Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 6.1
Bab Terakhir - Di Ujung Masa Muda Yang Terlambat Datang
Warna dunia perlahan-lahan kembali, dan kesadaran yang samar-samar mulai terbangun.
Masa muda yang terlambat---telah berakhir. Aku menyadari hal itu karena aku tahu aku telah dibawa ke ruang yang berbau obat. Apa yang kulihat tadi bukan mimpi. Ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan sebagai mimpi.
Jari-jariku yang kembali merasakan sensasi dapat menggambar lagu yang telah selesai. Aku juga bisa mengingat setiap kata yang diberikan oleh Sayane dengan jelas.
Namun, semuanya telah diakhiri secara paksa. Oleh bom waktu untuk membuang sampah yang telah lama kulupakan.
Ruang perawatan yang dikelilingi oleh banyak tempat tidur dan alat medis. Aku bisa sedikit mendengar percakapan antara dokter dan ibuku yang ada di dekatku. Kemungkinan besar ini adalah Rumah Sakit Umum Harusaki yang kukunjungi beberapa hari yang lalu.
Sepertinya aku masih hidup. Aku terbaring di tempat tidur, tapi aku masih bisa bernapas dan bergerak dengan normal. Meskipun sakit kepala sedikit tersisa, kondisiku tampaknya cukup stabil.
Ini......bukan flu yang parah. Ini tubuhku sendiri. Aku yang paling memahami. Dokter menjelaskan kondisiku dengan tenang, tapi sebagian besar adalah kombinasi kata-kata teknis yang mirip dengan hasil pemeriksaan sebelumnya.
Aku hanya perlu laporan bahwa kondisiku sudah cukup membaik untuk pulang hari ini.
Aku duduk di pinggir tempat tidur dan mengangkat tubuh bagian atas.
"Oi oi......kau baik-baik saja?"
Ibuku, yang mendapat izin dari dokter, segera mendekat dengan wajah khawatir.
"Sudah terasa lebih baik. Maaf membuatmu khawatir."
"Ahh......merawatmu sangat merepotkan. Aku benar-benar panik saat mendengar kau pingsan."
Ibuku yang sepertinya menghembuskan napas lega setelah menenangkan diri, tampaknya langsung datang dari tempat kerjanya, mengingat dia masih mengenakan pakaian kerja. Aku merasa sangat bersalah karena telah merepotkannya dan membuatnya khawatir.
"Ngomong-ngomong, dari siapa ibu mendengar tentang hal ini?"
"Tentu saja dari Sayane-chan. Dia yang memanggil ambulans dan menghubungi tempat kerjaku, jadi kau harus mengucapkan terima kasih nanti."
Begitu ya, jadi aku juga merepotkan anak itu...
"Sayane-chan tadi juga menunggu di ruang tunggu, tapi setelah dijelaskan penyebab pingsanmu, sepertinya dia merasa lega."
"L-Lega? Ibu bilang apa?"
"Kubilang kau mengalami tekanan darah tinggi akibat pola hidup yang tidak teratur dan kurang tidur. Kau kelihatannya cukup sibuk akhir-akhir ini, jadi penjelasan itu cukup masuk akal, kan?"
Tentu saja, itu hanya omong kosong. Itu adalah cara ibuku untuk memastikan Sayane tidak terlalu khawatir.
"Anak itu marah, tahu. Dia bilang, 'Sampaikan pada si bodoh itu untuk tidak membuatku khawatir lagi.'"
Aku bisa dengan mudah membayangkan wajah marahnya. Meskipun benar bahwa kurang tidur karena latihan dengan Emi-nee dan begadang untuk membuat lagu, mengetahui ada orang yang peduli padaku---membuatku sangat bahagia.
Hidupku bukan hanya milikku sendiri.
Selama dua puluh tahun ini, aku telah hidup didukung oleh orang-orang yang penting bagiku.
Bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dihina atau diremehkan sebagai sampah atau pecundang.
Kesadaran ini datang terlambat. Baru sekarang aku menyadarinya......sungguh menyedihkan.
"Lalu......dimana Sayane?"
"Tadi dia pulang ke rumahnya dengan kereta. Dia bilang tidak perlu melihat wajahmu lagi."
Sikap dinginnya itu sangat khas dari Sayane. Aku merasa sangat bersalah karena membuatnya harus menemaniku sampai ke rumah sakit pada hari dia kembali ke Tokyo.
"Dia bilang akan kembali ke Tokyo setelah mengemasi barang-barangnya. Kenapa kau tidak meneleponnya?"
"Aku, ngga tau nomor ponselnya......"
"Astaga, dasar anak pengecut."
Aduh......kata-kata yang tepat menusuk langsung ke jantung. Maafkan aku, memang benar aku pengecut.
"Juga, ini, dia menitipkan untukmu."
Yang diberikan ibu padaku adalah sebuah pick gitar. Desainnya murah, seperti sesuatu yang bisa dibeli dengan uang saku seorang anak SMP---dan itu persis seperti yang kukenal.
"Ini yang kukasih waktu itu......"
Pick segitiga yang familiar ini adalah yang kuberikan sebagai jaminan hadiah ulang tahun. Saat aku melihatnya lebih dekat, pick itu tidak lagi terlihat seperti baru. Ada banyak goresan kecil di atasnya, tanda bahwa benda itu sudah sering dipakai.
Dia benar-benar menjaga barang murah ini dengan sangat hati-hati......
Sambil percaya bahwa hari di mana dia menerima hadiah yang sebenarnya akan datang, dia tetap menyimpan benda ini.
"Tentu saja, masalah kesehatanmu ini bukan cuma soal kurang tidur. Kali ini gejalanya memang ringan, tapi itu bisa jadi tanda awal dari sesuatu yang lebih berbahaya."
Nada suaranya agak lebih tegas.
"Kalo dibiarkan begini......kondisimu akan makin parah seiring waktu. Meski operasi dilakukan, ngga ada jaminan kesembuhan total, dan mungkin ada efek samping yang tertinggal---"
Risiko kambuh atau efek samping akan selalu menghantui seumur hidup.
Ibu berusaha keras untuk tetap tenang, namun aku bisa melihat sekilas bibirnya yang mengatup erat, menahan emosi.
"Tapi tahu nggak......kau masih bisa hidup. Peluangmu untuk bertahan hidup pasti akan meningkat."
Ibu meraih tanganku dan menutupnya dengan kedua tangannya sendiri.
Rasa ini mengingatkan pada masa lalu. Setelah ayah meninggal, ibu sering menggenggam tanganku seperti ini, memastikan bahwa dia tidak akan pernah melepaskan pegangan pada anak kecilnya.
Meskipun kini tangan itu terasa lebih kasar daripada yang kuingat, itu adalah bukti dari perjuangan ibu yang telah membesarkanku seorang diri menggantikan ayah. Aku merasa bangga dengan ibu yang selalu ada untukku.
"Nama penyakitnya berbeda, tapi aku melihat bayangan yang sama......seperti yang dialami mendiang ayahmu."
"Ayah?"
"Ia juga awalnya menganggap remeh. Saat gejala mulai terasa, semuanya sudah terlambat......dan semuanya terjadi begitu cepat......"
Apa yang ibu maksud dengan "semuanya terjadi begitu cepat" memang tidak dijelaskan secara eksplisit, tapi aku bisa mengerti maksudnya.
"Tapi......meskipun begitu, ia tidak pernah kehilangan senyumnya. Meskipun dari dulu ia adalah orang yang manja dan jarang marah......ia baik. Padahal aku ditakuti di SMP, tapi dia dengan santainya bicara padaku. Benar-benar orang aneh yang nekat."
"Ibu nggak punya teman ya? Tapi aku ingat ibu dikelilingi teman-teman seangkatan saat festival Tabinagawa."
"Itu berkatnya. Waktu itu, ia disuruh oleh wali kelas kami, Sugiura, untuk mengajakku bergabung dengan band. Jadi, karena nggak ada pilihan lain, aku tampil di festival sekolah, dan entah bagaimana, anak-anak sekelasku mulai berbicara denganku."
"Apa itu rencana ayah dan Sugiura-sensei? Supaya ibu bisa lebih mudah menyesuaikan diri di sekolah?"
"Nggak tau......tapi kalau soal mereka berdua, bisa jadi memang begitu. Mereka memang suka terlalu peduli, kadang bikin kesal."
Meski kata-katanya terdengar kasar, ibu sedikit melunak saat mengenang masa itu. Ini mungkin pertama kalinya ibu berbicara tentang masa lalunya dengan begitu terbuka padaku.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Cerita-cerita itu terasa begitu segar, seolah memberiku sekilas pandang ke dalam masa mudanya yang polos.
"Setelah ia meninggal, bahkan Sugiura yang biasanya lembut memarahiku. Mungkin ia nggak tahan melihatku yang tiap hari menangis, mabuk-mabukan, dan merokok."
Yang muncul kembali dalam pikiranku adalah suara wakil kepala sekolah yang hadir di pemakaman ayah.
Kau tidak punya waktu untuk berlarut-larut dalam keputusasaan. Kau punya sesuatu yang harus dilindungi, Iyori.
Meskipun hanya bisa mengingat sebagian dari kenangan itu......kalimat ini pasti pernah diucapkan.
Ibu berhenti minum alkohol dan merokok---demi aku yang masih kecil saat itu.
"Hatiku ini lemah. Setelah kehilangan suamiku, aku ingin lari dari rasa sakit. Tapi, kau ada di sana, itulah yang membuatku bisa bangkit kembali."
Ucapan ibu mulai terdengar semakin berat, dan tiap kata semakin terasa kabur.
"Sampai baru-baru ini, aku tidak bisa mengatakan padamu 'Hiduplah!'......! Ini hidupmu, tapi kau memperlakukannya seolah-olah itu urusan orang lain......Kau hidup, tapi matamu seperti milik orang yang sudah mati!"
Mungkin beberapa hari yang lalu, wajahku terlihat mengerikan seperti zombie.
"......Tapi, setelah kau mulai bergaul lagi dengan Masakiyo dan yang lainnya, dan berusaha keras demi Sayane-chan......kau mulai menunjukkan wajah yang terlihat bahagia."
Bukan hanya, terlihat bahagia. Mungkin, sebenarnya aku memang bahagia.
Minggu ini adalah salah satu minggu yang paling membahagiakan dalam hidupku, tanpa ada kebohongan sedikit pun.
"Karena itu......aku akan mengatakannya! Jangan seenaknya menyerah pada hidupmu! Aku ngga mengharapkan kau untuk berbakti pada orang tua ataupun mengharapkan cucu......Aku hanya, ingin melihat wajahmu yang sehat......Jadilah teman bicara untukku! Kalo kau juga pergi......apa yang......harus kulakukan…"
"Ibu......"
"Mati sebelum orang tuamu sendiri, itu tidak akan pernah kumaafkan!!"
Bukan amarah, melainkan permohonan yang penuh rasa sakit. Kelemahan yang tersembunyi sebagai seorang ibu, yang sebelumnya tak pernah dia tunjukkan, kini mulai mengalir keluar tanpa bisa dia tahan.
Kalau dipikir-pikir, sejak penyakitku terungkap, ibu secara tidak sadar mulai memperlihatkan kelemahannya. Dia kembali pada kebiasaan lama, seperti minum alkohol dan merokok, sebagai pelarian dari ketidakpastian dan rasa kehilangan yang tak terhingga.
Ibu menjadi lebih lembut padaku karena dia mencoba menggantikan sosok ayah yang telah tiada.
Kalau aku tidak ada, apa yang akan terjadi pada Sayane dan Ibu ya.
Dalam perjalanan pulang yang penuh goyangan di minitruk, Ibu menceritakan kisah-kisah romantis dengan Ayah.
Mengingat kembali hal itu menyakitkan. Itulah sebabnya Ibu telah menutup topik masa lalu selama bertahun-tahun.
Ibu bercanda bahwa "kita berdua memang anak dan ibu" karena kami memiliki kebiasaan yang sama. Kami berdua berusaha menghapus kenangan yang menyakitkan dari ingatan kami.
Memang benar, aku dan Ibu mirip.
Rasa manis dan asam dari masa muda yang tak bisa kulupakan. Setelah kehilangan orang yang berharga, rasa sayang semakin mendalam. Hanya dengan ketidakhadiran mereka, dengan cepat kehilangan arah dan berubah menjadi orang yang tidak berguna.
Kami berdua seperti itu.
Namun, kami masih bisa bangkit kembali. Dengan keberadaan seseorang yang melengkapi kekurangan kami.
Pemandangan dari jendela mobil gelap seluruhnya. Hanya lampu depan truk dan lampu jalan yang tidak stabil yang menerangi jalan yang sangat minim. Meskipun begitu, aku masih bisa merasakan perjalanan ke Tabinagawa yang semakin mendekat.
Beberapa hari yang lalu, aku tidak ingin melihatnya. Aku ingin malam gelap ini selamanya menyembunyikannya. Dengan kikuk, aku mengatakan "aku tidak ingin dilihat oleh tetangga".
Saat ini......berbeda.
Aku sedang mencoba mencari potongan-potongan kenangan yang tersebar di kota ini sendiri.
Hidupku bukanlah waktu tambahan, melainkan garis start.
"Aku......sebelum aku kehilangan kesadaran, aku berdoa. Aku ingin hidup---"
Untuk mulai berjalan di samping orang-orang berharga dalam hidupku sekali lagi.
"Aku mau operasi. Karena hidupku yang penuh dengan kebahagiaan dan orang-orang yang kucintai ini adalah kehidupan terbaik."
******
Post a Comment for "Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 6.1"