Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 1.1
Bab 1 - Ya, Ayo Pergi ke Kyoto
Suatu malam Minggu.
"Terima kasih sudah bekerja keras hari ini sampai larut."
"Terima kasih."
Aku sedang berada di kamarku, berbicara lewat telepon dengan Aoi-san, yang baru saja selesai dari pekerjaan paruh waktunya.
"Maaf membuatmu harus tetap meneleponku setiap kali aku pulang."
"Hei, jangan terlalu dipikirkan. Aku sendiri yang menyarankannya, kan?"
Itu adalah janji yang kami buat saat musim panas, ketika aku pergi menemuinya.
Dalam perjalanan dari stasiun terdekat menuju rumahnya, aku menyadari betapa gelapnya jalanan karena minimnya lampu jalan.
Khawatir dia pulang sendirian di malam hari, aku menyarankan agar dia meneleponku setiap kali pulang kerja larut.
Dengan begitu, meski kami berjauhan, aku setidaknya bisa melakukan sesuatu kalau terjadi apa-apa.
Sejak itu, kebiasaan itu terus berlanjut—setiap kali dia pulang malam dari kerja, kami akan tetap terhubung lewat telepon sampai dia tiba di rumah.
"Aku senang kamu mengkhawatirkanku, tapi rasanya tetap tidak enak kalau setiap hari begini......"
"Benar-benar tidak perlu dipikirkan. Lagi pula, aku juga suka mendengar suaramu."
"Akira-kun…"
"Kamu tidak perlu merasa tidak enak atau bersalah. Di saat seperti ini, cukup bilang 'terima kasih' saja sudah lebih dari cukup. Karena aku juga sama—aku senang kamu meneleponku."
"......Ya, kamu benar. Terima kasih."
Belum lama ini, aku pasti akan terlalu malu untuk mengucapkan hal-hal seperti itu secara langsung.
Tapi sejak kami mulai berpacaran, aku jadi bisa mengungkapkan perasaanku lebih jujur.
Manusia tidak otomatis saling memahami—komunikasi itu penting. Dan karena aku adalah pacar Aoi-san, mungkin mengucapkan hal-hal memalukan sesekali sudah bagian dari peranku.
Meski jujur saja, aku masih sering meringkuk menahan malu di balik ponselku lebih sering dari yang ingin kuakui.
"Ngomong-ngomong, belakangan ini kamu ambil shift kerja lebih banyak, ya?"
"Ya. Bulan ini, aku minta agar mereka menjadwalkanku lebih sering."
Jadi bukan hanya perasaanku saja.
Aku memang memperhatikan kalau frekuensi telepon kami belakangan semakin sering, dan hari ini pun dia bekerja sejak pagi.
Bahkan saat kami tinggal bersama dulu, dia jarang bekerja dari buka sampai tutup seperti ini.
"Kamu sedang menabung untuk sesuatu?"
"Sebenarnya—"
Nada suaranya tiba-tiba menjadi lebih ceria.
"Aku sedang menabung uang jajan untuk karyawisata sekolah akhir bulan depan."
"Karyawisata?"
Tanpa sengaja, pembicaraan kami beralih ke salah satu acara terbesar di masa SMA.
Kalau dipikir-pikir, memang ini waktu di mana banyak sekolah mengadakan karyawisata.
Bukan hanya sekolah Aoi-san—sekolah baruku setelah pindah pun menjadwalkannya pada akhir bulan depan.
"Ayah dan nenekku sebenarnya menawarkan untuk menanggung biayanya, tapi karena nanti aku mungkin butuh bantuan mereka kalau masuk kuliah, jadi kupikir uang jajannya sebaiknya pakai uangku sendiri."
"Kamu benar-benar bertanggung jawab, Aoi-san."
Aku mengatakannya dengan tulus, dan saat kata-kata itu keluar dari mulutku, aku kembali mengingat seberapa besar perubahan dirinya yang kulihat saat musim panas kemarin.
"Tidak juga. Aku hanya benar-benar tidak sabar menunggu perjalanan itu. Aku tahu nanti aku akan beli banyak oleh-oleh dan pasti sedikit buang-buang uang juga. Kalau itu uang yang aku hasilkan sendiri, aku bisa pakai tanpa rasa bersalah."
Jarang sekali Aoi-san berbicara seperti itu.
Membuatku bertanya-tanya, sebenarnya dia akan pergi ke mana sampai begitu bersemangat.
"Jadi, karyawisatamu akhir bulan depan, ya?"
"Akira-kun, sekolahmu juga sekitar waktu itu, kan?"
"Ya......"
Sejenak, hening menyelimuti percakapan kami.
Mungkin karena kami berdua sedang memikirkan hal yang sama.
Sebelum aku pindah sekolah, topik seperti ini pasti sudah kami hindari. Tapi sekarang, berkat dukungan semua orang, aku bisa melihat kepindahanku dari sisi yang lebih positif.
"Kalau aku tidak pindah sekolah, kita bisa pergi karyawisata bareng."
"Ya. Aku tahu tidak bisa dihindari, tapi aku benar-benar berharap kita bisa."
Alih-alih menghindarinya, sekarang kami bisa membicarakan hal seperti ini secara terbuka.
Bukan hanya berbagi momen bahagia—bisa berbagi penyesalan dan kekecewaan seperti ini adalah bukti betapa kami telah tumbuh.
"Ngomong-ngomong, sekolahmu akan ke mana untuk karyawisata?"
"Mm......ke Kyoto dan Nara. Empat hari tiga malam."
"Tunggu, serius?"
Saat aku bertanya untuk mengalihkan suasana, dia memberi jawaban yang sama sekali tak kuduga.
"Sekolahku juga ke Kyoto dan Nara selama empat hari tiga malam."
"Benarkah? Jadi tempatnya sama untuk kita berdua."
Aku terkejut, tapi setelah kupikir lagi, itu sebenarnya tidak terlalu aneh.
Memang ada beberapa sekolah swasta yang mengadakan perjalanan mewah ke luar negeri, tapi aku dan Aoi-san sama-sama bersekolah di sekolah negeri biasa. Tujuan wisata domestik yang umum ya… begitu-begitu juga.
Waktu kami karyawisata di SMP saja, kami bertemu siswa dari berbagai daerah di tempat wisata yang sama, dan bahkan menginap di hotel yang sama dengan beberapa sekolah lain.
Jadi, ini bukanlah kebetulan besar—malah cukup wajar.
"Kyoto dan Nara, ya......Aku yakin Izumi pasti sangat bersemangat."
"Ya. Katanya di hari bebas nanti, dia akan melewatkan wisata sejarah dan hanya keliling kedai teh."
"Itu memang Izumi banget......memilih makanan manis daripada sejarah."
Sudah jadi rahasia umum bahwa Izumi menyukai segala hal yang tradisional—teh Jepang, camilan, dan apa pun yang berkesan klasik.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Tentu saja bukan hanya soal makanan; dia juga menikmati kuil, kuil Shinto, dan taman. Tapi karena tempat-tempat itu sudah termasuk dalam jadwal kegiatan kelompok, dia sepertinya sudah puas dengan itu.
Waktu bebasnya pasti akan sepenuhnya dia habiskan untuk berburu jajanan terbaik di Kyoto dan Nara.
"Aku juga sempat mencari tempat yang bagus untuk matcha dan dango. Aku ingin mampir ke kedai teh yang enak."
"Itu masuk akal."
Jadi itu sebabnya dia terdengar begitu bersemangat saat topik karyawisata muncul.
Mungkin, sama seperti Izumi, Aoi-san lebih tertarik pada makanan daripada tempat-tempat wisata.
Dan kalau melihat waktu perjalanannya, memang ini musim yang paling pas untuk menikmati berbagai hidangan khas daerah.
"Matcha, ya......Hiyori minta aku bawa oleh-oleh manisan matcha."
"Kalau aku meneukan tempat yang bagus, nanti aku kasih tahu!"
"Terima kasih. Itu akan sangat membantu."
Daripada aku mencari sendiri, rasanya lebih aman menyerahkan urusan itu pada seseorang yang benar-benar pencinta matcha.
Sejak festival sekolah, Aoi-san jadi penggemar berat matcha. Aku berniat memanfaatkan pengetahuannya sebaik mungkin.
"Jadi, kita sama-sama ke Kyoto dan Nara, ya?"
"Kalau jadwal karyawisatanya sama, mungkin kita bisa ketemu."
Begitu dia mengucapkan itu, percakapan kami mendadak terhenti.
"Kapan tanggal perjalananmu, Akira-kun?"
"Minggu terakhir Oktober, dari Selasa sampai Jumat."
"Hah......?"
Aoi-san mengeluarkan suara kecil yang terdengar seperti terkejut, lalu hening panjang mengikuti setelahnya.
Begitu sunyi sampai aku sempat berpikir teleponnya terputus. Refleks, aku mengecek layar ponselku—ternyata sambungannya masih aktif.
"Aoi-san?"
"Um......sebenarnya, karyawisata sekolahku juga di tanggal yang sama."
"Serius—?!"
Tanpa bisa kutahan, suaraku meninggi karena terkejut.
Tujuan kami sama itu masih wajar, tapi tanggalnya benar-benar persis sama?
Aku bahkan tidak terpikir itu mungkin.
Dan sekarang, aku tidak bisa menahan diri untuk berharap lebih.
"Aoi-san, hari kegiatan bebasmu di hari kedua, kan?"
"Iya, kami punya waktu bebas di Kyoto pada hari kedua."
"Sudah kuduga!"
Kalau jadwal kami sama, berarti hari bebas kami juga pasti bertepatan.
Dan itu hanya berarti satu hal—
"Kira-kira kita bisa ketemuan dan jalan bareng?"
"Hanya kita berdua...?"
Nada suaranya terdengar benar-benar terkejut.
"Kita harus hati-hati agar tidak ketahuan guru, jadi mungkin perlu bantuan teman-teman sekelas untuk menutupinya......tapi kalau kita rencanakan dengan baik, mungkin kita bisa punya sedikit......kencan karyawisata di Kyoto."
Saat aku mengatakannya, aku bisa merasakan semangatku perlahan naik.
Tetap saja, aku berusaha menjaga diri—aku tidak ingin menekan Aoi-san.
Aoi-san adalah ketua kelas, dan kalau sampai ketahuan, masalahnya bisa besar.
Karena itu, aku tidak akan memaksanya. Keputusan sepenuhnya ada padanya.
Tapi semua kekhawatiranku lenyap begitu dia membalas.
"Ya! Aku benar-benar mau jalan sama Akira-kun!"
Dari seberang telepon, antusiasme Aoi-san meledak begitu alami.
Aku memang tak bisa melihat wajahnya, tapi mudah sekali membayangkan dia tersenyum lebar.
"Tadi kamu bilang, ‘Kalau kita satu sekolah, kita bisa pergi karyawisata bareng,’ kan?"
"Iya."
"Setiap kali kami bahas karyawisata di kelas, aku juga selalu kepikiran hal yang sama. Dan waktu aku sadar kamu juga merasakan hal itu, aku senang......Kalau kita bisa ketemu di sana, aku pasti ingin menghabiskan hari itu bersamamu."
Bahkan lewat telepon, aku bisa merasakan jelas perasaannya.
Dan aku tak bisa menahan betapa bahagianya memiliki dia dalam hidupku.
"Besok aku akan bicara dengan kelompokku, lihat apakah mereka bisa bantu."
“Aku juga akan tanya ke kelompokku, tapi kurasa aku akan baik-baik saja.”
“Benarkah?”
“Iya. Umm......”
Untuk alasan tertentu, Aoi-san terdengar ragu. Atau lebih tepatnya......sedikit gelagapan.
“Soalnya......semua orang tahu kalau kita dulu sangat dekat waktu kelas satu, kan?”
“Ya, itu benar.”
“Jadi setelah kamu pindah, mereka tetap sering menanyakan soal kamu. Terus......waktu belakangan ini aku bilang kalau kita mulai pacaran, semua gadis di kelasku langsung ngajak aku karaoke untuk merayakannya......”
“O-ohh......”
Pantas saja dia terdengar malu begitu. Cara dia mengatakannya—begitu polos dan manis—tanpa bisa dicegah membuatku ikut merasa panas di wajah.
“Mereka bilang akan bantu kapan pun kalau aku butuh sesuatu, jadi kurasa aku tidak akan kesulitan.”
“Itu......menenangkan, sih. Tapi juga agak memalukan......”
“Iya......agak memalukan juga.”
Ngobrol soal hubungan kami sudah terasa natural sekarang, tapi kalau sampai jadi bahan godaan......itu cerita lain. Tapi ya, kalau dipikir-pikir, itu cuma menunjukkan kalau Aoi-san punya banyak teman dekat yang bisa dia ajak bicara soal hal-hal seperti ini. Sedikit rasa malu rasanya bukan harga yang terlalu besar.
“Kalau begitu, kita bicarakan dulu semuanya ke teman-teman, baru setelah itu kita rencanakan detailnya.”
“Ya, setuju.”
Setelah itu, kami terus mengobrol sampai Aoi-san tiba di rumah.
Gagasan bahwa kami benar-benar bisa bertemu di Kyoto nanti, saat karyawisata sekolah—
Belum pasti juga, tapi hanya membayangkannya saja sudah cukup untuk membuatku berdebar.
*

Post a Comment for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J6 Bab 1.1"