Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 1.2
Bab 1 - Ya, Ayo Pergi ke Kyoto
Keesokan harinya, saat jam istirahat makan siang—
“Hei, aku butuh bantuan. Ada waktu sebentar?”
Saat itu aku sedang makan siang di atap sekolah.
“Bantuan? Jarang sekali kau minta hal begitu. Oke, serahkan saja padaku.”
Yang menjawab dengan percaya diri—meski belum tahu apa pun yang akan kuminta—adalah teman sekelasku, Tabei Yuuki.
Waktu aku pertama kali pindah ke sekolah ini di awal semester dan belum tahu apa-apa, ialah orang pertama yang mengajakku bicara. Sejak itu, ia sering membantuku, dan lama-kelamaan kami jadi akrab secara alami.
Ia berisik dan selalu penuh energi, tapi sebenarnya ia tipe kakak yang bisa diandalkan, seseorang yang senang mengurus orang lain.
Sejujurnya, tanpanya, mungkin aku tidak akan bisa menyesuaikan diri secepat ini.
“Aku menghargai semangatmu, tapi dengarkan dulu permintaanku.”
“Baiklah, baiklah. Ayo, katakan.”
“Jadi......aku punya pacar.”
“KAU PUNYA PACAR—?!”
Yuuki bereaksi seakan aku baru saja menginjak ranjau darat.
Suaranya meledak di seluruh atap, sampai aku refleks meringis.
“Kau punya pacar?!”
“Ya. Kami sudah pacaran sejak beberapa waktu lalu.”
“Kapan itu terjadi?!”
Ekspresinya campuran antara kaget, dikhianati, dan iri—seolah ia ingin berteriak, "Kau diam-diam dapat pacar tanpa aku tahu?!"
Atau tidak perlu ia katakan pun, wajahnya sudah cukup menyampaikan semuanya.
“Siapa dia? Di mana kau bertemu dia?”
“Dia teman sekelasku di sekolah lama. Kami mulai pacaran waktu aku berkunjung ke sana saat liburan musim panas. Maksudku, aku pernah bilang kan, kalau ada gadis yang dekat denganku dan aku akan menemuinya waktu liburan?”
“Ya, aku ingat. Tapi kau tidak pernah bilang kalau kalian mulai pacaran!”
“Oh......sepertinya aku lupa menyebut bagian itu. Maaf.”
Aku merasa pernah mengatakannya, tapi setelah kupikir lagi......mungkin memang belum.
Memang, aku sempat merasa sedikit bersalah......tapi tetap saja—ia benar-benar perlu menenangkan diri.
Tangan Yuuki yang memegang roti yakisobanya bergetar hebat karena terlalu syok, sampai-sampai serpihan mi beterbangan ke mana-mana, berserakan di lantai atap.
Seekor burung gereja di dekat kami menatap kekacauan itu penuh selera, seolah menunggu waktu yang tepat.
Terus terang, aku tidak keberatan kalau ia mau membantu membersihkan—itu berarti pekerjaan kami berkurang.
“Dasar......aku iri banget. Oke, cerita semuanya.”
Setelah ledakan emosinya tadi, Yuuki akhirnya merosot bahunya, tampak benar-benar kalah.
Perubahan mood-nya begitu ekstrem sampai aku merasa seperti kena whiplash.
“Ayolah, Yuuki. Kalau kau mau berusaha sedikit saja, kau juga bisa punya pacar, tahu.”
“Tch......Bukan itu masalahnya. Dia cuma teman masa kecil—tidak lebih.”
Yuuki menjawab dengan gumaman, mengalihkan pandangannya dengan canggung, wajahnya agak memerah.
“Berapa kali aku dengar alasan itu, ya?”
“Ugh......”
“Itu namanya......bilang sesuatu yang bahkan kau sendiri tidak yakin kebenarannya.”
“Ughhh......”
Dia tahu aku benar, tapi jelas tidak punya bantahan.
“H-Hei, bukannya kita harus bahas kondisimu, bukan aku!?”
Tergesa-gesa dan jelas panik, Yuuki mencoba mengganti topik.
Aku sebenarnya bisa menekannya lebih jauh—sejujurnya, aku ingin—tapi kalau aku terlalu larut dalam itu, kami tidak akan pernah masuk ke topik utama. Jadi untuk sekarang, aku lepaskan dulu.
“Jadi, permintaan tolongmu ini......ada hubungannya dengan pacarmu?”
“Ya, benar.”
Aku mengangguk kecil sebelum melanjutkan.
“Ternyata, perjalanan sekolah pacarku punya tujuan yang sama persis, jadwal yang sama, bahkan hari kegiatan bebasnya sama juga dengan perjalanan kita. Memang agak nekat sih, tapi aku berharap bisa kabur sebentar hari itu dan bertemu dengannya di Kyoto.”
“Begitu. Jadi kau butuh aku, sebagai teman satu kelompokmu, untuk bantu menutupinya?”
“Tepat sekali. Cepat nangkapnya, terima kasih.”
Kemampuan Yuuki membaca suasana dan menangkap maksud tersirat membuatku teringat pada sahabatku, Eiji.
Dari segi penampilan maupun kepribadian, keduanya sama sekali tidak mirip, tapi dalam hal berpikir cepat seperti ini......mereka mengejutkan mirip. Mungkin karena itulah aku bisa akrab dengan Yuuki begitu cepat.
Meski begitu, walaupun Yuuki hebat dalam memahami orang lain, ia benar-benar buruk dalam mengenali perasaannya sendiri.
Tidak......sebenarnya bukan begitu. Ia mengerti perasaannya—ia hanya menolak untuk jujur pada dirinya sendiri.
Tidak berbeda jauh dariku, sih.
“Oke. Serahkan padaku.”
Tanpa ragu sedikit pun, Yuuki mengangguk mantap.
Kalau dipikir-pikir, ia bahkan lebih cepat membuat keputusan dibanding Eiji.
“Tapi......aku punya satu syarat.”
“Syarat?”
Aku penasaran apa yang akan ia minta, tapi......
“Tunjukan foto pacarmu.”
Dia mencondongkan tubuh ke depan, memancarkan aura ‘tidak ada pilihan lain selain nurut’.
“Uh… yah…”
“Kenapa? Tidak mau?”
Aku ragu sejenak—bukan karena malu, dan bukan karena aku tidak mau memamerkan Aoi-san.
Aoi-san itu cantik—secara objektif, bahkan tanpa biasku sebagai pacarnya.
Kalau dipikir-pikir, aku justru ingin membanggakannya.
Tapi aku sedikit khawatir kalau melihat fotonya hanya akan semakin menghancurkan mental Yuuki.
......Tapi ya sudahlah. Kalau ia minta, aku tunjukkan saja.
“Nih.”
Aku membuka foto favoritku di ponsel lalu menyerahkannya padanya.
Itu foto dari liburan musim panas—Aoi-san dalam yukata, dengan lembut memperlihatkan lekuk tengkuknya.
“—Guhah!?”
Begitu Yuuki melihat layar ponselku, ia bereaksi seolah ditembak tepat di jantung lalu terjatuh ke belakang.
Tidak bergerak. Sama sekali.
Untuk beberapa detik, ia tampak seperti benar-benar telah berpulang ke alam baka.
Sementara itu, burung-burung gereja yang sejak tadi mengintai mulai mematuki roti yakisoba yang terjatuh dari tangannya.
Pemandangannya benar-benar seperti adegan dari film Ghibli.
Aku hanya menonton dalam diam selama beberapa menit, sampai akhirnya—
“Mana mungkin ada orang secantik itu!?”
Yuuki tiba-tiba bangkit, seperti baru dihidupkan kembali secara dramatis.
Burung-burung gereja itu langsung beterbangan panik, mengepakkan sayap mereka.
Dalam hati, aku mengucapkan terima kasih: Terima kasih sudah bantu membereskan sisa makanan.
“Yah......makasih atas pujiannya.”
Jawabanku singkat, tapi rasa bangga jelas terdengar di suaraku.
“Tapi serius deh, kau orangnya baik. Jadi tidak heran kalau bisa dapat pacar secantik itu......”
Yuuki mengatakannya begitu saja, ringan, bahkan sambil melempar pujian padaku juga.
Padahal kalau ia mau mengarahkan sedikit saja pesonanya itu ke gadis, ia pasti akan sangat populer.
Itu bukan pujian kosong—Yuuki itu jujur, bisa diandalkan, dan punya sifat lugas yang sulit tidak disukai.
Bahkan, aku tahu ada beberapa gadis yang menyukainya karena hal itu.
“Yuuki, kau juga orang baik. Kalau kau mau usaha sedikit, kapan pun kau bisa punya pacar.”
“......Hah, hari ini kau dermawan sekali dengan pujian.”
Kalau aku menekan lebih jauh, ia mungkin akan kesal, jadi aku memutuskan untuk berhenti di situ.
Bagaimanapun—
“Jam perwalian hari ini untuk membahas perjalanan sekolah, kan?”
“Ya. Kenapa?”
“Sebelum dibicarakan ke kelompok nanti, aku mau bahas denganmu dulu.”
“Aku akan bantu, tapi yang harus menjelaskan tetap kau. Kalau kau mau kabur untuk ketemu pacarmu, seluruh kelompok harus tahu biar bisa bantu.”
“Makasih. Tapi......kau yakin?”
“Yakin soal apa?”
Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, tapi tetap kutanyakan untuk memastikan.
“Kalau kita ketahuan, yang kena masalah bukan hanya aku.”
“Kalau itu terjadi, kita tinggal bilang kalau aku dan kau yang merencanakan semuanya, dan biar kita saja yang disalahkan. Dimarahi guru karena bertingkah nekat waktu masih muda—itu bagian dari masa remaja, kan? Toh mereka tidak akan sampai mengeluarkan kita.”
Yuuki menyeringai nakal, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.
Seriusan......ia benar-benar orang baik, hanya dengan cara yang berbeda dari Eiji.
Dan tepat saat aku memikirkan itu—
“Maaf sudah membuatmu menunggu~!”
Suara ceria terdengar, dan aku menoleh untuk melihat seorang gadis berlari kecil menghampiri kami.
Rambutnya yang sebahu bergoyang ringan saat dia tersenyum, parasnya penuh kehangatan.
“Bagaimana? Urusan dengan guru sudah selesai?”
“Ya, aku hanya diminta bantu di salah satu kelas siang nanti.”
“Oh begitu. Kalau ada barang berat yang harus dibawa, katakan saja—aku bantu.”
“Makasih! Nanti kalau butuh, aku panggil.”
Namanya Natsumiya Rika—ketua kelas kami sekaligus teman masa kecilnya Yuuki.
Dengan wajah imut dan senyum cerah yang gampang disukai, dia memberikan kesan seperti hewan kecil yang penuh energi.
Seluruh kelas menyayanginya, memperlakukannya seperti maskot.
Dia dan Yuuki sudah jadi tetangga sejak lahir, tumbuh bersama layaknya keluarga sendiri.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Aku tidak perlu menjelaskan—ini persis seperti yang kami bicarakan tadi.
“Aku lapar~!”
Natsumiya-san duduk di samping Yuuki lalu membuka bekal makan siangnya.
Dia selalu menyiapkan bekalnya sendiri, dan makanan hari ini terlihat sama lezatnya seperti biasanya.
“Yuuki-chan, roti yakisoba dari kantin lagi?”
“......Ada masalah dengan itu?”
“Roti yakisoba memang enak, aku juga suka, tapi makan hal yang sama setiap hari itu tidak baik, lho. Nih, aku kasih laukku sedikit. Aaa~.”
Dengan senyum hangat, Natsumiya-san menyodorkan sosis ke mulut Yuuki.
“Tidak perlu. Dan berhenti panggil aku Yuuki-chan.”
“Aku sudah manggil kamu begitu dari dulu sekali, tahu. Mustahil aku bisa berhenti sekarang.”
“Mmmph—!”
Tanpa ragu sedikit pun, Natsumiya-san langsung menyodorkan sosis itu ke mulut Yuuki.
“Tuh kan? Enak, kan?”
“......Ya, enak.”
“Nih, minum teh hangat juga.”
“......Makasih.”
Aku sebenarnya sudah menjelaskan hubungan mereka, tapi melihatnya langsung seperti ini jauh lebih jelas daripada penjelasan panjang apa pun.
Alasan mereka selalu makan siang di atap dan bukan di kelas?
Karena meskipun Yuuki dikenal sebagai orang yang selalu menjaga semua orang, kalau urusannya dengan Natsumiya-san, justru ia yang dimanja.
Dan tampaknya, ia tidak mau ada yang melihat itu.
Melihat interaksi mereka seperti biasa, aku tidak bisa menahan pikiran—
Kenapa mereka belum jadian juga?
Dilihat dari sudut mana pun, mereka sudah seperti pasangan.
Bahkan, dinamika mereka lebih mirip pasangan suami-istri yang sedang menikmati teh sore di beranda rumah.
Ngomong-ngomong, alasan Natsumiya-san masih memanggilnya “Yuuki-chan” bukan cuma karena kebiasaan masa kecil—dia juga menganggap nama itu terdengar imut untuk seorang cowok.
Dan bukan cuma aku yang merasa mereka harusnya sudah pacaran sejak lama—seluruh kelas berpikiran sama.
Tapi, rupanya hubungan pertemanan sejak kecil tidak sesederhana itu.
“Jadi, kalian tadi ngobrol apa sebelum aku datang?”
“Nih denger—Akira sekarang punya pacar.”
“Punya pacar?”
Natsumiya-san memiringkan kepala, tampak penasaran.
Tapi reaksinya bukan karena terkejut aku punya pacar.
“Tunggu, Yuuki-chan, kamu tidak tahu?”
“Hah…?”
“Aku sudah tahu dari dulu, lho.”
“......Apa!?”
Yuuki menoleh padaku dengan tatapan “Kenapa dia tahu duluan daripada aku!?”
Jadi ya, Natsumiya-san bukan terkejut karena aku punya pacar—dia terkejut karena satu-satunya orang yang tidak tahu adalah Yuuki.
“Aku sebenarnya tidak pernah cerita langsung ke dia.”
“Terus dia tahu dari mana?”
“Yah......setelah liburan musim panas, Akira-kun kelihatan terlalu bahagia, jadi aku tanya. Dan ia jawab.”
“......Hanya itu saja?”
Aku tidak menyadari kalau ekspresiku sedemikian jelas, tapi sepertinya perempuan memang punya radar khusus soal hal-hal begitu.
Meskipun begitu, kalau dia menyebutnya dengan aku tanya lalu ia jawab, aku punya beberapa keberatan.
Versi yang lebih akurat:
Aku dipojokkan di kelas, diinterogasi selama berjam-jam, dan ditembak dengan senyuman tak kenal ampun.
Natsumiya-san sangat suka topik percintaan. Aku sudah mencoba pura-pura tidak tahu, tapi dia menatapku seperti detektif yang mencium bau kasus, tidak membiarkanku pergi sampai semua detail tuntas dibongkar.
Pada akhirnya, dia pergi dengan wajah puas, sementara aku kehabisan tenaga di kursiku.
“......Turut berduka.”
“Kenyataan bahwa kamu langsung paham, itu satu-satunya penghiburanku.”
Aku tidak perlu menjelaskan pun, Yuuki langsung mengerti.
“Jadi, soal pacarnya Akira-kun itu?”
“Yah......”
Kenangan “interogasi” itu kembali muncul, membuatku sedikit ragu.
“Kau harus cerita ke Natsumiya juga, soalnya dia satu kelompok sama kita.”
“Ya, benar juga.”
Akhirnya, aku menjelaskan semuanya pada Natsumiya-san juga.
“Kalau begitu, aku akan bantu sebisaku!”
Dia menjawab dengan senyum cerah khasnya.
“Kalau begitu, aku balik duluan.”
“Yuuki-chan, kamu sudah mau pergi?”
“Ya. Santai saja, habiskan dulu makan siangmu.”
Dengan itu, Yuuki cepat-cepat pergi.
Natsumiya-san memandangi punggungnya yang menjauh, tampak sedikit murung.
“......Aku jadi kepikiran, apa ia sudah tidak suka makan siang bareng aku lagi.”
Dia menunduk menatap bekal makanannya, suaranya mengecil.
Rasa sedih itu terlihat jelas dari cara bahunya sedikit merosot.
“Bukan begitu. Kalau ia tidak suka denganmu, ia tidak akan makan siang bareng kamu tiap hari. Hari ini......maaf, aku sempat menggodanya tadi, jadi sepertinya ia cuma malu aja.”
“Benarkah?”
“Ya. Tidak perlu khawatir.”
“......Syukurlah.”
Natsumiya menghela napas kecil, lalu tersenyum lega.
Aku tidak perlu mengatakannya secara langsung—siapa saja bisa melihat kalau dia menyukai Yuuki.
Rangkaian pertanyaannya tentang Aoi-san waktu itu bukan sekadar rasa ingin tahu biasa—dia sedang mencari wawasan, berharap bisa belajar sesuatu dari pengalamanku.
Dan dengan caranya sendiri, dia sedang meminta dukunganku.
Sejak saat itu, aku diam-diam memberi nasihat padanya.
“Yuuki juga menyukaimu. Ia hanya perlu jujur pada dirinya sendiri.”
“Akira-kun selalu bilang begitu, tapi......apak kamu yakin?”
“Ya. Tanpa ragu. Kalau ia tidak peduli, ia tidak akan kabur begitu.”
Malah sebenarnya, situasi saat ini adalah tanda kemajuan.
Dulu, Yuuki melihatnya benar-benar hanya sebagai teman masa kecil—bahkan bukan sebagai seorang perempuan.
Memang, Natsumiya-san mungkin merasa frustrasi karena ia sekarang agak menjaga jarak.
Tapi dibandingkan sama sekali tidak dilihat sebagai sosok romantis, ini jelas selangkah lebih maju.
Hal terburuk yang bisa terjadi adalah kalau Yuuki selamanya tidak melihatnya sebagai seorang perempuan.
“Yang kalian butuhkan hanya momen yang tepat.”
“Momen… ya.”
Natsumiya-san menghela napas pelan, menatap langit.
“Kalau sudah bersama dari dulu, momen-momen seperti itu......rasanya tidak pernah muncul.”
“Ya, aku mengerti.”
Mengubah hubungan yang sudah bertahun-tahun tetap pada tempatnya memang sulit.
Untuk sebagian orang, hubungan yang tak berubah itu menenangkan—tanda kestabilan.
Tapi begitu seseorang mulai menginginkan lebih, kestabilan itu berubah menjadi penghalang.
Manusia memang takut pada perubahan.
“Kalau nanti momennya datang, kamu akan menyatakan perasaanmu?”
“Ya. Kurasa kalau hanya menunggu terus, aku tidak akan maju ke mana-mana.”
Di matanya ada tekad yang kuat—namun rapuh.
Tatapan seorang gadis yang jatuh cinta.
“Mungkin......perjalanan sekolah nanti bisa jadi momen itu.”
“Ya. Semoga kita bisa sama-sama berusaha.”
“Mm! Makasih, Akira-kun.”
Natsumiya-san tersenyum cerah sebelum kembali ke bekalnya.
Kalau dipikir-pikir, belum lama ini aku pun terlihat sama ragu-ragunya di depan Eiji dan Izumi.
Sekarang, giliranku untuk mendukung orang lain.
Begitu istirahat makan siang berakhir, kami masuk sesi perwalian untuk jam keenam.
Seperti yang kulakukan pada Yuuki dan Natsumiya-san, aku menjelaskan situasinya ke teman-teman sekelompok yang lain.
Untungnya, tidak ada yang keberatan—semua sepakat untuk membantuku.
......Lalu, masalah pun muncul.
“Kalau kita mau membantumu, liat foto pacarmu.”
Sama seperti waktu Yuuki minta lihat dulu, aku tidak keberatan.
Jadi, tanpa pikir panjang, aku menyerahkan ponselku.
Seperti yang kuduga, begitu foto itu muncul di layar, para cowok langsung merosot lemas, wajah mereka penuh keputusasaan.
Sekali lagi aku diingatkan—Aoi-san memang cantik.
Dan itu bukan hanya karena aku pacarnya.
Tapi yang paling penting, sepertinya aku bisa kabur saat kegiatan bebas di hari kedua tanpa masalah.
Sekarang, yang tersisa hanyalah menunggu jawaban dari Aoi-san.
Aku hampir tak sabar ingin tahu apa yang akan dia katakan.
*

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 1.2"