Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 4.1

 


Bab Empat - Sendirian, Aku Tidak Bisa Apa-apa




Kami selalu bersama sejak lahir.


Kami lahir di tahun yang sama, di rumah sakit yang sama, dan tumbuh besar di Tabinagawa. Rumah kami hanya berjarak lima menit berjalan kaki, dan karena ibu kami adalah teman seangkatan, sejak aku bisa mengingat, Sayane sudah ada di sisiku.


Ayahku selalu tersenyum, selalu mengabulkan setiap keinginanku. Ia membelikanku apa pun yang kuinginkan dan membawaku ke berbagai tempat.


Ibuku yang tegas sering berkata, "Jangan manjain Shuuu," sambil terus marah.


Ketika aku masuk TK, ayahku meninggal karena sakit.


Meskipun ingatanku sudah mulai memudar, aku masih ingat bagaimana ibuku menangis tersedu-sedu menggantikan aku yang belum mengerti konsep "kematian".


Aku tidak banyak menangis. Mungkin karena ibuku selalu ada, jadi aku tidak merasa kesepian.


Dan---


"Aku akan selalu bersamamu!"


Sayane juga ada di sampingku. Dia adalah sosok yang sangat berarti, mengisi kekosongan yang ada dalam hidupku.


"Bu! Aku mau ikut kelas musik di tetangga sebelah!"


"Hah? Di rumah keluarga Sterling?"


Ketika aku mulai masuk SD, aku memohon pada ibuku agar diizinkan ikut kelas musik.


Alasannya sederhana dan jelas. Aku hanya ingin lebih dekat dengan Emi-nee, kakak perempuan yang selalu tersenyum manis dari rumah sebelah. Aku ingin dipuji oleh kakak yang kukagumi, jadi aku bertekad untuk belajar piano dengan sungguh-sungguh.


Mungkin Sayane menyadari niat licikku ini, karena beberapa hari kemudian, dia meminta untuk ikut melihat-lihat pelajaran musik.


"Aku yang harus selalu bersama Shuu!"


"Wah, wah, Sayane cemburu ya~"


"Bukan cemburu, tapi mengawasi!"


Setelah melihat-lihat, dia segera menarik ibunya untuk mendaftarkan dirinya ke kelas musik.


Mungkin saat inilah awalnya. Ketika Tomi-san, setelah terlibat perkelahian dan diskors dari SMP, mulai menghabiskan waktu dengan bermain bersama kami.


Dengan rambut pirang dan pakaian yang berantakan, Tomi-san sering terlihat tidur siang di stasiun Tabinagawa yang sepi,


"Heh, hei, kalian pasangan anak SD. Gimana kalo main game Yamanote Line sama aku?"


Sepulang dari SD, kami berdua bertemu dengan seseorang yang mengajak bicara dengan nada yang jelas menunjukkan kalau dia adalah orang yang kurang bisa diandalkan.


Karena ini adalah hampir pertama kalinya aku dan Sayane bertemu dengannya, kami langsung menganggapnya sebagai berandalan dan kabur ke rumah secepat mungkin.


Kami bahkan sampai memanggil senjata pamungkas, ibuku.


"Anaknya keluarga Toyotomi, Masakiyo, ya! Berani-beraninya kau nakutin anakku!"


"I-Iyori-san, maafkan aku! Aku tidak tahu kalau itu anakmu!"


Tomi-san sampai harus berlutut di depan stasiun yang sepi sambil meminta maaf pada ibu. Sungguh memalukan......


Sejak saat itu, Tomi-san yang memang lagi luang, sering muncul di rumah kami. Ia mengajak kami mancing, bersepeda keliling kota, dan menjadi kakak yang menyenangkan bagiku dan Sayane.


"Uwaah......Tomi-oniichan......"


Ada suatu ketika, Sayane menangis sambil memeluk Tomi-san di tempat penitipan anak dekat SD. Dia menangis karena ayunan yang sedang dia mainkan diambil oleh anak-anak yang lebih tua.


"Tomi-san! Ajari aku cara berkelahi! Aku akan mengalahkan anak-anak kelas atas yang membuat Sayane menangis!"


"Yah, tunggu dulu. Pertarungan fisik itu belum cocok untuk anak kecil sepertimu. Waktu aku masih kecil, ada permainan yang populer, dan aku akan mengajarkan cara balas dendam yang mengikuti semangat olahraga."


Tomi-san menenangkanku yang sudah hampir terbakar emosi.


Permainan ini melibatkan melempar bola seukuran telapak tangan ke atap, kemudian orang yang namanya disebut harus menangkap bola tersebut tanpa bola menyentuh tanah. Setelah itu, bola dilemparkan lagi ke atap dan pemain tersebut harus memilih orang lain untuk menangkap bola sebelum bola itu jatuh. Proses ini berlanjut terus-menerus.


"Kalo kalah sekali, kau jadi 'ichikei.' Kalo kalah empat kali, kau jadi 'shikei,' dan orang yang jadi 'shikei' akan dihukum dengan dilempar bola sambil diejek. Ini cara yang damai untuk balas dendam, kan?"


Dengan trik yang diajarkan Tomi-san, aku dan Sayane menantang kakak kelas yang merebut ayunan itu, dan kami berhasil membuat mereka menangis melalui permainan ini. Walaupun itu hanya permainan anak-anak, rasanya sangat memuaskan.


Namun, keesokan harinya, kakak kelas yang kami kalahkan membawa kakak mereka. Mereka adalah murid kelas tiga SMP yang mengenakan seragam SMP Tabi. Jelas sekali bahwa postur tubuh mereka jauh lebih besar dibandingkan kami yang baru kelas satu SD.


"Mau sok keren di depan cewek, ya? Kalo kau minta maaf sekarang, kami mungkin akan memaafkanmu."


Kami dipanggil ke ladang terdekat dan diminta untuk meminta maaf di tempat sepi, tapi aku berdiri di depan untuk melindungi Sayane yang takut.


"Campur tangan dalam pertengkaran anak SD, memalukan! Itulah sebabnya kalian ngga populer!"


"Popularitas ngga ada hubungannya dengan ini! Aku bisa dengan mudah dapet pacar saat masuk SMA!"


Saat beberapa pria yang marah mengangkat tinju mereka---


"Kata-kata yang bagus, Shuu!"


Para pria itu terjatuh, tersandung setelah menerima tendangan dari belakang.


"Anak SMP yang campur tangan dalam pertengkaran anak SD itu sangat memalukan. Itu tipe yang paling dibenci oleh Iyori-san."


"T-Toyotomi!? Jangan campur tangan, orang luar!"


"Ha-ha-ha! Ini sempurna! Mari kita berteman.......sesama orang luar!"


Pahlawanku......pahlawan kami adalah Tomi-san. Tanpa gentar menghadapi teman-teman se-SMP-nya, ia melakukan beberapa pukulan dan tendangan dengan cepat, dan para pria yang seperti sampah itu pulang dengan setengah menangis.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Seperti yang diharapkan, kakak yang bisa diandalkan......kami yang polos merasa dekat dengannya, tapi tampaknya Tomi-san juga memiliki niat tersembunyi.


Suatu hari......entah kenapa Tomi-san yang jadi tampil modis mulai mengikuti kami ke kelas musik juga.


"A-Aah......jadi, ini rumahnya Emilie-san ya......"


"Anak kelas sebelah......Toyotomi-kun? Jadi, kamu kenal dengan Shuu-kun dan Sayane-chan ya?"


"Y-Yah, aku diminta mengawasi mereka!"


Tak ada yang meminta, hanya saja kau yang mengikuti seenaknya.


Interaksi canggung pertamanya dengan Emi-nee sangat lucu. Cara berbicara Tomi-san yang kaku dan bahunya yang tegang terlihat sangat tidak biasa bahkan dari pandangan anak SD.


"Tomi-san itu sangat lucu dan bisa diandalkan!"


"Eh, itu mengejutkan. Kupikir ia itu orang yang menakutkan dan buruk di sekolah."


Sekarang aku berpikir, mungkin Tomi-san sebenarnya memiliki perasaan cinta yang tak berbalas.


Meskipun ia seorang berandal, ternyata ia sangat polos dan tak pernah bisa memulai percakapan. Jadi, ia menggunakan semua akalnya untuk menggunakan kami sebagai penghubung untuk berinteraksi.


Karena aku dan Sayane memuji Tomi-san, tampaknya kewaspadaan Emi-nee juga melunak. Tomi-san dijadikan contoh dari "berandal yang sebenarnya baik" dan berhasil memanfaatkan kesan positif tersebut.


Bagaimana mereka menjadi pasangan, itu adalah cerita lain---


Sambil membantu dalam kisah cinta yang lembut ini, kami menjalani pelajaran musik tiga kali seminggu selama enam tahun. Dua teman masa kecil ini belajar dasar dan daya tarik musik bersama-sama.


"......Aku baru saja menemukan frasa yang sangat mengesankan, jadi aku mau bolos pelajaran."


Saat memasuki masa SMP, Sayane menjadi sedikit terkenal.


Meski kepribadiannya menjadi lebih pendiam selama masa pubertas, dia sering meninggalkan pelajaran dan bermain gitar akustik Emi-nee di tangga depan gymnasium.


Menciptakan potongan melodi dan terus-menerus mencoba dan memperbaiki kesalahan, gadis musik itu......dalam sekolah dengan jumlah siswa yang tidak terlalu banyak, keunikannya benar-benar mencolok.


Aku datang untuk membawanya kembali ke kelas seperti biasanya, sesuai permintaan guru,


"Kalau kau terus bolos pelajaran, kau tidak akan bisa masuk ke SMA."


"......Aku kasihan padamu yang terikat oleh waktu dan aturan."


"Fufu."


"......Berisik. Diamlah. Jangan ketawa."


Melihat ekspresi cemberutnya, aku tidak bisa menahan senyum. Anak ini, dia cukup jutek juga.


Dia bisa berkata hal-hal aneh dengan serius dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya sendiri dengan penuh perasaan, hingga suaranya menggema di dalam kelas yang tenang. Dia pernah mengubah loteng sekolah kayu menjadi ruang komposisi dengan membawa kursi dan gitarnya, dan cerita tentang menduduki ruang tersebut secara ilegal hingga ketahuan oleh guru juga tidak boleh dilupakan.


Aku suka melihat teman masa kecilku yang berbakat itu dari samping.


Sepulang sekolah, kami duduk di tangga di tepi sungai, dan aku duduk di tempat duduk terbaik di sampingnya, mendengarkan suara lembutnya saat dia menyanyikan lagu dengan gitar akustik yang dipinjam. Aku sangat suka melihat hamparan bunga di sekeliling sambil mendengarkan melodi yang lembut.


Serpihan bunga sakura yang berserakan dari barisan pohon sakura yang menjulang di belakang kami. Bahkan jika aku tertidur karena terpikat oleh cuaca hangat musim semi, dia akan memberi bahunya sebagai sandaran.


"......Jangan tidur dengan wajah bodoh seperti itu, bodoh."


Ketika aku terbangun, dia sering memarahiku dengan dingin.


"Sayane itu......wangi sekali ya."


"......Itu curang."


Dia akan mengalihkan tatapannya dengan malu ketika aku memujinya, dan aku sangat mengenal sisi imutnya itu.


"Dan wajahmu juga cantik......matamu begitu jernih, hmm, hmm."


"......Jangan terbawa suasana."


Sambil pipinya memerah seperti bunga sakura, dia menutup mulutku dengan tangan.


"Boleh aku tetap seperti ini sedikit lebih lama?"


"......Terserah." 


"Kalau begitu, aku akan menerima kata-katamu......aww!"


Ketika aku mencoba meletakkan kepalaku di pahanya yang terbuka sebagai bantal, dia menepuk ringan kepalaku. Namun, pada hari-hari ketika dia sedang dalam suasana hati yang baik, dia kadang-kadang memberiku bantal pangkuannya.


Setiap kali Sayane muncul di tepi sungai, orang-orang yang sedang berjalan-jalan, baik itu orang tua maupun anak-anak, akan berkumpul, dan tanpa disadari, akan terbentuk sebuah pertunjukan jalanan kecil. 


Meskipun jumlah orang yang berkumpul tidak banyak, perjalanan kami telah dimulai sejak saat itu.


Lirik yang dihembuskan Sayane ke dalam lagunya kebanyakan berasal dari sudut pandang seorang wanita. Dia mengekspresikan rasa frustasi karena jarak yang terlalu dekat dengan orang yang disukainya, menggambarkan perasaan bingung tentang cara menghadapinya, atau menyampaikan harapan agar hari-hari yang sepeti ini terus berlanjut selamanya.


Lagu-lagu tentang cinta yang manis, pedih, dan sarat dengan rasa nostalgia akan masa muda itu selalu berhasil menggugah perasaan orang yang mendengarnya.


Dua orang yang lebih dekat daripada sepasang kekasih, namun tidak sepenuhnya memahami cara menikmati masa muda mereka. 


Lantas, hubungan macam apa sebenarnya yang kami miliki?



"Shuu......Aku ingin kau membuat lagu bersamaku."


Seperti biasa, di tepi sungai yang dipenuhi warna musim semi, Sayane tiba-tiba mengungkapkan permintaannya.


"Aku, belum pernah menciptakan lagu sebelumnya, kau tahu."


"Aku ingin melihat bagaimana kau akan mengembangkan benih yang telah kutanam......Aku ingin mencobanya. Aku ingin suaraku menjangkau lebih banyak orang......dan aku ingin bernyanyi bersamamu, selamanya."


"Bagaimana kalau, pada akhirnya, aku justru menjadi beban?"


"......Bodoh. Justru karena kau ada, aku, Kiriyama Sayane, bisa bernyanyi dengan nyaman."


Sayane menunduk malu-malu, memutar-mutar ujung rambutnya dengan jari.


Meski aku tidak merasa percaya diri, ada getaran yang muncul dari dalam diriku. Jika pengetahuan dasar yang kumiliki tentang keyboard dan dasar-dasar komposisi bisa bermanfaat bagi Sayane, jika kami bisa berbagi pemandangan yang dia impikan bersama.


"Ayo lakukan. Kalau itu yang kau inginkan, Sayane---"


Meskipun waktu yang dimiliki oleh orang biasa sepertiku untuk bersama dengan seorang jenius mungkin terbatas, tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini.


"Kalau suatu saat nanti kita bingung tentang jalan yang harus ditempuh......kita akan bertemu lagi di sini."


Sayane mengulurkan jari kelingkingnya ke arahku.


"Ya, aku janji."


Aku mengikatkan jari kelingkingku pada miliknya.


Pada bulan April---janji yang tidak bertanggung jawab yang kubuat saat kami baru saja masuk kelas satu SMP, pada masa yang sudah terasa begitu jauh.




"Sekarang ini bukan lagi zamannya menjual kaset demo secara langsung atau menambah penggemar lewat pertunjukan jalanan, menurutku. Yang paling mudah dilakukan adalah menggunakan layanan streaming langsung yang terhubung dengan media sosial. Dari sana, kau bisa perlahan-lahan membangun ketenaranmu, dan mungkin akhirnya berhasil mengadakan konser tunggal. Itulah idealnya bagi band indie."


"......Aku mengerti. Terima kasih, Emi-nee."


Untuk meningkatkan popularitas, kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan Emi-nee yang tinggal di sebelah rumah. Meskipun dia sudah menikah dengan Tomi-san dan memiliki seorang anak kecil bernama Liese, dia tetap meluangkan waktu untuk kami.


"Babu babu, yochi yochi~. Bagus bagus~! Kamu hebat sekali~." 


Emi-nee berkata sambil menggendong Liese dengan senyum hangat.


Mengesampingkan penurunan kosakata Sayane yang serius saat bermain dengan Liese yang masih belajar berjalan,


"Jadi, tentu saja, kamu juga akan membantu, kan, Shuu-kun?"


"Tentu saja. Aku ingin terus berjalan di samping Sayane."


Mendengar jawabanku, Emi-nee mengangguk dan kemudian menuju ke ruang latihan yang biasa kami gunakan. Dia kembali ke ruang tamu tempat kami berada, membawa sebuah soft case berbentuk persegi panjang.


Di dalam case itu terdapat synthesizer yang pernah aku gunakan di kelas musik.


"Ini hadiah kecil dariku. Dan gitar akustik yang kupinjamkan pada Sayane, kamu tidak perlu mengembalikannya."


"Emi-nee......"


"Ini pasti akan sulit, tapi berusahalah, murid-muridku. Onee-san selalu ada di pihak kalian."


Dengan lembut, Emi-nee meletakkan tangannya di kepala kami berdua.


Terima kasih. Bertemu dengan orang sepertimu membuat kami merasa menjadi orang desa yang paling beruntung di dunia.


Kami berdua membungkuk dalam-dalam, mengucapkan terima kasih pada guru yang begitu berarti bagi kami.

******

Post a Comment for "Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 4.1"