Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 2.2

 

Bab Dua - Kalau Bisa Datang, Aku Bakal Datang. Itu Adalah Kalimat Dari Seseorang Yang Tidak Akan Pernah Datang




Sudah lama sekali sejak aku mengunjungi Sekolah Musik Sterling. 


Meskipun ini adalah sekolah musik, namun penampilannya sederhana, hanya sebuah rumah biasa dengan papan nama yang terpasang, tapi kurasa ada lebih dari 20 siswa di sana selama enam tahun di sekolah dasar saat aku dan Sayane bersekolah di sana.


Pelajaran yang diberikan sebagian besar adalah pelajaran piano, tapi ada juga kursus instrumen senar dan perkusi bagi mereka yang menginginkannya. 


Ketika kami dipersilahkan untuk masuk, aroma nostalgia tercium di udara. Aroma unik dari rumah orang lain mengeruk lebih banyak kenangan. Kami menyapa orang tua Emi-nee yang sedang bersantai di ruang minum teh, dan kemudian pergi ke ruang belajar yang kedap suara, yang biasanya digunakan untuk bermain alat musik.


"Shuu-kun dan Sayane-chan pasti merasa nostalgia, kan? Kalian berdua sering ke sini bersama."


Emi-nee yang sudah bersiap di ruangan itu sebelumnya, melihat sekelilingnya seakan-akan mengingat masa lalu. Ada sebuah piano besar, alat instrumen petik seperti gitar, dan bahkan satu set drum yang lengkap.


Ada juga deretan lengkap alat musik klasik lainnya, layaknya sekolah musik. Sepertinya ini adalah barang-barang pribadi milik orang tua Emi-nee, yang memang berasal dari keluarga musisi.


"Apaan, ruangan ini......? Genre musiknya saling bertarung.......?"


Meskipun itu adalah rumah orang tua istrinya, Tomi-san yang rupanya baru pertama kali menginjakkan kaki di sini sangat terkesan. 


"Seperti biasa, selera Emi-nee juga bercampur aduk, ya......"


"Eh? Semua orang menyukai hal semacam ini kan!? Banyak teman wanitaku yang menyukainya!"


Dinding dan langit-langitnya dihiasi dengan host dengan alat musik......ngga, poster band visual kei, dan raknya penuh dengan CD dan DVD. Hobi Emi-nee telah mengikis sekitar separuh atmosfer Barat, seperti musik klasik yang dikoleksi orang tua Emi-nee.


Banyak dari band-band tersebut berada di masa kejayaannya saat Emi-nee, yang seangkatan dengan Tomi-san, masih duduk di bangku SMP dan SMA.


"Ngga! Emilie! Bukankah ini ruangan paling keren yang pernah ada!"


Sementara kebanyakan orang bereaksi biasa saja, hanya mata ibuku yang berbinar-binar. 


"Aku tahu kamu akan paham dengan ini, Iyori-san♪"


Keduanya saling cocok, dan percakapan visual-kei pun berlangsung. Aku anaknya, tapi aku tidak tau......kalau ibuku menyukai jenis musik ini.


Generasi mereka berbeda, jadi sepertinya mereka memiliki band favorit yang berbeda.


"Karena itu, Iyori-san, tolong ikut tampil di pertunjukan musik ini♪ Kamu pernah main bass elektrik pas SMP kan?"


Tiba-tiba, Emi-nee memegang bass. Dia memalingkan pipinya ke arah ibuku, yang menatapnya dengan senyum lebar.


"Emilie......dari mana kau mendapatkan informasi ini?"


"Tempat ini pedesaan kecil, jadi kalau mengobrol dengan teman-teman seangkatan Iyori-san, kita akan langsung tau♪ Seperti ibunya Sayane-chan?"


"Wanita itu......! Dia menyebarkan informasi pribadiku ke mana-mana!"


Kalau dipikir-pikir, ibu Sayane juga yang membocorkan sejarah hitam Sayane pada Tomi-san.


"Aku dengar Iyori-san dan teman-temannya adalah orang-orang yang memulai tradisi band dan musik di antara para siswa SMP Tabi?"


"Jangan bicarakan hal itu. Itu adalah kecerobohan masa muda."


"Aku juga sempat melihat album kelulusannya♪ Iyori-san, kamu mengenakan riasan yang sangat mencolok di festival buday---"


"Yosh! Ayo lakukan! Aku akan melakukan bagianku!"


Ibuku dengan setengah putus asa menerima bass dari Emi-nee. Aku ingin melihatnya! Sejarah hitam Ibu! Dia tidak akan pernah mengizinkanku melihat album kelulusannya......


Benar-benar kuat. Ibu Sayane, dia terlihat lemah lembut, tapi dia kuat. Database Tabinagawa sangat buruk karena keamanannya lemah.


"Shuu-kun dan Sayane-chan, kalian lumayan tahu genre ini, kan? Bagaimanapun kalian sudah kudidik sejak usia dini."


"Aku ingat dipaksa untuk mendengarkan mereka, atau dipaksa untuk berlatih lagu-lagu yang disukai Emi-nee. Yah, ada beberapa band favorit yang masih kudengarkan sampai sekarang."


Tehehe♪ Emi-nee menjulurkan lidahnya dengan lucu, jadi aku membiarkannya.


"Guru lesku ibu Emi-nee, tapi kamu juga mendengarkan permainan pianoku."


"Aku senang karena Shuu-kun yang sudah seperti adikku sendiri mengandalkanku. Atau jangan-jangan, aku mengganggu?"


"Tidak, malahan aku senang dengan dorongan dan kata-kata penyemangatnya. Selain itu......"


"Ya ya, selain itu?"


Emi-nee yang penasaran mendekatkan wajahnya yang cantik ke wajahku dengan penasaran.


"Saat aku masih SMP, Emi-nee yang dewasa sudah seperti kakak perempuan bagiku, dan aku sangat mengaguminya."


"Yaah, senang mendengarnya♪"


Tiba-tiba kepalaku ditepuk dan suasana hatiku jadi sangat gembira. Padahal aku sudah 20 tahun sekarang, tapi aku akan selalu menjadi adik bagi Emi-nee, kuyakin.


"Kurasa bagi Emi-nee, aku seperti salah satu dari sekian banyak muridnya."


Aku tertawa getir,


"Satu-satunya yang kuajari piano secara privat adalah Shuu-kun, lho?"


"......Benarkah!?"


Ini dia, onee-san tetangga sebelah. Seseorang dengan pesona yang membuatku langsung jatuh cinta padanya.



Sha~~~~n!!!



Sebuah suara dentuman logam yang memekakkan telinga terdengar.


"Waktu istirahat sudah lama berakhir, bukan?"


Sayane membuat senyum palsu yang meyilaukan secara terang-terangan. Sepertinya dia memukul simbal drum. Dia menghentikan simbal yang masih sedikit bergetar dengan jari-jarinya dan memelototiku.


Anak itu menghindari untuk menyebutkannya, tapi kemarahannya menguar di udara. Diam-diam marah, yang satu ini. Aku tahu itu.


"Kiyo bodoh, istrimu lagi digoda sama NEET hikikomori itu lho?"


"Ah, ga boleh. Ini ngga bagus. Emilie mudah tergoda oleh orang yang ngga berguna."


Kenapa sih aku harus kena marah...... Maksudku, apa sih yang dikatakan mantan berandalan yang menggoda Emi-nee ini.


"Aku ingat sekarang! Pada hari pertama pelajaran, Sayane-chan sama marahnya seperti sekarang, bukan?"


"......!?"


Mata Sayane membelalak dengan panik,


"Saat aku sedang mengurusi pelajaran Shuu-kun, Sayane-chan bilang, 'Aku mau main piano bareng Shuu juga!' terus nangis---"


"A----h! A----h! Ampuni aku......"


Sambil mengepakkan kedua tangannya, dia mencoba sekuat tenaga untuk menghilangkan kenangan yang dibicarakan Emi-nee.


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Kalau dipikir-pikir, sepertinya itu pernah terjadi......Aku masih duduk di bangku awal-awal SD, jadi itu hanya pecahannya saja.


Keadaan saat ini kami bahkan tidak melakukan percakapan yang layak, jadi menurutku Sayane tidak akan marah tentang hal seperti itu.


"Persiapan sudah selesai. Aku siap kapan saja."


Liese telah selesai menyiapkan efektor dan ampli. Dengan bangga dia memegang gitar listriknya, yang memancarkan warna biru tua. Ibuku juga sudah bersiap-siap dan memegang bass yang sudah disetel.


Mereka berdua adalah komposisi yang sempurna. Mereka penuh dengan kepercayaan diri dan sikap mereka yang mengesankan adalah pemandangan yang harus dilihat.


"Aku juga sudah."


Sayane, di sisi lain, telah menyelesaikan latihan vokalnya dan berdiri di depan stand mic.


"Oh? Sayane ngga main gitar? Kau biasanya nyanyi sambil main gitar akustik kan?"


"Udah ada Liese yang main gitar, jadi kupikir aku akan memintanya untuk berkonsentrasi pada vokal hari ini. Saat kita menyanyikan lagu-lagu dengan gitar kembar, aku akan meminta bantuannya."


"Kurasa aku bisa menyanyikan beberapa lagu di CD di ruangan ini. Aku juga dididik oleh Emilie-san dengan sangat baik."


"Yaah , senangnya pendidikanku yang rajin membuahkan hasil."


Meskipun pendidikan visualnya semi-wajib.


"Kalau gitu, Shuu-kun, kamu juga bisa bermain, kan? Keyboard♪"


Emi-nee tersenyum, tapi ada keseriusan yang tersembunyi jauh di matanya. Di depanku ada satu set keyboard ganda yang dipasang pada dudukannya.


Bukannya.......aku ngga bisa memainkannya. Partitur yang diberikan Emi-nee adalah sebuah lagu band yang dia suruh aku latih berulang kali, dan aku kira-kira mengingat cara memainkannya di otakku.


"A-Aku......"


Tapi aku sudah menjauh dari keyboard selama lima tahun. Aku sudah membuangnya dari ingatanku.


"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu seberapa besar ketertarikan Shuu-kun pada musik. Bukan soal pandai atau tidak, tapi aku ingin kamu memainkannya......ingin tau apakah kamu bisa menghadapinya atau tidak."


"Aku mengerti......"


Saat aku terbawa suasana, aku memainkan keyboard untuk pertama kalinya dalam lima tahun. Emi-nee sudah jadi instruktur Spartan yang seperti yang dulu. Dalam hal ini, tidak akan ada kompromi.


Sensasi jari-jariku pada keyboard monokrom membangkitkan kenangan manis dan pahit.


"Sayane-chan, sebelumnya kamu mengatakannya, kan? Bisakah kita meningkatkannya ke tingkat di mana kita bisa melakukan pertunjukan live dalam seminggu?"


Emi-nee berjalan ke arah set drum dan dengan tenang duduk di kursinya.


"Baiklah, Liese, ayo kita tunjukkan. Keajaiban juru selamat, pertarungan pedang atas nama musik.


"Nama sang juru selamat itu Lieselotte. Aku datang ke sini."


Ibunya begini dan anaknya begitu.


Mata Emi-nee, yang selama ini menjadi simbol ketenangan, berubah menjadi mata yang berkilau dan mempesona.


---Sosok yang berkuasa di tengah-tengah adalah teman masa kecilku, Kiriyama Sayane. Dia juga menajamkan tatapan tulus dan perilakunya sebagai seorang penyanyi-penulis lagu profesional.


"Iyori-san juga ada waktu ngga main......tapi ngga masalah, bukan?"


"Tentu saja. Kau pikir aku siapa."


Mulut Ibu menyeringai, seolah-olah darah masa lalunya yang kelam mendidih. Aku tidak pernah menyangka dia akan terlihat begitu keren dengan pakaian kerja toko gasnya.


Dalam keheningan, disaksikan oleh Tomi-san yang menjadi penonton dan orang tua Emi-nee yang datang mengintip karena penasaran, Emi-nee memukul hi-hat dengan stik dan menghitung mundur.


Kehadiran keyboard dan bass menciptakan pendahuluan bass yang dalam, dan gitar bernada tinggi secara alami mengintervensi. Drum yang mengawali awal lagu mengguncang udara secara spektakuler.


Sebuah klimaks sejak awal.


Drum mengalahkan jiwa dan menyebarkan ritme bersama dengan bass, dan mengaduk-aduk nada bass yang sangat dalam. Gitar Liese menegaskan kehadirannya yang luar biasa. Jari-jariku, menekan tuts, mencoba untuk tidak terguncang, mengambil langkah yang membosankan. Aku tidak bisa mengikutinya. Jemari yang tadinya menari seketika berubah menjadi belenggu.


Permainan drum Emi-nee masih berjalan. Dan terus berjalan. Menempatkan dirinya pada tensi yang tinggi, tidak takut membuat kesalahan.


Masih belum, masih belum.


Dimulai dengan permainan Emi-nee, teriakan nyanyian Sayane mengguncang ruangan.


Dia bukan SAYANE yang bernyanyi dengan indah di depan penonton, tapi sebagai seorang Kiriyama Sayane, melontarkan liriknya saat emosinya berteriak. Dengan gelombang suara yang tampaknya bahkan melampaui gitar yang terdistorsi.


Kemarahan, frustrasi, kerapuhan. Aku merasa seperti aku yang dihantam olehnya.


Emi-nee, Liese dan ibuku, yang dengan keras mengayunkan badan mereka ke depan dan ke belakang. Aku berada di batas kemampuanku hanya untuk menelusuri bagianku, tapi aku mati-matian mencoba untuk menghasilkan suara-suara kosong.


Peralihan yang lambat di antara nada. Tangan kiri menyentuh wheel, tapi efek yang ideal tidak terjadi. Kalau aku memikirkannya, itu akan terlambat. Namun, tanpa banyak latihan untuk bisa menanggapinya, dan nada senar yang kosong, mandek seperti benda asing.


Suara-suara yang jatuh dari keyboard ibarat penyakit yang mengintai di tubuh. Menyusup, mengikis, dan menghancurkan dari dalam. Belum selesai kah? Lagunya belum selesai kah?


Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bermain. Di dunia yang sunyi, aku terus menekan tuts.


Seorang medioker tidak bisa mengimbangi.


Kecepatan yang luar biasa dari seorang jenius. Aku tidak bisa berjalan di sampingnya dengan kecepatan yang sama.


Sebaliknya, aku akan menyeretnya ke bawah. Itu sebabnya aku mendorong diriku menjauh. Karena aku benar-benar takut ditinggalkan.


Hanya aku yang tidak bisa mengikutinya. Aku satu-satunya yang tertinggal oleh kecepatan orang-orang di sekitarku.


Aku tahu bahwa lagu berdurasi empat menit itu adalah siksaan atas rasa rendah diriku---titik terendah yang selama ini kuhindari.


Tanpa sadar, tepukan tangan Tomi-san dan orang tua Emi-nee terdengar.


Tapi aku tidak banyak berbuat apa-apa. Tepuk tangan ini juga merupakan hadiah yang didapat oleh empat orang lainnya, kecuali aku. Aku bahkan tidak punya hak untuk menyentuh pertunjukan musik para elit.


"......Ngga bagus. Hanya suara musik Shuu yang......memekakkan telinga dan mengganggu."


Sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, Sayane terdengar kejam saat mengatakannya.


"Seperti kata Emilie-san, ini ngga ada hubungannya dengan teknik. Ini tentang melarikan diri dari musik, dan dariku, dengan cara yang menyedihkan......dan aku bisa merasakannya dalam suara yang bodoh itu."


"Kalau aku ngga ada......kau mau bernyanyi?"


"......Sebaliknya aku akan bernyanyi kalau kau ada. Tapi aku sangat benci......dirimu yang sekarang."


Kata-katanya kontradiktif saat dia berjalan pergi. Apakah itu artinya dia masih......mengharapkan sesuatu dariku? Aku tidak tahu. Padahal lebih mudah kalau kau menyerah padaku, padahal kau punya banyak alasan untuk menjauhiku.


Aku tidak tahu apakah masih sempat sekarang. Mungkin tidak mudah bagi seorang pria NEET hikikomori untuk berjuang, tapi, sekali saja, kalau saja aku bisa menjadi benar-benar bersemangat pada satu hal dan bisa menjadi bantuan kecil bagi Tomi-san dan masyarakat setempat.


Aku ingin tahu apakah hidupku yang sampah ini punya arti.


"Emi-nee......bisakah aku kembali menjadi muridmu lagi, hanya untuk seminggu ini?"


Kalau masa muda yang hilang setelah mengulur-ulur waktu begitu lama, ngga masalah kalau perjuangan sebelum akhir berlangsung lebih lama.

******


Post a Comment for "Kimi no Wasurekata wo Oshiete [LN] J1 Bab 2.2"