung bersinar cerah.
"Sini, biar aku yang foto!"
"Makasih, Izumi!"
"Baiklah, siap~? Senyum~♪"
Izumi mengarahkan kamera Aoi-san ke arah kami.
Aoi-san dan aku tersenyum......tapi anehnya, Izumi tidak menekan tombol foto.
"......Ada apa?"
"Kalian terlalu jauh. Sedikit mendekat."
"Mendekat? Uh......baik."
Aku menggeser badan mendekati Aoi-san mengikuti instruksinya, hingga bahu kami hampir bersentuhan.
"Lebih dekat, lebih dekat! Tempelkan bahu kalian!"
Mengikuti arahan fotografer kami yang kelewat semangat, aku menggeser kursiku, menekan bahuku hingga menyentuh milik Aoi-san.
"Kalau sekarang?"
"Bagus. Terus......bagaimana kalau kamu rangkul bahunya sekalian?"
"......Hei, kau hanya bersenang-senang, kan, Izumi?"
Sebisa mungkin aku menahan diri—bagaimanapun juga, kami sedang di tempat umum.
"Baik, baik. Segini saja deh. Oke, senyum~♪"
Setelah beberapa kali suara shutter terdengar, Aoi-san mengambil kembali ponselnya dari Izumi.
Kami mendekatkan kepala, mengintip layar bersama, melihat foto yang baru saja diambil.
Di sana terlihat kami berdua, senyum sedikit kikuk, bahu saling bersentuhan.
Terakhir kali kami foto berdua......seingatku, saat liburan musim panas di Pantai Reflection.
"Hasilnya bagus."
"Ya. Syukurlah aku tidak kelihatan aneh."
Aku bercanda setengah hati, dan Aoi-san terkikik kecil.
Jujur saja......fotonya memang bagus. Bahkan aku pun harus mengakuinya.
"Kirim ke aku, ya?"
"Tentu! Aku kirim sekarang."
"Makasih."
Begitu fotonya masuk, aku langsung menyimpannya, sempat menatapnya sebentar lagi.
Bagus sekali, mungkin nanti diam-diam kupasang sebagai wallpaper.
Saat pikiran itu lewat begitu saja—
"Akira-kun."
"Hm? Ada apa?"
Aoi-san menarik ujung seragamku pelan, menatapku dari bawah dengan mata membulat.
"Kalau aku jadikan foto ini sebagai wallpaper......kamu keberatan tidak?"
"......Hah?"
Aku sama sekali tidak menyangka kalau dia memikirkan hal yang persis sama.
Kalau begitu, aku tidak perlu lagi melakukannya diam-diam.
"Kalau aku pakai......aneh tidak?"
"Sebenernya, aku juga kepikiran buat pakai itu."
"Benarkah? Kalau begitu, ayo samakan wallpaper-nya!"
"Ya. Ayo."
Sedikit malu, kami berdua mengganti wallpaper saat itu juga.
"Hehe, sekarang samaan!"
"Iya......sama."
Aoi-san tersenyum lebar melihat layar ponsel kami yang identik.
Sejak kami mulai pacaran, dia jauh lebih terbuka mengekspresikan perasaannya.
Melihat dia sebahagia itu hanya karena sebuah foto, rasanya ikut menghangatkan hatiku.
Tetap saja, melakukan ini di depan orang banyak, rasanya agak......
Aku melirik ke samping—dan langsung menangkap Izumi sedang menatapku sambil menyeringai, ekspresinya jelas berkata aku punya komentar.
"......Apa?"
Padahal aku sudah tahu dia akan bilang apa.
"Kalian berdua sekarang benar-benar sudah masuk tahap pasangan bucin tak terselamatkan, ya?"
"Ugh......"
Mendengarnya diucapkan terang-terangan rasanya lebih menusuk.
Dulu, aku sering mengejek pasangan yang bersikap seperti ini di tempat umum.
Aku bahkan pernah bilang Eiji dan Izumi itu definisi berjalan dari pasangan bucin.
Tapi sekarang?
Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi.
Rasanya ingin minta maaf pada semua pasangan yang pernah kujuluki begitu.
Tentu saja orang akan seperti ini kalau sedang jatuh cinta.
"......Maaf, dulu aku pernah bilang kalian begitu."
"Tenang saja! Kami malah menganggap itu pujian. Dan kali ini pun maksudku begitu."
"Betul. Pasangan itu seharusnya begitu jatuh cintanya sampai kelihatan konyol di mata orang lain."
"Ya! Seperti indikator kebahagiaan begitu♪"
Sekarang aku punya pacar sendiri, aku tidak bisa membantah logika mereka.
Ada alasannya kenapa mereka disebut senior bucin.
"Walaupun begitu, aku tidak akan sampai ikutan pamer-pamer cinta terang-terangan seperti kalian."
Sambil bercanda dan tertawa, teh dan manisan kami tiba.
"Baiklah, cukup ngobrolnya! Saatnya menikmati matcha!"
Dengan itu, kami mengangkat cangkir kami untuk merayakan reuni kami.
Setelah menghabiskan teh, kami meninggalkan kafe dan berjalan menuju Kuil Kiyomizu.
Dengan waktu bebas hanya dua jam, kami tidak bisa santai-santai.
Apalagi jumlah turisnya luar biasa banyak—kalau terlalu lama, makan siang pun bisa tidak keburu.
Kami mempercepat langkah, menaiki jalan berbatu yang mengarah ke kuil.
Bangunan pertama yang langsung mencuri perhatian adalah sebuah struktur besar berwarna merah terang.
Di pintu masuknya berdiri dua patung penjaga Kongorikishi yang menjulang—Gerbang Niomon.
"Kalau dilihat langsung jauh lebih mengesankan."
"Ya......Di foto buku pelajaran kelihatannya tidak sebesar ini."
Aku dan Aoi-san sama-sama bergumam kagum.
Mungkin terlihat lebih besar karena kami memandangnya dari kaki tangga.
Sementara kami masih terpaku melihatnya, Izumi sudah lebih dulu bergaya di depan patung sambil memotret.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Dipimpin olehnya, kami melanjutkan perjalanan—melewati Gerbang Barat, pagoda tiga tingkat, menara lonceng, Aula Sutra, Aula Tamura, dan Aula Asakura—setiap bangunan bersejarah membuat kami semakin terpukau.
Tak lama kemudian, kami sampai di panggung utama yang terkenal dari Kuil Kiyomizu—Kiyomizu no Butai.
"Oooohhh......"
Kami berempat mengembuskan napas takjub bersamaan.
Pemandangan di depan mata kami benar-benar menakjubkan.
Dari panggung yang menjorok ke tebing itu, terbentang lautan hijau yang luas.
Di kejauhan, garis kota Kyoto memanjang hingga menyentuh cakrawala.
Daun-daun mulai berubah warna, menandai awal musim gugur.
Dua atau tiga minggu lagi, seluruh pepohonan akan berpijar merah dan keemasan.
Di musim puncaknya, lebih dari seribu pohon maple akan mengubah panorama menjadi hamparan warna api yang memukau.
Saat malam, sekitar lima ratus lampu akan menerangi area itu, menciptakan pemandangan magis yang berbeda dari siang hari.
Atau setidaknya, begitu kata buku panduan wisata.
Setiap musim, Kuil Kiyomizu menawarkan pesonanya sendiri.
"Ini saja sudah indah......tapi pasti lebih luar biasa saat dedaunan musim gugur sedang pada puncaknya."
"Ya......Kita harus balik ke sini lagi suatu hari nanti. Berdua."
"Ya. Ayo."
Bisa membicarakan masa depan seperti ini—adalah salah satu kebahagiaan kecil dalam sebuah hubungan.
Saat aku sedang menikmati momen itu—
"Yuuki-chan, hati-hati! Jangan terlalu condong ke depan!"
"Berhenti manggil aku begitu, bahkan di sini!"
Suara yang familiar.
Pertengkaran yang familiar.
"Apa bedanya? Kamu tetap Yuuki-chan, di mana pun kita berada."
"Memang tidak salah, tapi—tunggu, itu bukan poinnya!"
Aku menoleh dan menghela napas.
Dan tentu saja—di sana mereka, Yuuki dan Natsumiya, ribut seperti biasa.
Sambil geleng-geleng kepala, aku menghampiri mereka.
"Hei, kalian berdua. Bisa tidak menunda rutinitas pasangan suami-isterinya nanti dulu?"
"Tunggu, siapa yang suami–siapa—eh, Akira dan......pacarnya Akira!?"
Begitu Yuuki berteriak kaget, Natsumiya langsung menjepit pipinya.
"Aduuuh! Kenapa kamu—!?"
“Itu bukan cara bicara yang benar pada perempuan yang baru kamu temui. Hati-hati sedikit!”
Menegurnya seperti seorang ibu, Natsumiya tidak melepaskan cubitannya sampai Yuuki berhenti meronta.
Setelah memastikan “anaknya” diam, dia berbalik ke arah Aoi-san dan menunduk dalam-dalam.
“Maaf! Yuuki-chan kami memang agak......kurang peka kadang-kadang.”
Yuuki-chan kami, huh.
Lupakan jadi seperti ibu—dia memang sudah menjadi ibunya pada titik ini.
“Tidak apa-apa, jangan khawatir,” jawab Aoi-san dengan lembut.
Melihat betapa akrabnya aku dengan mereka berdua, Aoi-san sepertinya sudah menyadari bahwa mereka adalah teman sekelasku. Dia lalu melirikku sejenak, seolah menanyakan apakah dia perlu berkenalan secara resmi.
Jujur saja, aku memang sudah memperkirakan kemungkinan bertemu mereka di suatu tempat......tapi aku tidak menyangka akan secepat ini.
“Baiklah, aku kenalkan semuanya dulu.”
Berdiri di antara kedua kelompok itu, aku memulai perkenalan.
“Dua orang ini teman sekelasku dari sekolah baru—Tabei Yuuki dan Natsumiya Rika. Kami satu kelompok untuk karyawisata. Mereka juga yang membantu menutupi keberadaanku agar aku bisa kabur sebentar dan bertemu kalian.”
“Senang bertemu! Aku Natsumiya Rika!”
“Tabei Yuuki.”
Setelah itu, aku berbalik memperkenalkan kelompok yang satu lagi.
“Dan ini teman-temanku dari sekolah lama—Sazarashi Eiji dan Asamiya Izumi. Dan tentu saja......meski kalian pasti sudah menebaknya, ini pacarku, Soutome Aoi.”
“Asamiya Izumi! Makasih sudah selalu mengurus Akira-kun kami!”
Izumi yang pertama maju, penuh energi seperti biasa.
Dalam situasi seperti ini, kemampuan sosialnya yang tinggi benar-benar sangat membantu.
Meskipun begitu......cara dia menyebutku Akira-kun kami membuatnya terdengar seperti ibuku sendiri.
Dia mungkin sengaja menyesuaikan gaya bicaranya dengan Natsumiya agar suasananya cair, tapi tetap saja......
Setelahnya, giliran Eiji dan Aoi-san yang memberi salam dengan sopan.
“Aku sudah sering mendengar tentang kalian dari Akira-kun. Senang akhirnya bisa bertemu langsung.”
“Kami juga! Rasanya lega mengetahui Akira-kun punya teman-teman baik di sekolah barunya.”
Sambil Izumi dan Natsumiya menjaga alur percakapan tetap lancar, aku menoleh ke Yuuki—dan langsung merasa ada yang aneh.
“Yuuki, hanya kalian berdua? Yang lain mana?”
Dengan kerumunan seramai ini, kupikir mereka hanya terpisah karena terseret arus.
“Ya, soal itu......tadi mereka masih ada, terus tiba-tiba hilang.”
“......Ah. Jadi begitu.”
Yuuki mengernyit bingung, tapi alasannya sangat jelas.
Mereka tidak menghilang.
Mereka sengaja meninggalkan Yuuki dan Natsumiya berdua.
Itu cara mereka berkata, ‘Ayo cepat jadian kalian berdua.’
Aku sangat familiar dengan taktik itu.
Sekitar waktu yang sama tahun lalu, saat festival sekolah, teman-temanku juga melakukan hal yang sama padaku dan Aoi-san. Waktu itu aku cuma merasa kesal, tapi sekarang setelah berada di posisi berlawanan, aku sedikit mengerti maksud mereka.
“Hey, Akira. Bisa bicara sebentar?”
“Hm? Kenapa?”
Menunggu sampai Natsumiya benar-benar tenggelam dalam percakapan dengan Aoi-san, Yuuki melangkah mendekat dan berbisik.
“Tolong aku. Serius.”
“Tolong? Soal apa?”
“Berduaan dengan Rika begini......canggung sekali.”
“Padahal kalian sudah di tahap yang seharusnya tidak canggung lagi.”
“A-Aku tahu itu! Tapi, mentalku belum siap!”
Ya, aku sudah menebak.
Meskipun teman sekelompok mereka punya niat baik, sangat wajar kalau Yuuki malah panik setelah tiba-tiba ditinggalkan sendirian dengan Natsumiya.
Dan pada titik ini......bahkan ia pasti sadar apa yang sedang teman-temannya coba lakukan.
Dan mengingat betapa seringnya ia memikirkan Natsumiya belakangan ini, masuk akal kalau ia jadi super sadar diri sekarang.
“Yah......ini agak rumit.”
Di satu sisi, jelas Yuuki sedang menderita.
Tapi di sisi lain, teman-teman sekelompoknya melakukan ini karena ada maksud.
Kalau aku turun tangan terlalu cepat, usaha mereka jadi sia-sia.
Tapi kalau aku membiarkannya begitu saja, keadaan antara mereka bisa makin canggung.
Aku benar-benar ada di posisi serba salah—sampai akhirnya—
“Akira-kun!”
Aku menoleh ketika sebuah suara tiba-tiba memanggil.
Izumi berdiri di belakangku dengan senyum tahu segalanya yang begitu khas dirinya.
“Bagaimana kalau kita semua jalan bareng aja?”
“Maksudnya......berlima?”
“Sejak kapan kau menguping percakapan kami?”
“Aku tidak menguping! Tapi aku tahu aja~♪”
“…”
“…”
Aku dan Yuuki saling memandang, sama-sama kehabisan kata.
Intuisi Izumi memang menakutkan.
Kemampuannya membaca drama-romansa sudah tajam dari dulu, tapi bisa langsung memahami situasi hanya dari sekilas melihat kami?
Itu bukan intuisi lagi—itu ESP.
“Kalau aku oke saja, tapi kalian tidak apa-apa?”
“Temannya teman juga teman! Tidak masalah sama sekali~♪”
Izumi cepat-cepat memastikan pada Eiji dan Aoi-san.
Keduanya mengangguk tanpa sedikit pun keraguan.
“Terima kasih, semuanya.”
Dengan begitu, aku bisa membantu Yuuki......tanpa merasa bersalah pada siapa pun.
"Kalau begitu, kalau kalian berdua tidak keberatan—"
"Terima kasih banyak semuanya!!"
Bahkan sebelum aku selesai bicara, Yuuki hampir berteriak penuh rasa syukur.
Dipenuhi emosi, ia langsung meraih tangan Izumi—
"Senang bisa membantu!"
"......Hah?"
Namun tangan yang ia genggam bukan milik Izumi—melainkan milik Eiji, yang menyambutnya dengan senyum tenang seolah itu hal paling wajar di dunia.
Yuuki berkedip kosong beberapa kali sebelum akhirnya menyadari.
"......Tunggu. Kalian berdua pacaran!?"
"Ya," aku mengonfirmasi. "Jadi mungkin jangan pegang tangan pacarnya orang lain."
"......Baik. Maaf."
Eiji tidak mengatakan apa pun secara langsung, tapi aura ‘tidak akan kubiarkan, kawan’-nya sangat jelas.
Yuuki pun segera melepas genggamannya.
"Kalau begitu, ayo jalan~!"
Tanpa sedikit pun terbebani oleh kejadian barusan, Izumi langsung mengambil alih sebagai leader.
Dengan kemampuan sosial alaminya, dia memandu kami melewati kawasan Kuil Kiyomizu seperti seorang tour guide yang sudah berpengalaman.
Sambil berjalan, aku memperlambat langkah dan menoleh ke Natsumiya.
"Maaf ya kalau kami jadi mengganggu."
"Tidak kok. Jujur saja...... aku juga ikut terselamatkan."
Dia tertawa kecil, seolah pasrah pada keadaan.
Dari ekspresi itu saja, aku sudah paham semuanya.
"Masih banyak waktu di perjalanan ini. tidak perlu terburu-buru."
"......Ya. Terima kasih."
Da tersenyum, lalu kami menyusul yang lain.
Bagaimanapun juga, perjalanan sekolah kami baru saja dimulai.
Dan bagi Yuuki maupun Natsumiya—semua ini baru permulaan.
*

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 2.2"