Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 3.1
Bab Tiga - Badai Orang Desa
Jam 10 pagi---Festival Tabinagawa ke-35 dimulai.
Namun, tidak ada acara pembukaan yang meriah, juga tidak banyak stand yang dibuka. Sederhananya, ini terasa seperti dimulai dengan cara yang sederhana.
Di tempat parkir balai warga, beberapa mobil terparkir dengan jarak yang berjauhan, sementara warga lokal yang sebagian besar berusia lanjut sibuk melihat-lihat atau membeli kerajinan tangan. Meskipun area bekas pasar ternak di dekatnya juga bisa digunakan untuk parkir, hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Selain itu, hanya beberapa orang yang datang dengan berjalan kaki atau bersepeda untuk sekadar melihat-lihat.
Jika ada sekitar dua ratus hingga tiga ratus orang yang datang, itu bisa dianggap sebagai hasil yang memuaskan seperti tahun-tahun sebelumnya.
"---Berkat bantuan semua orang, tahun ini kami berhasil memulai acara dengan lancar. Tahun ini, penampilan di panggung akan sedikit berbeda dan lebih menarik, jadi nikmatilah sepenuhnya!"
Bersamaan dengan pemberian salam Tomi-san di atas panggung, bagian penampilan panggung pun dimulai.
"---Seriusan, nanti di akhir ada penampilan besar yang sangat luar biasa! Jadi, sekarang juga ajak anak-anak, cucu, atau siapa pun yang tinggal di pusat Kota Harusaki! Permintaan ini datang dari pria tampan di Tabinagawa!"
Tomi-san meramaikan tempat tersebut melalui mikrofon. Tawa hangat terdengar dari para lelaki tua yang duduk di kursi pipa di kursi penonton. Orang ini punya kepribadian yang baik dan sangat populer di kalangan penduduk setempat dan orang tua.
Sangat berbeda dengan pria yang menghindari interaksi karena takut ketahuan bahwa ia pengangguran.
"Tapi, apa tidak apa-apa kalau mengumumkan sebelumnya bahwa akan ada bintang besar yang datang......?"
Meskipun kemungkinan Sayane muncul hampir tidak ada. Penampilan kami dijadwalkan pukul dua siang, jadi kalau dia tidak datang sebelum itu, acara ini akan berakhir dengan antiklimaks.
"Hei, Shuu! Kami bisa minta tolong ke kontraktor, tapi bagaimana dengan pencahayaannya? Sudah oke, kan?"
Menanggapi pertanyaan Tomi-san yang baru saja turun dari panggung, aku mengacungkan jempol.
"Ya, sepertinya tempat ini sudah mendekati ideal. Benar-benar sangat membantu."
"Serahkan pengaturan pencahayaan selama penampilan padaku. Aku sudah diajari cara menggunakannya oleh kontraktor, jadi kami dari panitia akan membuat pertunjukan ini meriah."
Ketika aku melihat sekeliling aula acara, peralatan pencahayaan yang di sewa sudah dipasang sesuai keinginanku. Aku ingin menampilkan performa terbaik demi Tomi-san yang telah membantuku pada hari liburnya yang berharga.
"Ampli dan peralatan suara juga sudah disetel, ini juga Tomi-san yang urus?"
Peralatan suara sudah dipasang di panggung dan sekitarnya, dan pengaturan PA sudah sempurna. Speaker monitor yang terpasang di depan panggung juga menunjukkan bahwa ini adalah setelan live yang serius, bukan sesuatu yang mungkin digunakan oleh penampil lain.
"Kemarin, Iyori-san dan Liese yang membawa dan menyiapkan semuanya. Mereka juga mengatur keseimbangan suara, jadi aku sangat terbantu karena itu bukan keahlianku."
"Begitu ya......Aku harus berterima kasih pada mereka juga."
Meskipun ibu juga sedang libur, dia diam-diam membantu kami.
"Iyori-san sangat bersemangat, katanya, 'Anak laki-lakiku yang akan tampil, jadi suara yang setengah-setengah nggak bakal kubiarkan.' Aww! Eh!?"
"Masakiyo! Jangan bilang hal-hal yang nggak perlu!"
Dari belakang Tomi-san, tiba-tiba muncul ibu berandalan.
Saat sedang bercerita, ia ditendang di bagian belakang, tapi tampaknya ia malah merasa sedikit senang.
"Kau juga, berhenti ngobrol dan cepat bantu angkut alat musiknya."
"Ya ya."
Gaya bicaranya yang marah ini sebenarnya hanya untuk menyembunyikan rasa malunya......sebagai anaknya, aku tahu itu. Kalau aku berterima kasih padanya secara langsung, dia akan semakin marah, jadi aku berpura-pura jadi anak yang selalu tunduk padanya seperti biasa.
Aku tidak akan bisa mencapai ini sendirian. Panggung besar ini telah disiapkan oleh begitu banyak orang.
Sayane pasti datang. Tolong datanglah.
Aku dan Emi-nee meminjam mobil Tomi-san dan terus mengangkut alat musik.
"Set drum ini berat, tapi......kamu yakin bisa sendiri, Shuu-kun?"
"Serahkan saja padaku. Bagaimanapun, aku ini laki-laki."
Meskipun aku mencoba terlihat keren, nyatanya beratnya benar-benar bikin kesal.
Kami membongkar sementara set drum yang sudah dimodifikasi oleh Emi-nee menjadi seperti benteng, lalu menyimpannya dalam tas khusus drum. Setelah mengangkutnya ke tempat parkir balai warga dengan mobil yang dikendarai oleh Emi-nee, kami harus membawanya ke ruang ganti......dan ternyata bebannya jauh lebih berat dari yang kubayangkan.
Hi-hat, crash, china, splash, ride. Hanya untuk simbal saja ada tiga belas buah. Berbagai jenis tom dan snare ada sembilan buah. Dan ada tiga bass drum yang tidak diperlukan.
Meskipun ibu juga membantu mengangkut barang dengan minitruk, kami sudah bolak-balik lebih dari tiga kali......
"Emi-nee......apa benar kita butuh simbal sebanyak ini? Dan tiga bass drum, apa perlu sebanyak itu?"
"Perlu dong! Bass drum ketiga ini berukuran dua puluh inci, jadi suaranya berbeda dibandingkan dengan yang dua puluh enam inci."
Emi-nee yang biasanya tenang membantah dengan penuh semangat.
"Yah, sejujurnya ini lebih untuk penampilan sih♪ Set drumnya memang dibuat hanya untuk tampil keren."
Benar juga. Seperti itulah Emi-nee. Ngomong-ngomong, keluarga Emi-nee ini memang kaya, ya.
"Aku yang akan mengurus drum, jadi boleh aku minta tolong kamu mengurus keyboard dan alat musik gesek?"
"......Maaf ya."
Emi-nee yang pengertian akhirnya membawa tas drum untukku. Bukankah ini sangat memalukan? Seorang pria yang harus diberi perhatian dalam pekerjaan berat ini benar-benar lebih rendah dari sampah.
Karena kehidupan sebagai NEET yang hanya di dalam ruangan, sepertinya semua ototku sudah melemah.
"Bagian berat aku yang angkut, jadi kau bawa saja kostum live-nya."
"Oke."
Aku juga mendapat pemberitahuan untuk tidak ikut kerja berat dari ibuku yang membantu menerima barang.
"Walaupun kondisimu stabil, kau tetaplah sakit. Jangan terlalu memaksakan diri."
"......Makasih. Aku tidak akan memaksakan diri."
Hanya ibuku yang tahu tentang penyakitku, jadi dia khawatir dengan cara yang berbeda. Sudah lebih dari seminggu sejak diagnosis, tapi belakangan ini tidak ada gejala yang signifikan.
Aku......tidak bisa menjamin untuk tidak memaksakan diri, tapi setidaknya aku akan mengangkut synth yang akan kugunakan.
"Orang yang lemah tidak bisa bertahan di medan perang. Kalo ini Eropa abad pertengahan......mungkin kau sudah mati."
"Ah, sungguh menyedihkan."
Aku ingin mencontoh master Liese yang dengan mudah membawa gitar dibahunya.
Untuk gitar dan bass, kami membawa lebih dari tiga untuk masing-masing, termasuk variasi tuning dan cadangan. Dengan susah payah dan mengeluh lelah, akhirnya semua alat musik dan aksesori berhasil dibawa masuk.
Agar sedikit memulihkan tenaga, aku merebahkan diri di ruang ganti yang berlantai tatami.
"Setelah semua persiapan ini, dan kami sudah memberi sinyal tentang kehadiran tamu, kalau dia tidak datang......rasanya pengin nangis."
"Maksudmu Sayane-chan? Aku yakin dia pasti akan datang."
Emi-nee anehnya sangat optimis. Sambil melirik layar ponsel, dia sedikit tersenyum.
"Juga, aku minta maaf. Meskipun semuanya sudah membantu, PV-nya jadi tidak berguna......Tidak ada tempat untuk menggunakannya, kan?'
"Tidak, tidak sia-sia kok. Perasaanmu pasti sampai pada seseorang, aku yakin."
Emi-nee menggelengkan kepala dan memberiku semangat. Rasanya, hanya dengan mendapatkan dorongan seperti itu sudah membuat semua usaha yang kulakukan terasa dihargai.
Bagaimanapun juga, lengan dan kakiku. Aku butuh istirahat sampai sekitar siang hari......
"Ayo main. Ayo main."
Namun, gangguan datang dari Liese. Dia melompat ke punggungku yang sedang tengkurap dan menggoyangkan tubuh kecilnya. Meskipun tidak berat, rasanya tetap melelahkan.
"Mama, Shuu, yuk main!"
"Oke, oke, aku mengerti."
Emi-nee yang kalah dengan rengekan Liese yang terus-menerus, akhirnya berdiri dan menarik tangan kanan Liese layaknya ibu.
"Karena sudah seperti ini, Shuu-kun, mau ikut juga?"
"Tentu saja."
Sungguh makhluk yang sederhana, laki-laki itu. Prioritasnya lebih pada undangan dari wanita daripada istirahat.
Aku mencambuk tubuhku yang kelelahan dan meraih tangan kiri Liese. Sambil merasakan sensasi yang tidak biasa seperti pasangan suami istri dengan seorang anak, kami bertiga mengunjungi pameran dan menonton pertunjukan di panggung seperti drum Jepang dan paduan suara. Seperti seorang pria yang membawa istri dan anak saat menjalankan tugas panitia---apa ini disebut perselingkuhan?
Sementara itu, ibuku sedang ngobrol dengan ibu Sayane dengan akrab---
"Woi, Kiriyama sialan, jangan seenaknya menyerahkan foto album sekolah ke Emilie!"
"Ngga kok, ngga kok. Kami hanya minum teh sambil ngobrol melihat-lihat foto album sekolah~."
"Sini pantatmu. kutendang kau."
"Iyorin yang malu-malu itu juga lucu ya~♪"
"Jangan panggil aku Iyorin! Jangan sebarkan sejarah hitamku, tolong hentikan, kumohon!"
Ya, meskipun aku......tidak bisa bilang mereka ngobrol dengan akrab, karena mereka seangkatan, suasananya terasa harmonis. Sepertinya ada beberapa teman seangkatan lainnya yang juga datang, jadi terlihat seperti kelompok kecil reuni sekolah.
Namun, sebagian besar orang yang datang ke acara ini adalah penduduk lokal berusia lima puluhan tahun. Kebanyakan dari mereka adalah wajah-wajah lama yang tampaknya sudah pernah kulihat sekali seumur hidup.
Dengan promosi yang hanya melalui brosur dan situs web, rasanya tidak layak untuk festival dengan skala di mana orang-orang dari pusat kota harus menempuh perjalanan lebih dari empat puluh menit untuk datang. Aku berharap anak-anak dan remaja lokal lebih tertarik dan menunjukkan minat mereka.
Haruskah aku pergi ke rumah Sayane sekali lagi? Meskipun sepertinya akan berakhir dengan jalan buntu.
"Ya, touch! Perisai! Beam touch itu dilarang!"
Beberapa anak menggunakan sudut balai warga dan tempat parkir sebagai taman bermain mereka, main kejar-kejaran. Aku merasa mereka hanya ingin alasan untuk bersenang-senang daripada datang melihat festival.
Salah satu anak yang sedang bermain kejar-kejaran berlari ke arahku itu......
"NEET-niichan!"
Oh, Yousuke! Ia benar-benar datang!
"Aku dengar dari teman-temanku, apa benar SAYANE akan bernyanyi?"
Aku agak bingung dengan pertanyaan mendadak itu.
"Nii-chan, kamu main di lapangan kosong dengan SAYANE kan? Harusnya kamu tahu sesuatu kan?"
"Hmm? Aku ngga terlalu dekat dengannya, jadi ngga tahu deh......"
"Meski kalian pake baju yang sama?"
"Kami hanya punya setelan jersey yang sama saja."
Sepertinya ia melihat kami saat main kickbase. Karena anak itu mengumumkan tempat kelahirannya, aku bisa mengerti kalau anak-anak lokal mengenalnya. Tapi, meskipun namanya tidak diumumkan di brosur atau tempat lain, aku tidak mengerti bagaimana gosip tentang Sayane bisa menyebar.
"Untuk penampilan hari ini......Liese akan tampil, kan? Tolong sampaikan kalau aku mendukungnya......"
Ia bolak-balik melirik ke arah Liese dan berbisik dengan suara hampir tidak terdengar. Jadi, datang melihat SAYANE itu sebagai bentuk menyembunyikan rasa malunya ya. Ah, kepolosannya membuatku geli.
"Aku mengerti kalau kau malu, tapi kau harus menyampaikan perasaanmu sendiri. Kalau kau tidak menyampaikan perasaan 'suka' saat masih ada kesempatan dan saat dia masih bisa mendengar suaramu......kau akan menyesal nanti."
"J-Jangan salah paham! Aku tidak suka orang seperti anak itu!"
"Kau mungkin tidak mengerti sekarang soalnya masih kecil, tapi seiring bertambahnya usia, kau akan menyadarinya."
Meskipun aku tidak memiliki kualifikasi untuk berbicara seperti itu, aku tetap mengeluarkan kata-kata bijak. Liese yang tidak paham tentang urusan cinta berdiri kaku, sementara Yousuke melarikan diri untuk menyembunyikan kemerahan di pipinya.
"Shuu-kun, bagaimana kalau kita makan siang sekarang?"
Tanpa kusadari, jarum jam sudah hampir menunjukkan tengah hari.
"Waah! Emilie-oneechan!"
"Jangan dekat-dekat sama Emi-nee! Pergi sana bocah, makan permen aja!"
Aku mengusir bocah-bocah nakal yang mencoba mendekati Emi-nee dengan memanfaatkan hak istimewa mereka sebagai anak-anak. Sepertinya mereka punya pola pikir yang sama denganku waktu masih di SD......
Karena diundang oleh Emi-nee, aku memutuskan untuk pergi ke drive-in lokal. Menyadari suasana tadi, Emi-nee tiba-tiba berseru, "Shuu-kun......barusan itu cinta anak SD, kan? Pubertas putriku, kan?! Kyaa!" Sambil menenangkan Emi-nee yang terlalu bersemangat, kami bertiga, termasuk Liese, menikmati ramen miso khas daerah tersebut.
Ketika kami kembali ke balai warga---
"Apaan......ini?"
Aku dan Emi-nee berkali-kali mengedipkan mata, seolah tidak percaya dengan apa yang kami lihat.
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Saat ini, setelah jam satu siang, tempat parkir hampir penuh, dan bahkan di bekas pasar ternak, mobil-mobil sudah berbaris.
Selain nomor kendaraan dari daerah lokal, ada juga kendaraan dari daerah sekitar dan bahkan dari wilayah Kanto. Dalam dua puluh tahun hidupku, aku belum pernah melihat pemandangan sebanyak ini di jalanan sepi dekat pemandian air panas di Tabinagawa.
"Wah! Apa-apaan ini!?"
Bahkan para kakek-nenek yang kebetulan lewat terkejut melihatnya. Bahkan upacara pemakaman di pedesaan yang biasanya ramai, tidak pernah mengumpulkan orang sebanyak ini. Dari sudut pandang siapa pun, peningkatan jumlah orang dibandingkan pada pagi hari sangat mencolok, dan jumlah anak muda pun meningkat pesat.
Para siswa dari SMP Tabi juga mulai berdatangan, dan ada juga anak-anak muda yang menggunakan bahasa standar yang tidak kukenal. Ada juga beberapa yang berbicara dengan aksen Kansai atau Kyushu.
"Wah, menarik sekali ya! Ternyata seni bunga kering itu cukup dalam."
Saat aku melihat sekeliling aula yang semakin ramai, aku melihat seorang pria paruh baya yang berada di sudut pengalaman seni bunga kering bersama anak-anak SD. Pria itu ternyata adalah Wakil Kepala Sekolah yang sebelumnya memberikan jawaban samar apakah akan datang ke festival ini atau tidak.
"Sugiura-sensei! Apa yang Anda lakukan di sini bersama anak-anak!?"
"U-Uwah......kau mengagetkanku."
Ketika Emi-ne yang cerewet mencengkeram bahu Wakil Kepala Sekolah dari belakang, ia terkejut sampai melompat.
"Berkat Wakil Kepala Sekolah, banyak juga siswa dari SMP Tabi yang datang. Ini benar-benar membantu."
"Tidak, aku sebenarnya tidak melakukan banyak hal. Kupikir mengenal budaya lokal dan festival juga merupakan bagian dari pelajaran, dan sebagai pendidik, aku ingin mendorong hal itu."
Ketika aku menundukkan kepala, Wakil Kepala Sekolah mengangguk dengan rendah hati.
"Tapi sebenarnya aku sendiri datang ke sini hanya untuk hobi pribadi. Lima tahun lalu, aku terkesan dan tidak bisa melupakannya."
"......Sayane, tidak ada tanda-tanda dia akan datang lho."
"Haha......tenang saja. Apa kamu tidak merasa ada sesuatu yang aneh dengan suasana ini?"
Wakil Kepala Sekolah yang melihat sekeliling, suaranya terdengar sedikit lebih bersemangat.
Balai warga yang biasanya sepi sekarang memancarkan suasana yang mirip dengan rumah konser, dan orang-orang yang tidak mendapat tempat duduk di kursi lipat yang telah disiapkan berdiri di sepanjang dinding, menciptakan tembok penonton yang berdiri.
Pria dan wanita dari segala usia, lima ratus orang......tidak, mungkin jumlahnya masih akan terus bertambah.
"Badai, sedang terjadi lho. Dia itu, punya bakat yang unik untuk menarik orang."
Wakil Kepala Sekolah yang biasanya tampak tak bersemangat dan selalu terlihat mengantuk, kini mengepalkan tinjunya dengan penuh semangat.
Badai......ya? Apa itu mungkin terjadi di kota kecil terpencil seperti ini?
"Kamulah yang akan membuatnya terjadi. Kamu adalah satu-satunya yang mampu mengendalikan badai tak terduga itu!"
Tidak, tidak. Aku tidak mengerti cara berpikir penggemar musik ini. Kenapa aku dianggap begitu penting? Kesuksesan Sayane di Tokyo adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri. Itu semua adalah upayanya.
Sejak aku berpisah dari Sayane, aku bahkan jarang mendengar suaranya. Lagu yang kubuat......dia mungkin bahkan tidak ingin mengingatnya......
"Ngomong-ngomong, pagi tadi, Kiriyama-san datang ke SMP."
"Eh? Kenapa?"
"Aku tidak begitu mengerti, tapi mungkin kamu akan tahu nanti."
"Tidak, tidak......Saya bukan seorang cenayang, jadi saya tidak tahu."
Mungkin dia hanya ingin mengingat masa-masa sekolahnya sebelum kembali ke Tokyo......kupikir begitu.
"Sugiura! Wah, wah, wah, sudah tua juga sekarang ya!"
"......Uh, wah......berandalan lagi......"
Sambil berteriak, ibuku memeluk bahu Wakil Kepala Sekolah.
"Iyori-san juga kenal dengan Sugiura-sensei?"
"Tentu saja kenal. Ia wali kelasku. Sudah sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, ya?"
Kalau begitu, jika itu saat ibu masih SMP, Wakil Kepala Sekolah mungkin berusia sekitar tiga puluhan waktu itu.
"Meskipun dibesarkan Iyori, putranya yang ada di sini adalah siswa yang baik, jadi aku terbantu. Tapi Masakiyo sangat terpengaruh oleh Iyori, bolos sekolah, berkelahi dengan siswa dari sekolah lain......"
"Oi, apa maksudnya itu, hah? Bukankah murid yang merepotkan itu justru yang paling disayang?"
"Ah, ah, kenapa sih para berandalan selalu menepuk punggungku?"
Meski ibuku menepuk-nepuk punggungnya, ia tidak menunjukkan tanda-tanda membencinya. Malah, sepertinya ia cukup menikmati reuni ini.
Aku juga ingat Wakil Kepala Sekolah juga hadir di pemakaman ayahku. Meski agak kabur, melihat mereka berdua berdiri berdampingan, rasanya seperti deja vu.
"Meskipun dulu aku banyak merepotkanmu, dan pernah menunjukkan sisi lemahku juga......sekarang aku menjalani hidup dengan bahagia bersama putraku. Jadi, tunggu saja kejutan yang akan membuatmu terkesan hari ini, Sugiura."
"Begitu, ya? Aku tak sabar menunggu."
Wakil Kepala Sekolah menjawab dengan senyum yang tulus.
Terlihat kelegaan di wajahnya, seolah beban yang selama ini dipikulnya telah terangkat.
Aku hanya bisa berharap festival lokal seperti ini, yang menghadirkan kenangan manis seperti ini, bisa terus berlanjut selamanya.
"Shuu-kun, bagaimana kalau kita mulai ganti kostum sekarang?"
"Oh, ya, benar juga."
Waktu menuju pertunjukan tinggal kurang dari satu jam, jadi kami harus mulai mempersiapkan baju dan hal lainnya. Setelah berpisah dengan Wakil Kepala Sekolah, kami kembali ke ruang tunggu, sementara para wanita pindah ke kamar kecil yang dijadikan ruang ganti.
Mungkin karena gugup, tenggorokanku terasa sangat kering. Sudah cukup lama sejak aku terakhir kali tampil di depan penonton, jadi ini bukan hal yang aneh. Jariku gemetar dengan sendirinya, dan detak jantungku berdentum begitu keras seolah-olah akan meledak.
Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara masuk ke tenggorokan yang bergetar, sambil mengendurkan bahu yang tegang dan mengembuskannya dengan perlahan.
Kalau terus begini, aku pasti akan membuat kesalahan. Aku harus bisa menenangkan diri.
Sebagai pria satu-satunya, aku tetap di ruang tunggu dan berganti pakaian dengan baju yang disiapkan Emi-nee. Paduan monokrom dengan setelan jas hitam dan kemeja hitam, memberi kesan kasual pada penampilanku yang sebenarnya biasa saja.
Setelah aku selesai berganti pakaian, para wanita kembali ke ruang tunggu.
"Ta-daa! Gimana?"
Dengan gaya feminim, Emi-nee membuka kedua tangannya lebar-lebar, menonjolkan baju sambil berputar sekali.
Pakaian yang tampaknya dibuat sendiri ini terbuat dari kain berwarna gelap dengan tambahan hiasan frill yang stylish, sangat cocok dengan nuansa lagu yang akan dimainkan. Kombinasi antara pakaian ini dan penampilan malaikat yang memukau benar-benar luar biasa.
"Keren banget, bener-bener luar biasa."
"Waah, makasih♪ Aku khawatir ini mungkin agak terlalu mencolok untuk usiaku."
Tentu saja tidak. Tidak ada yang akan mengira bahwa dia seorang ibu rumah tangga dengan satu anak, dia tetap terlihat muda dan cantik.
".......A-Aku terlalu tua untuk ini, kan?"
Tak disangka, bahkan ibuku ikut mengenakan kostum. Karena dia jarang sekali memakai rok, dia terlihat agak canggung sambil memegangi ujung roknya.
"......Yah, kayaknya."
"Setidaknya sedikit sopanlah, dasar bodoh. Mungkin sebaiknya aku pakai celana aja."
Nada bicaranya berubah menjadi tegas dan sedikit menakutkan.
Jujur saja, dia tidak terlihat terlalu tua, malah bisa saja dikira sebagai mahasiswi karena auranya yang begitu murni. Kulitnya halus, tinggi badannya juga cukup tinggi, jadi tidak heran kalau anak-anak SMP di sekitar sini terpikat oleh penampilannya.
Pakaian Liese yang biasanya bergaya gothic lolita tidak menunjukkan perubahan berarti, jadi kesan "seperti biasa" muncul. Namun, dengan matanya yang besar dan jelas, dia mengingatkan pada boneka Barat yang hidup. Di desa kecil ini, dia bagaikan batu permata yang sangat berharga, yang mungkin terlalu berharga untuk dibiarkan terpendam di tempat seperti ini.
"Pertunjukan dimulai dalam tiga puluh menit, jadi ayo mulai pindahkan instrumen ke panggung. Pertunjukan lain sudah selesai, tirai hitam sudah diturunkan, jadi kalian bisa langsung melakukan pengaturan."
Menerima instruksi dari Tomi-san, kami mulai memindahkan instrumen dari ruang ganti ke panggung. Dengan bantuan Tomi-san dan panitia pelaksana lainnya, kami melanjutkan pengangkutan ke ruang acara tempat panggung berada.
Lima menit sebelum pertunjukan dimulai, anak itu masih belum terlihat.
Pengaturan di atas panggung telah selesai. Meskipun tirai hitam memisahkan kami dari penonton, suara gaduh dan keributan dari arah penonton terdengar tanpa henti. Atmosfernya sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana hanya ada puluhan orang tua yang duduk.
Kami menunggu di belakang panggung. Suara Tomi-san yang menggemakan "Acara utama hari ini" pada penonton semakin terasa memudar.
Kecemasan, ketakutan, kritik pedas jika gagal, hilangnya seseorang yang menjadi pilar mental.
Mungkin lebih baik lari sekarang. Mungkin lebih baik tidak memulai sama sekali, agar tak ada yang terluka.
Sudah terlambatkah, bahkan jika aku sekarang berusaha sekuat tenaga?
Apa aku akan selamanya tidak dimaafkan olehnya?
......
......!!
Apa ini? Suara sorak-sorai yang begitu memekakkan telinga.
Gema yang seperti gemuruh dari dalam bumi.
Di tempat seperti Tabinagawa ini, gelombang sorakan yang begitu dahsyat seharusnya hanya terjadi saat acara seperti lomba olahraga.
Aku tak bisa lagi diam berdiri.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar menuju pintu masuk balai warga.
Sudah kuduga, itu kau.
Seorang wanita yang mengenakan kostum panggung datang dengan mengayuh sepeda roda tiga kesayangannya.
Apa-apaan si, anak ini.
Kenapa dia memancarkan aura seolah dia baru saja datang dengan sepeda motor besar?
Sambil dengan anggun mengibaskan rambutnya yang basah, dia melepas helm sepeda yang norak.
Meskipun dia dengan tenang mengunci sepedanya dengan rantai, tidak ada yang akan mencuri itu.
Jangan konyol. Aku tidak bisa mengendalikan diri.
Kelebihan zat kimia yang memicu kegembiraan membuat suasana hatiku menjadi kacau.
Meskipun dia muncul dengan cara yang begitu absurd, aku tidak bisa menghentikan getaran semangat yang memaksaku untuk gemetar.
Seriusan, dia terlihat luar biasa keren.
"Aku datang untuk membuat sedikit keributan."
Dengan wajah tenang yang nyaris tak terbaca, seperti topeng baja yang menutupi ekspresinya, dia mengatakan itu.
Namun, di balik topeng itu, terdapat api semangat yang tersembunyi.
Gadis ini, yang menatapku dengan mata yang jernih penuh keyakinan dan pengalaman yang telah ditempa adalah---Kiriyama Sayane.
Bersama Sayane, aku merasa kami bisa melakukan apa saja.
Kami bisa pergi sejauh apa pun.
"Ayo lakukan. Aku dan kau."
Sekarang, tidak ada lagi yang tidak mungkin.
Tidak peduli kecemasan atau rasa sakit apa pun, punggung Sayane akan menghapusnya.
Hanya untuk hari ini, bolehkah kami kembali ke lima tahun yang lalu?
Sorakan dan harapan yang hampir meledak itu adalah pertanda datangnya badai di Tabinagawa.
Menggenggam tangan Sayane, aku berlari naik ke panggung untuk memulai klimaks.
Gedung balai warga itu jelas-jelas sudah melampaui kapasitasnya. Saat aku dan Sayane mendorong diri melalui kerumunan penonton yang sangat banyak dan naik ke panggung, kami bertemu kembali dengan anggota lain yang sedang menunggu di belakang panggung.
Atas saran dari Emi-nee, kami berlima saling bergandengan tangan, membentuk lingkaran sederhana,
"Sepertinya ada orang bodoh dengan wajah cemas yang menungguku ya."
Sayane langsung melemparkan komentar pedas dan tajam ke arahku.
"Jangan-jangan......kalian semua sudah tahu kalau Sayane akan datang?"
Semua orang mengangguk dan tersenyum.
Ternyata benar, mereka sudah tahu......dan sengaja merahasiakannya dariku!
Sayane yang sudah memakai kostum sejak awal pasti karena Emi-nee diam-diam mengirimkannya sebelumnya.
"Pagi tadi aku mendapat email dari Sayane, tapi dia meminta agar aku merahasiakannya darimu."
Kejamnya. Kurasa hanya akulah satu-satunya yang merasa gugup dan khawatir.
"......Bukankah pemeran utama selalu datang terlambat biar terlihat paling keren?"
"Yang benar saja......"
Kata-kata Sayane yang dilontarkan tanpa rasa bersalah membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Sial.
"Singkatnya, ini adalah perasaan rumit gadis yang merasa harus tampil keren hanya untukmu, Shuu-kun---"
"---Ah!! Emilie-san!!"
Saat Emi-nee mencoba menjelaskan sambil tersenyum, Sayane mengancamnya seperti binatang buas.
Aku hampir tidak terdengar karena teredam oleh teriakannya......
"......Eh-hem, waktu bercandanya sampai di sini saja."
Oh, orang yang terlambat datang mulai mengatur sambil membersihkan tenggorokannya.
"Untuk kebaikan kampung halaman atau apapun itu tidak masalah bagiku. Aku bernyanyi karena aku ingin bernyanyi. Itu saja."
Kelima pasang mata saling bertemu, dan semua mengangguk.
Dalam keheningan aneh yang menyelimuti penonton yang menunggu pembukaan, aku mengatur napas sambil berteriak,
"Kita akan beraksi sampai terbakar habis!"
Suara teriakan langsung menggetarkan tenggorokan. Tangan yang saling menggenggam diangkat bersamaan dengan teriakan "Shaaa!!" dari semua orang, kemudian diturunkan dan dilepaskan.
Dengan kontak mata siap dari Tomi-san yang mengintip dari balik tirai, persiapan selesai. Tanpa orang ini, aku dan Sayane tidak akan bisa berdiri berdampingan. Semoga beberapa menit ke depan menjadi caraku untuk membalas budi.
Dan kemudian, tirai tebal perlahan-lahan terangkat.
Ribuan bintang yang bersinar tidak teratur menembus asap berwarna abu-abu, menciptakan langit malam buatan yang memukau.
Dari semua arah, cahaya lampu sorot yang sangat terang menyapu, hampir membakar retina. Asap tipis dari mesin asap menyoroti jalur cahaya secara berlebihan, menonjolkan suasana live yang megah.
Ini bukan lagi aula balai warga.
Sekarang, ini adalah panggung live di mana Kiriyama Sayane turun.
Jendela aula tertutup kain hitam, dan hanya lima orang lokal yang diterangi cahaya.
Gitaris dan bassist tersebar di kedua sisi. Drummer dan keyboardist mengawasi dari belakang. Penyanyi utama berdiri di tengah, mengambil mikrofon dari stand.
Karena backlight, sosok penonton hampir menyatu dengan kegelapan, hanya siluet yang terlihat dari panggung. Namun, energi dan harapan yang besar telah membuat setiap saraf di tubuh ini terikat dalam kegembiraan.
Hanya kami yang bisa menyalakan bubuk mesiu manusia yang membengkak ini.
Ayo ciptakan badai. Badai panas yang mengamuk.
Emi-nee mengangkat stiknya dan memukul hi-hat dengan empat hitungan.
Floor tom, snare, dan bass drum membentuk jalan, sesekali memasukkan low tom dengan tangan kiri.
Sebagai tanda fill-in, gitar dan bass yang satu setengah nada lebih rendah saling beresonansi.
Dasar yang dibangun oleh bagian ritme dilintasi oleh riff berat dan kecil yang nakal dari Liese, sementara dentingan bass rendah menghiasi backing.
Berdirilah. Semua orang yang duduk di kursi lipat, berdiri.
Sorakan yang meningkat sebanding dengan melodi yang semakin cepat, dan panas yang memantul seolah-olah ditolak. Lagi, lagi, terus buat suara yang semakin menggetarkan gendang telinga, dan dengan jari di keyboard.
Jangan puas dengan prelude. Begitu suara Sayane terdengar, retakan akan muncul dalam udara yang mengembang.
Tinju penonton yang terangkat dan teriakan keraslah yang memicu ledakan. Jiwaku bergejolak. Agar tidak kalah oleh arus sorakan, kita juga tidak akan berhenti beraksi.
Kepala bergoyang keras, membuat pandangan bergetar hebat.
Tensi Sayane mencapai puncaknya, dan badai melanda aula. Kumpulan sorakan besar yang diterangi oleh kilatan yang menyilaukan.
Orang-orang tua, dengan pinggang yang membungkuk, meneriakkan seolah-olah mengikis sisa umur mereka. Ternyata, Wakil Kepala Sekolah itu orang yang mengayunkan kepalanya seperti itu.
Begitu memasuki solo, jari-jari halus Liese melakukan tapping dengan presisi. Putaran tom cepat dari Emi-nee yang hampir merusak kepala drum, membuat seolah-olah kami bisa mendengar jeritan drum tersebut.
Mempesona. Ibu dan anak yang dicintai oleh musik menunjukkan penampilan mereka.
Menyulut. Terikan membakar dari Sayane adalah kasih sayang yang cepat yang mengundang ribuan penonton mencapai klimaks.
Lepaskan semua yang kalian miliki.
Karena kami, akan menampilkan puncak dari semuanya.
Lagu kedua adalah ballad yang menggambarkan perpisahan kekasih dan bunga sakura musim semi. Prelude dengan instrumen senar yang diganti secara teratur memberikan kesan melankolis ala Jepang. Dipicu oleh distorsi feedback dari Liese, sensasi tubuh dan semua pikiran mengerut seperti kesemutan.
Kedalaman dunia suara membuat kesadaran terbenam sepenuhnya.
Dengan memanfaatkan maksimal synthesizer ganda, dengan cekatan membedakan antara suara piano akustik dan string, membuat retina dan gendang telinga penonton terpaku.
Kerumunan manusia yang sebelumnya bersemangat kini berdiri tegak dan terfokus mendengarkan.
Sesekali, mataku bertemu dengan Emi-nee, ibuku, atau Liese. Bagaimana ekspresi wajahku? Apa aku tersenyum dengan sepenuh hati seperti mereka?
Butiran keringat yang menetes di atas keyboard memantulkan cahaya lampu dengan cara yang mistis. Masih belum cukup. Untuk mengembalikan lima tahun yang hilang, rasanya masih belum cukup.
Meskipun aku tidak bisa berjalan dengan kecepatan yang sama dengannya, dia berjalan dengan kecepatan yang sama denganku---sebuah keajaiban yang hanya ada di saat ini. Pemandangan ini, aku tidak akan pernah melupakannya seumur hidupku.
Suara nyanyian yang kuhapus dari ingatan, aku tidak akan pernah melupakannya.
Sambil terbenam dalam suasana yang tersisa, aku melirik dengan takjub. Delapan menit berlalu begitu cepat.
Apa benar kami memainkan dua lagu? Rasanya seperti tidak nyata, tapi tepuk tangan yang memecahkan telinga dan teriakan encore menunjukkan bahwa kami benar-benar menyelesaikannya.
Sementara aku berdiri di sana, tertegun, Sayane menarik gitar cadangan dari sisi panggung.
Dia memposisikan gitar di tangannya dan menarik dudukan mikrofon ke dekat mulutnya.
『---Perkenalkan. Aku adalah Sayan......Sayanero, pengangguran yang memimpikan debut besar』
Tanpa sadar, aku tertawa. Sayanero......setidaknya gunakan nama samaran yang lebih bagus.
Meskipun ini tampaknya merupakan pengaturan untuk mencegah identitasnya terungkap, penonton sudah lama mengetahui siapa dia sebenarnya. Sebagian besar dari mereka berteriak "SAYANEć¼!!"
『---Aku lahir dan dibesarkan di Tabinagawa ini. Ketika aku masih di sekolah dasar, aku mulai mengikuti kelas musik meniru teman masa kecilku, dan ketika kami SMP, kami......membuat lagu bersama.』
Tentu saja, dalam bentuk lampau.
『---Hari ini, hanya hari ini, aku merasa seperti kembali ke masa lalu......Aku bisa bernyanyi sambil sepenuhnya menikmati momen ini. Meskipun masih menyakitkan bernyanyi sendirian......Aku ingin menjadi lebih kuat agar suatu hari nanti aku bisa kembali di depan kalian semua......aku......』
Dari posisiku, ekspresi Sayane tidak bisa terbaca di panggung paling depan.
"---Ini lagu terakhir. 'be with you'"
Namun, suara Sayane bergetar, hampir akan menghilang. Salah siapa......ya.
Sayane yang membalikkan tumitnya, tersenyum tipis.
Gerakan bibir yang mengungkapkan nama lagu encore. Meskipun Sayane membelakangi kami lagi, ketika dia berbalik, sebuah tetes air mata yang mengalir di pipinya terbakar dalam ingatanku, mengukir rasa sakit di dadaku.
Lagu asli yang Sayane nyanyikan di SMP Tabi hari itu.
Jejak satu-satunya yang kami buat bersama, saat kami berdua ada di sana.
---Dari sini, semuanya dimulai.
Lampu utama dimatikan sepenuhnya, dan sorotan lampu mengarahkan fokus pada vokalis Kiriyama Sayane dan keyboardis Matsumoto Shuu.
Jari-jari menempel pada piano hitam-putih, memainkannya dengan lembut.
Dengan tangan kiri memetik akord dan tangan kanan menambahkan nada-nada tambahan, melodinya lembut, seolang sedang memeluk sang kekasig dengan hati-hati, sebuah kontras tajam dari lagu-lagu keras sebelumnya.
Sayane melantunkan suaranya dengan lembut mengikuti solo piano pembuka.
Meleburkan lirik dengan dirinya sendiri, atau mungkin dengan teman masa kecilnya, Sayane mengubah perasaan yang penuh gairah menjadi lagu. Saat chorus, pencahayaan panggung menyala, dan semua instrumen bersamaan membentuk kisah.
Gitar kembar yang ditambahkan Sayane saling bersilangan dengan indah, sementara drum dan bass yang bernada lambat dengan lembut mendukung punggung gadis yang rapuh.
Dia, menangis.
Mungkin, dengan berlinang air mata, dia menekan suaranya sebaik mungkin.
Aku hanya perlu menyampaikan suara Sayane.
Sampai aku selesai memainkan piano di akhir lagu, aku hanya akan menerima lagu yang dinyanyikannya.
******
Post a Comment for "Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 3.1"