Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J2 Bab 2.3

Bab 2 - Reuni Setelah Sembilan Tahun




Ketika kami tiba di rumah, kami memilih untuk makan malam yang sederhana.   


Kami membicarakan tentang makan dan pulang ke rumah hari ini, tapi suasananya tidak cocok untuk menikmati makan malam di luar setelah bertemu kembali dengan ayahnya, jadi kami langsung pulang ke rumah dan beginilah sekarang.


Aoi-san mandi lebih dulu, sementara aku mencuci piring, dan berpikir.


"Ayahnya ya......"


Ia tampak seperti seorang pekerja kantoran biasa.


Dia berpakaian rapi, memiliki sikap yang tenang dan tidak tampak seperti orang jahat pada pandangan pertama.   


Namun aku masih belum bisa mendapatkan kesan yang baik tentang ayah Aoi-san.


Jika menyingkirkan perasaanku, kupikir itu adalah hal yang baik bahwa ayahnya muncul. Hal ini bisa menyelesaikan masalah yang dipikul Aoi-san dan dia memiliki lebih banyak pilihan selain mengandalkan neneknya, ini bisa dianggap sebagai hal yang positif.   


Aku mengerti itu.


Namun, aku tidak bisa menerimanya karena ia datang untuk membawanya karena sang ibu menyuruhnya.


Ia meninggalkan Aoi-san selama sembilan tahun, dan sementara itu ia mendapatkan kebahagiaannya sendiri......dan jika ibu Aoi-san tidak memintanya mengambilnya, sekarangpun ia akan masih membiarkannya, dan hidup bahagia dengan keluarga barunya tanpa ada apapun yang membuatnya tidak nyaman.


Untuk lebih baik atau lebih buruk, selalu anak-anak yang diombang-ambing oleh kenyamanan orang tua mereka.   


Mau bagaimana lagi kalau aku merasa sangat kasihan pada Aoi-san.


Tentu saja, kupikir pasti ada keadaan dalam keluarga Aoi-san yang tidak kuketahui yang menyebabkan orang tuanya bercerai. Mungkin ada alasan tertentu mengapa mereka harus memilih bercerai.   


Meski begitu, aku yang merasa gerah dengan hal itu, apakah karena aku menentangnya?


Aku bertanya-tanya.......Bahkan jika ada alasan atau keadaannya, ada bagian dari diriku yang tidak ingin menerimanya.  


"Terima kasih, aku sudah selesai mandi."


Setelah selesai mencuci, Aoi-san kembali ke ruang keluarga.  


"Aku akan mengurus sisanya, jadi silakan mandi juga, Akira-kun."


"Aku sudah mencuci semuanya, hanya perlu mengelapnya dan menaruhnya kembali ke rak."


"Ya. Mengerti."


Aku menyerahkan sisanya padanya, mengambil pakaian ganti dan menuju kamar mandi.


Setelah melepas pakaian dan dan masuk ke kamar mandi, aku membasuh kepala dan badanku seperti biasa dan berendam dalam bak mandi.


"Fiuh......."


Sering dikatakan bahwa mandi adalah pembersihan pikiran.   


Sensasinya seperti mampu membasuh semua pikiran macetku bersamaan dengan kotoran dari tubuhku, dan tanpa sadar suara seperti itu keluar.


Aku memikirkannya lagi setelah akhirnya kepalaku sedikit mendingin.


Kesampingkan kesanku tentang ayah Aoi-san, Aoi-san-lah yang memutuskan apa yang harus dilakukan.   


Pihak ketiga sepertiku tidak dalam posisi untuk mengatakan apa pun tentang hal itu, dan prioritasnya adalah perasaan Aoi-san. Jika tinggal bersama ayahnya adalah yang terbaik untuk Aoi-san dan dia ingin melakukannya, itu tidak masalah.   


Jika Aoi-san bisa bahagia, perasaan tidak nyaman yang ada di dalamku adalah hal yang sepele.  


"......Tapi, aku tidak boleh tidak menyentuh hal itu hanya karena canggung, kan."


Pentingnya membicarakan berbagai hal telah diajarkan berkali-kali oleh Eiji selama semester pertama.


Orang-orang pada dasarnya tidak bisa saling memahami. Mustahil untuk saling memahami satu sama lain tanpa mengungkapkan apa yang dipikirkan. Itulah sebabnya kita tidak boleh berhenti berbicara untuk memahami perasaan satu sama lain.


Sulit bahkan bagi anggota keluarga untuk saling memahami, apalagi bagi orang asing dari lawan jenis.


Sama halnya dengan kasus ini.


Aku punya firasat kalau aku mengabaikan masalah ini sekarang, maka semuanya akan terlambat.  


"Yosh......!"


Setelah cukup hangat, aku mengubah pemikiran dan keluar dari bak mandi.


Ketika aku kembali ke ruang keluarga setelah mengeringkan rambutku, Aoi-san sedang duduk di sofa.


Aoi-san sedang melihat TV tanpa memperhatikanku yang sudah keluar dari kamar mandi, tapi fokusnya tidak tertuju kemanapun dan dia menatap ke udara seolah-olah dia melarikan diri dari kenyataan.  


"Terima kasih sudah membereskan peralatan makannya."


"Ah, ya."


Ketika aku memanggilnya, dia akhirnya memperhatikanku dan tersenyum seolah teringat yang sudah dia lakukan.


Hanya dengan reaksi itu, sudah cukup bagiku untuk menebak isi pikirannya.


"Aku akan minum teh jelai, Aoi-san juga mau?"


"Ya. Terima kasih."


Baca novel ini hanya di Musubi Novel


Aku menuangkan teh jelai ke dua gelas, lalu duduk disebelah Aoi-san dan menyerahkan yang satunya padanya.


""......""


Udara yang terasa berat ini, bukanlah imajinasiku saja.


"Terima kasih sudah datang bersamaku untuk berbicara dengan ayahku."


Orang pertama yang berbicara adalah Aoi-san.  


"Aku tidak keberatan sama sekali. Kupikir akan lebih baik jika aku berada di sana untuk menjelaskan situasinya."


"Ya. Jika hanya aku sendiri, kupikir aku tidak akan tahu apa yang sebaiknya kukatakan."


"Kamu tidak bertemu dengannya selama sembilan tahun, jadi mau bagaimana lagi."


"Ya......."   


Aoi-san menurunkan pandangannya, rambut panjangnya dengan lembut jatuh dari bahunya.


Rambutnya yang menyembunyikan wajahnya, membuatku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.  


"Kamu tahu, orang tuaku......bercerai ketika aku masih kelas satu SD."


Aoi-san kemudian dengan pelan bercerita tentang masa lalunya.


Sebuah monolog, seolah dia sedang memuntahkan perasaan yang telah lama dipendamnya.


"Ketika aku masih kecil, orang tuaku rukun. Tapi, sekitar waktu aku mulai masuk TK, hubungan mereka memburuk......dan ketika aku menyadarinya, mereka mulai sering bertengkar. Sangat menyakitkan bagiku melihat orang tuaku seperti itu, dan aku tidak tahu bagaimana cara membuat mereka berbaikan, dan kupikir itu membuatku khawatir sebagai anak kecil."


Sekitar waktu itulah kami pertama kali bertemu.   


Alasan kenapa Aoi-san terlihat begitu kesepian saat itu mungkin karena orang tuanya tidak akur.  


"Kupikir jika aku menjadi anak yang baik, orang tuaku akan berbaikan, jadi aku berusaha untuk tidak egois, aku selalu tersenyum di depan mereka, aku mendengarkan mereka dan melakukan apa yang mereka katakan......tapi itu tidak berhasil."


Mendengar itu, kupikir aku mengerti entah bagaimana.   


Kesulitan Aoi-san dalam menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata, keengganannya untuk bergantung pada orang lain, dan tidak mementingkan dirinya......semuanya, berasal dari lingkungan rumah saat dia kecil.


Pengalaman masa kecilnya telah mengikutinya seperti kutukan dan membentuk Aoi-san yang sekarang ini.


"Pada saat aku masuk sekolah dasar, semuanya sudah hancur.......Suatu hari, ayahku tiba-tiba tidak pulang ke rumah dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Karena itu, aku lebih terkejut daripada senang saat melihatnya......."   


Bagi Aoi, reuni dengan ayahnya mungkin terasa seperti trauma yang dibangkitkan. Sebuah kejutan, seolah-olah sesuatu yang tidak ingin dilihatnya tiba-tiba disodorkan ke hadapannya.


Keadaan pikirannya saat itu bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan oleh orang lain.  


"Aku masih sangat kecil jadi aku tidak tahu alasan orang tuaku bercerai dan ibuku tidak pernah memberi tahuku setelah itu. Jika dia mengatakannya padaku, mungkin perasaan ini akan sedikit berbeda......."   


Setelah menyelesaikan ceritanya, Aoi-san berulang kali menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan perasaannya.


Sungguh membuat frustrasi karena yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkannya.


"Terima kasih sudah mendengarkanku. Aku hanya, ingin seseorang untuk mendengarkanku."


"Aku juga, terima kasih. Terima kasih menceritakannya denganku."


Sampai saat ini pun, Aoi-san beberapa kali berbicara denganku tentang keluarganya.


Tapi, ini adalah pertama kalinya dia memberi tahuku sesuatu yang sedalam ini.


Ini terlalu berat untuk ditanggung seorang gadis SMA sendirian.  


"Apa yang akan kamu lakukan, Aoi-san?"


"Apa yang harus kulakukan.......ya."


Aoi-san tersenyum pahit.  


"Menurutmu, apa yang harus kulakukan Akira-kun?"


"Aku......"


Aoi menatapku dengan seksama.


Aku tidak bisa menimbang arti yang ada didalam matanya itu.


"Aku akan menghormati pilihan Aoi-san."


Menurutku, kupikir aku mementingkan perasaan Aoi-san.   


Tapi setelah itu, kalau dipikir-pikir, kupikir jawaban ini adalah sebuah kesalahan.


"Kupikir ada banyak hal yang perlu dipikirkan. Tapi yang penting adalah apa yang ingin dilakukan Aoi-san. Aku tidak berpikir kamu akan mendapatkan jawaban sekarang, tapi, aku juga akan memberi nasehat, jadi pikirkan tentang hal itu dengan tenang."   


Kalimat yang kuucapkan dengan memikirkan Aoi-san didalamnya, hanya memperkeruh perasaanku sendiri.   


Apakah akan berbeda jika aku lebih jujur tentang perasaanku?


Tapi pada saat ini, aku tidak tahu bagaimana perasaanku.  


"Kamu benar. Aku akan memikirkannya."


"Ya. Jika ada sesuatu, aku akan ada di sana untukmu."


"Ya. Terima kasih."


Aku membencinya---penyesalan selalu menjadi yang pertama datang.   


Sejak malam itu, Aoi-san tidak pernah membicarakan tentang ayahnya.

*

2 comments for "Class no Bocchi Gal wo Omochikaeri Shite Seisokei Bijin ni Shite Yatta Hanashi [LN] J2 Bab 2.3"