Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J3 Bab 6.3

Bab 6 - Keputusan Dia




Bulan berganti dan saat itu sudah lewat tengah hari pada tanggal 1 November---


Aku dan Aoi-san pergi ke apartemen tempat Aoi-san tinggal bersama ibunya.


Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari kerja dan sekolah sedang berlangsung, tapi kami membolos  karena ada keadaan kami sendiri.


Aku merasa tidak enak pada semua orang di kelas karena membolos saat festival sekolah tinggal dua minggu lagi, tapi untuk hari ini aku menyerahkan persiapannya pada Eiji dan Izumi dan memprioritaskan Aoi-san.


Meski mereka mengatakan bahwa mereka akan menjelaskan dengan baik pada semua orang di kelas, tapi.......


Yang mengejutkanku, mereka dengan jujur mengatakan bahwa alasanku bolos sekolah adalah demi Aoi-san.


Meskipun mereka tidak memberi tahu secara rinci, kupikir hal itu tidak akan diterima, tapi terlepas dari kekhawatiranku, teman-teman sekelas kami sangat antusias, mengatakan 'Jika itu masalahnya, absen terus juga tidak apa-apa!'.


Rasanya, antusias mereka jadi seperti Izumi, dan aku hanya bisa berterima kasih pada mereka.


Tapi hari ini adalah terakhir kalinya aku akan merepotkan semuanya.


"Apa semuanya baik-baik saja ya......?"


Aoi-san yang ada di sampingku menatapku dengan wajah cemas.


Wajar jika dia merasa cemas tentang apa yang akan terjadi.


"Jangan khawatir. Serahkan saja pada kami."


Aku dengan lembut menggenggam tangan Aoi-san, berharap bisa sedikit meredakan kecemasannya.


"Ya......."


Saat Aoi-san balik menggenggam tanganku.


Pintu perlahan-lahan terbuka bersamaan dengan bunyi gagang pintu yang diputar, bergema di sekeliling ruangan.


"......Apa maksudnya ini?"


Suara yang penuh dengan kecurigaan itu bergema ke dalam ruangan.


Yang muncul tidak lain adalah ibu Aoi-san.


Matanya yang memelototiku tidak perlu dipertanyakan lagi dipenuhi dengan permusuhan.


"Kenapa kau di sini? Ada urusan apa kau di rumah orang?"


"Rumah orang? Seseorang yang menelantarkan putrinya dan menghabiskan seluruh waktunya di rumah pria jelas tidak memiliki rumahnya sendiri kan."


Aku tahu ini tidak sopan.


Aku bahkan tidak berniat memperhatikan bahasaku lagi.


Aku membalas permusuhan yang ditujukan padaku dengan permusuhan dua kali lipat.


Berbeda dari sebelumnya---aku tidak berniat untuk mundur selangkah pun.


"Kau pikir kau sudah menjaga anak perempuan orang lain, dan sekarang kau masuk ke rumah orang lain tanpa izin? Sudah cukup, kau sepertinya benar-benar ingin berada di tangan polisi."


"Jika kau bisa melakukannya, lakukanlah. Kemudian aku akan memberitahu tentang semua penelantaran yang telah kau lakukan terhadap Aoi-san. Kalau kau menelepon polisi, itu hanya akan membuatku tidak perlu repot-repot harus menelepon mereka sendiri."


Pasti dia merasakan bahwa ancamannya tidak akan berhasil seperti sebelumnya.


Sang ibu terus menatapku dalam diam.


"Yah terserahlah......aku tidak punya waktu untuk mengurusi anak-anak."


Sang ibu melontarkan itu dan menoleh ke arah Aoi-san, mengabaikanku.


"Aoi, kamu telah mendengar sesuatu dari ayahmu, bukan?"


Ekspresinya itu penuh dengan ketidaksabaran.


"Dari ayah......tentang apa?"


"Tunjangan anak yang seharusnya dibayarkan hari ini belum dibayarkan!"


Suara histeris yang melebihi ketidaksabarannya bergema di seluruh ruangan.


"Seharusnya dibayarkan pada tanggal 1 setiap bulannya, tapi sekarang belum. Aoi......kamu mengatakan sesuatu kepada pria itu, kan?"


"Aku tidak tahu......."


"Tidak mungkin kamu tidak tahu! Kecuali kamu mengatakan pada ayahnya bahwa ia tidak perlu mengirim uangnya, atau menyuruh ayahmu mengganti penerima pembayaran lagi, ia tidak akan berhenti mengirim uangnya!"


Aoi-san meringkuk seolah ketakutan oleh sikap mengancam ibunya.


Aku melangkah maju dan menghadapi ibunya menggantikan Aoi-san.


"Aku yang meminta ayah Aoi-san untuk tidak mengirim uangnya."


"Ha......?"


Sang ibu menatapku dengan kecurigaan di matanya.


"Bagaimana kau bisa tahu ayah Aoi?"


"Karena aku sudah bertemu dengan ayah Aoi-san beberapa kali."


"Jadi, kenapa kau melakukan hal seperti itu......apa tujuanmu?"


"Untuk memberi Aoi-san kesempatan untuk berbicara denganmu."


"Berbicara?"


Sang ibu sepertinya tidak memahami situasi dan menunggu kata-kata dariku.


Emosiku berkecamuk pada sang ibu yang bahkan tidak mencoba untuk mengerti.


"Hanya saja, meskipun Aoi-san ingin berbicara denganmu, kalau kau tidak pulang, tidak mungkin dia bisa melakukannya. Karena itulah aku meminta ayah Aoi-san untuk menghentikan pengiriman uangnya. Kupikir jika uang yang seharusnya dikirimkan belum dikirim, kau akan pulang seperti sekarang untuk bertanya pada Aoi-san apa yang terjadi."


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


"Sangat merepotkan.......sampai sejauh itu, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan?"


"Tentu saja tentang masa depan kalian berdua."


Aku tahu apa yang kukatakan pada sang ibu sia-sia.


Namun, aku tetap menjelaskan agar semuanya bisa selesai.


"Aoi-san ingin memulai sebagai keluarga dari awal lagi denganmu. Jadi dia kembali padamu seperti yang kau katakan dan memberimu tunjangan anak seperti yang diperintahkan.......tapi bukan hanya mengabaikannya, kau meninggalkan Aoi-san lagi dan pergi ke tempat seorang pria. Kau mengkhianati Aoi-san tidak hanya sekali, tapi dua kali."


Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi bagaimanapun perasaanku sangat tidak nyaman ketika berbicara dengannya.


Mungkin aku lebih emosional daripada sang ibu.


"Meski begitu, Aoi-san mencoba untuk percaya padamu. Dia terus menunggu sendirian di apartemen ini untuk kepulanganmu, sendirian, tanpa tahu kapan kau akan pulang. Dia bisa saja meninggalkan apartemen ini kapan saja jika dia mau, tapi dia tidak melakukannya......karena, dia ingin menjadi orang tua dan anak yang rukun lagi denganmu."


"Hmph......."


Sang ibu kemudian menyeringai kecil.


"Apa ada yang lucu?"


Suara gigi belakangku yang mengatup bergema di kepalaku.


"Ingin memulai keluarga dari awal? Tidak perlu memulai dari awal, keluarga adalah keluarga, bukan?"


Sang ibu berkata, seolah-olah itu adalah hal yang wajar.


"Hanya saja, meskipun kami adalah keluarga, kami adalah orang asing. Terserah aku bagaimana aku menjalani hidupku dan terserah Aoi bagaimana dia menjalani hidupnya. Lagipula dalam beberapa tahun lagi, dia harus hidup sendiri, jadi terlalu merepotkan untuk bergantung padaku kalau kita menjadi orang tua dan anak sekarang. Pendidikan wajibnya juga sudah selesai, jadi sisanya adalah tanggung jawabnya sendiri."


Apa yang dia katakan sangat berbeda dengan yang sebelumnya sampai-sampai membuatku marah dan merasa pusing bukan kepalang.


Ketika dia pertama kali muncul di depan Aoi-san, dia berkata 'Mari kita hidup bersama sebagai keluarga', tapi ketika dia menemukan pria baru, dia memperlakukan Aoi-san sebagai penghalang, seolah dia telah membalikkan telapak tangannya.

Tln : 手のひらを返す, secara harfiah membalikkan telapak tangan, tapi bisa berarti mengubah sikap dengan cepat


Tidak, tidak ada gunanya meminta argumen yang masuk akal sekarang.


Orang ini tidak tertarik pada apa pun selain uang dan pria, karena dia tidak memiliki pikiran yang waras.


Namun......mungkin tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa bahkan anggota keluarga adalah orang asing.


Pada saat-saat seperti ini, kata-kata yang selalu diucapkan Eiji terlintas dalam benakku.



---Tidak mungkin memahami satu sama lain tanpa kata-kata. Bahkan anggota keluarga pun tidak saling memahami satu sama lain, jadi mustahil untuk meminta orang asing dan lebih mustahil lagi kekasih yang mana lawan adalah jenismu untuk memahamimu.



Itu adalah kata-kata yang dikatakan padaku ketika Eiji dan Izumi melihatku bersama Aoi-san untuk pertama kalinya.


Aku rasa, akhirnya aku memahami arti kata-kata ini dengan benar.


Dengan kata lain, kata-kata ini berarti bahwa jika kita bisa berdialog dengan baik dan memikirkan satu sama lain, kita bisa saling memahami satu sama lain terlepas dari hubungan kita, apa kita anggota keluarga, orang asing, atau kekasih.


Sebaliknya, jika kita tidak memahami satu sama lain, meskipun kita adalah anggota keluarga, kita tidak lebih dari orang asing.


Sekarang, setelah dia mengabaikan untuk berbicara, Aoi-san mungkin tidak ada bedanya dengan orang asing bagi sang ibu.


Jika itu yang terjadi---


"Kalau kau menyebut anggota keluargamu sebagai orang asing, maka kau, orang asing, tidak berhak menerima pembayaran tunjangan anak Aoi-san."


"Ini dan itu berbeda. Meskipun kami keluarga, kami adalah orang asing, maksudku adalah sebagai individu, dan aku juga mengatakan keluarga adalah keluarga tanpa perlu memulai dari awal, bukan? Selama aku menjadi orang tua asuh Aoi, bukan hanya Aoi, aku berhak atas tunjangan anak!"


Itu hanya omong kosong belaka, bukan?


"Apanya yang keluarga......yang kau katakan hanya apa yang nyaman untukmu. Kalian adalah keluarga, tapi juga orang asing, dan kau menginginkan tunjangan anak karena kau adalah walinya? Kau hanya mengejar uang, dan menggunakan keluarga sebagai tameng untuk menuntut hak-hakmu......."


Segera setelah aku memikirkannya, aku merasakan luapan emosi.


"Sudah cukup---berhenti bicara tentang keluarga lagi!"


Aku berdiri di depan Aoi-san dan menghadapi ibunya.


Seperti yang dilakukan Aoi-san sebelumnya untuk melindungiku.


"Menggonggonglah sesukamu. Gonggongan anak kecil tidak akan mengubah fakta bahwa aku adalah orang tua asuhnya!"


Saat sang ibu berteriak penuh kemenangan.


"Menurutmu begitu?"


Suara seorang pria bergema di seluruh ruangan.


Di ujung tatapan Aoi-san yang kehilangan suaranya karena terkejut.


Ketika sang ibu menoleh, ada sosok ayah Aoi-san.


"Sudah sembilan tahun kita bertiga berkumpul seperti ini ya......."


Sang ayah memandang mereka berdua dan bergumam.


"Kenapa kau di sini......?


"Karena Akira-kun mengatakan padaku keadaannya."


Aku terhubung dengan ayah Aoi-san, seperti yang kuceritakan sebelumnya.


Aku yakin sang ibu sangat gusar, dia tidak bisa membayangkan bahwa aku memanggilnya ke sini.


"......D-Dengan datang ke sini membuatku tidak perlu repot. Cepat bayarkan tunjangan anaknya!"


"Kedepannya, aku tidak berniat memberimu tunjangan anak."


"Hah?"


Ketika sang ayah menolaknya, wajah sang ibu berkerut karena marah.


"Apa maksudmu! Aku memiliki hak asuh atas Aoi dan kau berkewajiban membayar tunjangan anak!"


"Tentang itu."


Sang ayah kemudian memberikan kartu nama pada sang ibu.


"......Apa ini?"


"Ini kartu nama pengacara yang bekerja sama denganku."


"Pengacara?"


"Aku memintanya untuk membantuku mendapatkan hak asuh Aoi darimu."


"Eh......?"


Wajah sang ibu berkerut karena terkejut dan bingung.


Ya---ini adalah jawaban yang kudapatkan ketika aku berpikir tentang apa yang bisa kulakukan untuk Aoi-san.


Aku mengingat kembali ketika aku berbicara dengan ayah Aoi-san di kedai teh Kagetsu.

*

2 comments for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J3 Bab 6.3"