Maigo ni Natteita Youjo wo Tasuketara [LN] J2 Bab 4.3
Bab 4 - Obrolah Rahasia Antara Gadis Cantik Pindahan Dengan Gal
"---Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"
Setelah berpisah dari Charlotte-san dan yang lainnya, Akira dan aku pergi ke taman, dan aku segera masuk ke topik utama.
Meskipun aku bertanya, aku punya gambaran kasar tentang apa yang ingin ia bicarakan dari perilakunya.
Waktunya telah tiba ketika kami harus mendiskusikan sesuatu yang telah kami tunda sampai sekarang.
Akira menatap wajahku dengan saksama sejenak, lalu tampak merenungkan sesuatu.
Ia mengatakan ada sesuatu yang ingin ia bicarakan, tapi ia sepertinya ragu-ragu apakah boleh menanyakannya.
Setelah beberapa saat, ia sepertinya telah mengambil keputusan.
Lalu, dengan ekspresi serius, Akira menatap langsung ke mataku dan perlahan membuka mulutnya.
"Hei, Akihito. Apa kau......berpacaran dengan Charlotte-san?"
"Ya, aku---Eh?"
Aku sudah menduga akan ditanya, "Apa kau menyukai Charlotte-san?" Namun, aku terkejut dengan pertanyaan tak terduga dari Akira dan mengeluarkan jawaban yang terdengar bodoh.
Karena tidak bisa memahami maksudnya, aku menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Yah, maksudku, Charlotte-san terus melihat ke arahmu, dan kalian berdua duduk berdekatan, pundak kalian hampir bersentuhan. Itu tidak benar-benar normal, kan?"
......Seperti yang kuduga, jarak antara Charlotte-san dan aku terlalu dekat.
Aku juga berpikir demikian, tapi sejujurnya, aku senang dan tidak bisa berkata apa-apa.
Di samping itu, Charlotte-san juga tampak agak senang, yang membuatnya semakin sulit untuk mengatakannya.
Namun, kalau memang akan seperti ini, aku seharusnya menjaga jarak.
"Alasan kami duduk begitu dekat adalah karena kami bertiga duduk berdampingan, kan? Itu cukup normal ketika tempat duduknya sangat sempit, bukan?"
"Lalu, bagaimana dengan Charlotte-san yang memegang pakaianmu?"
"Hah......?"
"Kau tahu aku bisa melihat sesuatu dari pandangan mata burung, kan? Aku bisa melihat kalau dia memegang lengan bajumu sepanjang waktu sekitar setengah jalan."
Akira tidak terlihat marah, tapi ia tersenyum kecut dengan ekspresi jengkel.
Aku bisa merasakan perasaan pasrah darinya.
Pandangan mata burung---untuk melihat segala sesuatu dari atas, seakan-akan melihat ke bawah dari tempat yang tinggi.
Memiliki perspektif seperti itu adalah salah satu keterampilan yang diperlukan oleh seorang pemain sepak bola yang hebat.
Lebih tepatnya, memiliki keterampilan seperti itu memungkinkan potensi untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat.
Untuk dapat melihat sesuatu dari pandangan di atas kepala tidak secara harfiah berarti melihat sesuatu dari langit, tapi lebih tepatnya, otak mengubah informasi yang diterima oleh mata dan memungkinkanmu untuk memahami ruang seolah-olah melihat ke bawah dari atas.
Kemampuan itu adalah sesuatu yang dimiliki Akira sejak kecil dan aku sudah melupakannya sejak kami berhenti bermain sepak bola bersama.
"Begitu, ya......Aku tidak tahu harus berkata apa......Kami tidak berpacaran."
Menyadari bahwa tidak mungkin untuk terus berbohong, aku memutuskan untuk jujur.
Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak merasa bersalah, dan jika aku dihukum, maka aku tidak bisa mengeluh.
"Kami tidak berpacaran, tapi kupikir kami dekat. Dan kami memiliki sedikit hubungan pribadi."
"Begitu, jadi seperti itu......Aku mengerti kenapa kau ingin menyembunyikannya, dan hanya karena kita adalah teman baik, bukan berarti kau harus menceritakan semuanya padaku."
Akira berekspresi galau sebelum akhirnya tersenyum.
Aku tahu bahwa ia berusaha untuk menahannya, tapi aku berterima kasih atas pertimbangannya.
Aku tidak keberatan melakukan percakapan yang berat dengan orang yang tidak dekat denganku, tapi aku lebih suka tidak melakukannya dengan orang terdekatku.
"Maaf, meskipun aku tahu perasaanmu, aku memutuskan untuk diam......"
"Seperti yang aku katakan, kau tidak perlu menceritakan semuanya, oke? Jangan khawatir tentang hal itu."
"Ya......Tapi setidaknya izinkan aku mengatakan ini. Aku minta maaf karena menyembunyikannya darimu."
Aku menunduk pada Akira tanpa memberikan alasan.
Kemudian, ia menggaruk pipinya dengan jarinya dan membuka mulutnya dengan tatapan gelisah.
"Karena itulah aku bilang untuk berhenti meminta maaf. Sebenarnya, ini lebih seperti, aku mengerti sekarang, bahwa itulah yang terjadi"
"Hmm? Apa yang kau bicarakan?"
"Yah, maksudku, kau----er sebenarnya, apa tidak apa-apa bagi orang luar sepertiku untuk mengatakannya...?"
Saat aku memiringkan kepalaku, Akira berhenti bicara seolah ia menyadari sesuatu dan mulai bergumam sendiri.
Kenapa ada begitu banyak orang di sekitarku yang berbicara sendiri?
Apa aku penyebabnya......?
"Hei, Akihito."
"Ada apa?"
"Aku---telah memutuskan untuk menyerah pada Charlotte-san."
"......Hah?"
Aku hanya bisa menatap wajahnya, meragukan telingaku atas apa yang telah kudengar.
Di tengah-tengah semua ini, Akira, dengan senyum yang menyegarkan, meletakkan tangannya di pundakku.
"Aku akan menyerahkan Charlotte-san padamu, Akihito. Jadi, lakukan yang terbaik untuk mendapatkannya."
Sekali lagi aku tidak bisa mempercayai apa yang ia katakan.
Menyerahkan Charlotte-san padaku...?
Apa sih yang ia pikirkan......?
"Apa yang kau bicarakan? Akira, kau menyukai Charlotte-san, kan?"
"Aku tidak tertarik padanya lagi."
"Yang benar saja......?"
Tidak mungkin aku mempercayainya padahal ia sudah berusaha keras untuk mendapatkan perhatian Charlotte-san selama ini.
Ia jelas hanya berusaha menahan diri demi aku.
"Apa kau pikir aku akan senang jika kau melakukan itu? Jika kau akan menyerah padanya, aku---"
"Dan kau, apa kau bercanda? Jika kau melakukan itu, aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
Akira pasti mengerti apa yang ingin kukatakan, dan ia memelototiku seolah-olah menantangku.
"Bukankah kau yang mengungkitnya pertama kali......?"
"Ya, tapi posisi kita berbeda, bukan? Tidak peduli seberapa keras aku mencoba mendekatinya, Charlotte-san selalu membuat tembok di antara kami. Tapi kau, Akihito, memiliki hubungan yang baik dengannya. Aku tidak tahu hubungan pribadi seperti apa yang kamu miliki dengannya, tapi jelas bahwa dia mempercayaimu. Itulah kenapa menyerah memiliki arti yang sangat berbeda bagi kita."
Tentu saja, seperti yang dikatakan Akira, Charlotte-san tampaknya masih menjaga dinding antara dirinya dan teman-teman sekelasnya.
Dia gadis yang pendiam dan baik hati, jadi dia tidak menolak mereka, tapi ada sesuatu yang jauh dari dirinya.
Mungkin itulah yang dimaksud oleh Akira.
"Memutuskan untuk menyerah atau tidak hanya karena hal itu sedikit konyol, bukankah begitu......?"
"Itu bukan satu-satunya alasan. Aku pikir lebih baik seperti ini. Kau bisa membuat Charlotte-san bahagia, dan pasti ada lebih banyak harapan bersamamu. Tapi dalam kasusmu, itu berbeda, bukan? Kau ingin menyerah karena kau merasa bersalah padaku, kan?"
"............"
Kata-kata Akira tepat mengenai sasaran, dan aku terdiam. Melihat wajahku, Akira berbicara dengan senyum sedih.
"Hei, Akihito. Apa kau bisa menyebut hubungan di mana salah satu pihak merasa bersalah kepada pihak lain sebagai persahabatan? Apa itu masih disebut 'persahabatan' jika orang lain dibebani rasa bersalah?"
"Apa yang ingin kau katakan......?"
Akira menarik napas dalam-dalam menanggapi pertanyaanku.
"Sampai kapan kau akan terjebak di masa lalu......? Cedera kakiku bukan salahmu! Itu karena aku yang ceroboh! Kekalahan memalukan kita di turnamen nasional bukan karena kau tidak ada di sana! Itu karena kami terlalu mengandalkanmu dan kehilangan ketenangan! Namun, sampai kapan kau akan terus menanggung rasa bersalah sendirian......?! Menempatkan dirimu pada posisi seseorang yang dirundung rasa bersalah dan menanggung beban seperti itu, padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun......!"
Akira berteriak keras dengan ekspresi yang sangat menyakitkan.
Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, terakhir kali aku bertengkar dengan Akira mungkin saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Kenapa kau pikir ini bukan salahku......? Semuanya adalah salahku. Karena itu aku harus menebusnya."
"Kenapa harus seperti itu......? Menyakiti dirimu sendiri dan mengangkatku---ayolah, sadari saja! Aku tidak mau seperti itu......!"
"Akira......"
Aku tercekat melihat sahabatku dengan ekspresi yang begitu sedih, seakan-akan hampir menangis.
Apa ia kesakitan karena apa yang telah kulakukan......?
Tapi tetap saja---
"Aku telah merenggut masa depan banyak teman......dan menyakiti orang-orang penting. Aku harus menebus kesalahan itu."
Baca novel ini hanya di Musubi Novel
Akira adalah korban terbesar, tapi masih banyak korban lainnya.
Aku tidak bisa melupakan mereka begitu saja.
"Si bodoh yang tak tahu diri ini......!"
"Maafkan aku. Sebagai gantinya, aku akan berhenti berusaha membesarkanmu."
Tak ada yang bisa kulakukan jika Akira terluka karenanya.
Kami harus berhenti jika itu hanya akan berubah menjadi pelecehan.
"Apa yang akan kau lakukan pada Charlotte-san?"
"Yah, itu---"
"Jika kau bilang kau menyerah, aku akan mengakhiri persahabatan kita di sini."
"Akira......Aku tidak mengerti, kenapa kau begitu putus asa......? Apa yang kau dapat dari mengatakan hal itu?"
"Ini bukan tentang keuntungan atau semacamnya......! Aku hanya ingin sahabatku bahagia! Aku ingin kau berhenti terjebak di masa lalu dan melihat ke depan......! Apa itu sangat aneh......!"
Aku mengerti perasaannya dan apa yang ingin ia katakan.
Aku juga ingin Akira bahagia.
Tapi---kenapa ia harus menyerah......?
Itu yang tak bisa kumengerti.
"Kalau begitu, jangan menyerah juga, Akira. Itu aneh, kan?"
"......Kalau aku tidak menyerah, kau akan menahan diri untukku, kan......"
"Pada akhirnya, ini adalah salahku, bukan......?"
Merasa tak berdaya, aku hanya bisa tertawa.
Kemudian, Akira melonggarkan cengkeramannya di pundakku dan menatapku dengan ekspresi serius.
"Hei, Akihito? Mungkin kau hanya takut menyadari kebenarannya, dan jauh di lubuk hatimu, kau sebenarnya sudah tahu, bukan? Seperti, bukankah itu sudah diselesaikan? Apa kau menyuruhku untuk terus mengejar cinta yang tidak akan pernah menjadi kenyataan?"
"Itu..."
Terpukul oleh kebenaran kata-katanya, aku kehilangan kata-kata.
"Aku sudah tahu......Kita sudah bersama untuk waktu yang lama, kau tahu? Sama seperti bagaimana kau memahamiku, aku juga memahamimu, Akihito."
"Tapi, itu mungkin masih kesalahpahamanku......"
"Bahkan jika itu yang terjadi, aku tahu aku tidak punya kesempatan. Ini adalah kesempatan yang baik bagiku untuk mengganti persneling dan melanjutkan hidup. Jadi, Akihito, kau sebaiknya melakukan yang terbaik juga. Kita cukupkan sampai di sini dulu."
"Akira......Aku mengerti. Jika itu keputusanmu, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Dan, terima kasih,"
Aku berterima kasih pada sahabatku, yang menekan perasaannya sendiri dan menyemangatiku.
Tapi aku harus mengatakan ini juga.
"Yah, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Charlotte-san, kan?"
Akira bilang ia akan menyerah, tapi itu tidak termasuk perasaan Charlotte-san.
Bisa saja ia memilih orang lain selain aku atau Akira.
Aku mengatakan hal yang sama, tapi entah kenapa, Akira malah membuat ekspresi tercengang.
"Aku benar-benar ingin meninju wajahmu sekarang."
Dan kemudian, ia mengeluarkan pernyataan yang mengkhawatirkan.
"K-Kenapa tiba-tiba?"
"Ya, aku tidak pernah benar-benar memahaminya. Dulu kau dijuluki "Penguasa Lapangan," dan kau sangat berani dan tak kenal takut. Tapi kalau soal cinta, kau tidak tahu apa-apa dan kurang percaya diri."
"H-Hei!? Sebaiknya kau tidak memanggilku dengan julukan itu di depan orang lain!? Aku sudah membencinya sejak SMP!"
"Yah, saat itu, kita semua memiliki kekaguman seperti itu, jadi itu bukan masalah besar, kan? Semua orang mungkin akan berpikir kami hanya berada di usia itu atau semacamnya."
"Itu membuatnya terdengar seperti aku yang membuat mereka memanggilku seperti itu!? Aku diejek oleh pelatih dan senpai kami karena julukan yang mereka berikan padaku, kau tahu!?"
Teringat kenangan pahit saat SMP, aku berusaha keras membujuk Akira.
Pada akhirnya, bahkan anak-anak yang datang untuk menyemangati pertandingan pun memberikan senyuman kecut dengan julukan itu.
Ini seperti suatu bentuk pencemaran nama baik.
"Haha, aku mengerti, aku mengerti. Bagaimanapun, senang melihatmu menatap ke depan."
"Kau......Jangan pernah memanggilku dengan julukan itu, oke?"
"Aku tahu. Baiklah, aku akan pergi sekarang. Kalau aku tidak berpartisipasi dalam pesta yang aku sarankan, aku pasti akan dimarahi."
"Benar juga......Oomong-omong, boleh aku menanyakan sesuatu yang telah menggangguku selama ini?"
"Hmm? Ada apa?"
"Akira, kau sudah mencari pacar, tapi kau menolak semua undangan dari para penggemarmu, kan? Ada beberapa gadis cantik di antara mereka, dan bahkan ada yang sesuai dengan tipemu, kan? Kenapa kau menolak mereka?"
Ia biasanya kehilangan ketenangannya saat mengejar pacar, tapi ia tidak pernah membuat penggemarnya bergerak.
Aku bisa mengerti jika ia seorang profesional, tapi Akira sudah seperti ini sejak SMP.
Aku tidak bisa memahami kontradiksi ini, tapi ia memberikan senyum tak berdaya sebagai jawaban atas pertanyaanku.
"Ya, satu-satunya hal yang dilihat oleh para penggemar adalah pemain sepak bola dalam diriku, bukan? Mereka tidak melihat kepribadianku atau apa pun, itu lebih seperti kekaguman atau semacamnya. Aku merasa tidak akan berhasil kalau aku mengencani gadis seperti itu. Akihito, kau juga merasakan hal yang sama, kan?"
Oh, begitu, jadi begitulah.
"Itu benar. Bermain sepak bola adalah bagian dari diriku. Akan sangat mengecewakan kalau aku dinilai hanya berdasarkan hal itu."
"Ya, itu benar. Sekarang, aku benar-benar harus pergi. Akihito, apa kau benar-benar tidak akan datang?"
Akira meregangkan punggungnya dan memeriksa ulang, tapi keputusanku tidak berubah.
"Ya, bersenang-senanglah."
"Baiklah. Jadi kau dan Charlotte-san akan pergi bersenang-senang berdua, huh?"
"A-Apa!? T-Tidak, tidak seperti itu! Dan caramu mengatakan itu tadi benar-benar aneh! Kau menyiratkan sesuatu yang aneh, kan!?"
Terkejut dengan jawaban Akira, aku hanya bisa marah sambil merasakan wajahku memanas.
Kemudian, Akira menyeringai nakal.
"Apa maksudmu dengan 'sesuatu yang aneh'? Kau sedikit cabul, ya?"
"Kau......!"
"Haha, sudah lama sekali aku tidak melihatmu begitu bingung, Akihito. Sangat menyegarkan untuk dilihat. Kalau begitu, aku pergi dulu."
"Hei, Akira......! Cih, cepat sekali......!"
Dengan melambaikan tangannya, Akira berlari dengan kecepatan yang bisa menyaingi seorang atlet top.
Punggungnya semakin mengecil, sampai ia berada cukup jauh sehingga suaraku tidak bisa lagi menjangkaunya.
"Dasar......"
Aku menghela napas sambil melihat sosok sahabatku yang menghilang.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku seperti itu......"
Meskipun aku tahu itu tidak akan sampai padanya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya.
Namun, hatiku terasa segar.
Ini tidak seperti semuanya telah terselesaikan, ini hanya sebagian kecil saja, kurasa.
Namun, aku merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundakku.
Setidaknya, aku merasa bisa menghadapi Charlotte-san tanpa rasa bersalah mulai sekarang.
"Terima kasih, Akira."
Meskipun aku tahu ia tidak bisa mendengarku, aku berterima kasih pada sahabatku yang telah membuat keputusan untukku, dan mencoba menghiburku dengan senyumannya yang cerah.
Akhir Bab 4
novel ini bagus, tapi semakin gw baca novel ini, semakin gw sadar kalo gw menyedihkan
ReplyDeletebtw, semangat min